Konten Media Partner

Review Film Satria Dewa Gatotkaca: Potensinya Edan, Tapi Keganggu Iklan Titipan

9 Juni 2022 12:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Satria Dewa Gatotkaca memberikan nafas baru bagi skena film superhero Indonesia. Berbeda dengan film Gundala, Valentine, Garuda, Satria Bima, Wiro Sableng yang merupakan kisah original, Satria Dewa Gatotkaca berbasis pada kisah pewayangan dan manusia pertama di dunia, Nabi Adam.
Satria Dewa Gatotkaca (Sumber: Satria Dewa Studio)
zoom-in-whitePerbesar
Satria Dewa Gatotkaca (Sumber: Satria Dewa Studio)
Kisah film ini sendiri dimulai dari terungkapnya silsilah keturunan tokoh pewayangan yang selama ini dianggap fiktif: Kurawa dan Pandawa. Ternyata mereka ril ada dan keturunan mereka ditakdirkan untuk bertemu suatu saat nanti untuk menyelesaikan pertikaian di antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Pandawa dan Kurawa diketahui memiliki kekuatan yang sama-sama besar. Namun untuk Kurawa, ia memiliki sifat nafsu yang merusak dan mengambil. Pandawa sendiri memiliki sifat merawat dan menjaga, sama seperti konsep “Manusia adalah Khalifa di muka bumi” dan sifat-sifat itu akan terus sampai hari kiamat. Perbedaan di antaranya keduanya berujung pada pertikaian satu sama lain.
Pertikaian di antara keduanya memuncak ketika Pandawa mengurung Aswatama dalam perang Bharatayuda. Atas hal itu, Kurawa bersumpah akan mengincar keturunan Pandawa sebagai balasannya, kapanpun itu.
Yudha (Rizky Nazar) menjadi generasi terbaru satria dunia pewayangan. Ia menanggung beban berat berupa status Yoga Pandawa, pelindung para Pandawa. Bersiap atas aksi para Kurawa, Yudha bertranformasi menjadi Gatotkaca yang merupakan leluhurnya.
ADVERTISEMENT
Satria Dewa Gatotkaca (Sumber: Satria Dewa Studio)
Konsep perang pewayangan, bagi yang familiar, memiliki potensi yang edan. Scope-nya sungguh massive. Di tangan yang benar, hal itu bisa menawarkan kisah lintas media yang semua mengarah ke satu mega event ala Marvel dengan Avengers-nya. Apakah Satria Dewa Gatotkaca mengarah ke sana? Sudah sedikit terlihat niatan ke sana, namun perjalanan masih jauh. Ada banyak hal yang harus diperbaiki dan storytelling salah satunya.
Sutradara Hanung Bramantyo terkesan terburu-buru dalam menyampaikan film ini. Pace-nya begitu cepat dengan berbagai elemen pentingnya disederhanakan untuk bisa diserap secepat mungkin. Hal itu kentara pada penyampaikan kisah kubu Pandawa dan Kurawa di mana sungguh one dimensional, pure jahat versus baik. Tidak ada unsur world-building yang convincing juga sementara Satria Dewa Gatotkaca dipersiapakan sebagai fondasi dari mega franchise Satria Dewa.
ADVERTISEMENT
Paca storytelling yang breakneck itu diperburuk product placement yang terlalu obvious dan breaking the immersion. Tidak hanya hasilnya jadi cringe, namun juga out of place. Bahkan, ada product placement yang treatmentnya seperti TVC di film ini. Sedikit banyak mengingatkan kami dengan sinetron-sinetron Indonesia saat ini.
Satria Dewa Gatotkaca (Sumber: Satria Dewa Studio)
Untungnya, dari segi action-choreography, film ini tidak main-main. Alumni-alumni The Raid seperti Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman diberdayakan dengan baik via aksi laga yang beringas dan cepat. Rizky Nazar sebagai Gatotkaca juga diberikan porsi fight yang cukup lihai dalam melibas lawannya. Untuk hand to hand combat, harus diakui perfilman Indonesia meningkat pesat sejak The Raid.
Bagaimana dengan VFX-nya? Masih ada ruang untuk berbenah. Kualitasnya belum bisa dibandingkan dengan kualitas produksi film Hollywood. Sedikit banyak sudah bisa bersaing dengan tokosatsu Jepang atau serial superhero barat. Kualitasnya bisa kalian lihat di trailernya karena hasilnya tidak jauh berbeda. Kami bisa paham bahwa shoestring budget menjadi kendala, namun potensinya untuk berkembang lebih baik lagi ada.
ADVERTISEMENT
At the end, film Satria Dewa Gatotkaca menawarkan potensi menarik soal kisah-kisah superhero berbasis pewayangan. Namun, ada banyak hal yang harus diperbaiki dari cara bercerita, world building, hingga production qualitynya. Hopefully, di lanjutannya, tidak ada lagi product placement ala sinetron. IRFAN, ISTMAN