Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Scream (2022): Bukan Remake, Bukan Sequel, Tapi Requel
20 Januari 2022 13:22 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Franchise film horror Scream akhirnya kembali lewat film Scream 5 . Setelah bertahun-tahun hilang dari layar lebar dan sempat bereksperimen dengan format serial tv, franchise ciptaan Wes Craven kembali ke format film. Dan, seperti film-film sebelumnya, Scream terbaru ini tetap bermain-main dengan sub genre meta-horror yang siap 'mengkritik' tropes, stereotype, dan industri film horror.
ADVERTISEMENT
Sedikit mirip dengan The Matrix: Ressurection, premis film Scream terbaru berangkat dari kritik soal Sequel, Prequel, Remake, dan Reboot. Empat istilah tersebut tentu sudah tidak asing lagi bagi fans dari sebuah franchise atau ip film karena itulah cara kerja industri film sekarang. Franchise besar macam Marvel, DC, atau bahkan sci-fi seperti Star Wars tak lolos dari model itu.
Sejatinya, ada satu model lagi yang sekarang banyak dipakai industri film, terutama Hollywood, untuk 'beres-beres'. Model itu adalah 'Requel' atau istilah populernya Soft-Reboot. Sederhananya, Requel adalah film dari suatu franchise yang terhubung erat dengan (atau melanjutkan) kisah film pertama, namun tidak menganggap canon kisah film-film sesudahnya. Fokusnya lebih ke karakter-karakter baru.
ADVERTISEMENT
Contoh paling mudah dari Requel adalah film Halloween terbaru (2018). Film itu merupakan direct sequel dari Halloween pertama, namun mengabaikan film-film Halloween sesudahnya. Nah, Scream 5 5 mengeksplorasi, jika tidak ingin dikatakan mengkritik dan menyindir, model pengembangan film itu.
Kisah Scream terbaru mengambil setting puluhan tahun setelah peristiwa pembantaian di Woodsboro yang terjadi di film pertamanya. Dalang dari pembantaian itu adalah Billy Loomis (Skeet Ulrich) dan Stu Macher (Matthew Lillard) yang menggunakan alter ego Ghostface dalam aksinya. Adapun keduanya berhasil dihentikan oleh Sidney Prescott (Neve Campbell) bersama Gale Weathers (Courtney Cox), Randy Meeks (Jamie Kennedy), dan Dewey Riley (David Arquette).
Setelah peristiwa itu, Woodsboro kembali tenang hingga 25 tahun kemudian di mana Ghostface baru beraksi. Korban pertamanya adalah Tara Carpenter (Jenna Ortega). Peristiwa tersebut mendorong kakaknya, Sam Carpenter (Melissa Barrera), untuk berkunjung ke Woodsboro dan menyelidiki langsung aksi Ghostface terbaru. Penelusuran Sam mengantarkan ia kepada para penyintas aksi Ghostface sebelumnya sekaligus rahasia-rahasia yang ternyata berhubungan erat dengan dirinya.
ADVERTISEMENT
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu digarisbawahi dulu bahwa Scream 5 adalah film Scream pertama yang tidak melibatkan Wes Craven selaku kreator franchisenya. Wes Craven meninggal pada tahun 2014 lalu. Selain itu, ini juga film kedua di serinya yang tidak ditulis oleh Kevin Williamson, setelah Scream 3 yang underrated itu. Dengan tim kreatif baru yang terdiri dari sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (Ready or Not), Scream 5 merupakan upaya untuk reinvent, menyegarkan kembali franchise yang berusia nyaris 3 dekade ini.
Kabar baiknya, Scream 5 benar-benar berhasil melakukan penyegaran tersebut. Meskipun tak lagi ada keterlibatan Wes Craven, Scream 5 memiliki hal-hal yang ikonik dari franchise Scream, membuatnya sejiwa dengan film-film sebelumnya yang menurut kami tidak ada yang jelek. Kasus langka ada satu franchise film horror yang kualitasnya relatif konsisten bagus.
Nah, dengan gayanya yang meta, Scream 5 mentertawai tren Requel yang sudah kami singgung di awal. Scream 5 aware bahwa Requel sebenarnya bukan salah industri film saja, tetapi juga fans. Tren itu ada untuk memenuhi keinginan fans yang apabila tidak dipenuhi akan berujung pada toxic fandom. Nah, apa yang terjadi di Scream 5 adalah representasi dari toxic fandom tersebut yang tentu akan menyinggung beberapa fans. Scream 5 dengan bangga mengolok-olok Requel dan fans yang secara sadar atau tidak mendorongnya.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di mengolok-olok Requel dan Fandom, Scream juga menjadikan perkembangan genre 'elevated horror' seperti Hereditary, The Witch, dan Get Out sebagai guyonan. Sub genre horror itu menjadi bahan olok-olok Scream 5 karena kerap dianggap "lebih pintar", "lebih berkelas" dibanding sub-genre slasher yang merupakan wujud dasar franchise Scream. Tidak bisa disangkal, banyak penggemar horror, atau film pada umumnya, merasa "lebih pintar" dan pantas disebut sinefil kalau menonton elevated horror yang lebih dianggap "Oscar-worthy" itu.
Terlepas dari komentar-komentar yang pintar terhadap Requel dan fandom di industri film, Scream 5 lebih bloody, seram, dan kreatif. Banyak momen di film ini yang membuat kami sukses begidik melihat adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Ghostface di mana beberapa di antaranya akan mempermainkan penonton yang terbiasa dengan jump scare. Safe to say iterasi terbaru Ghostface ini lebih pintar dari versi-versi sebelumnya dalam mengoceh korbannya.
ADVERTISEMENT
Ngomong-ngomong soal korban dan tersangka, film ini juga berisi banyak karakter yang kadang mengingatkan kita dengan stereotip film slasher, terutama franchise Scream sendiri. Dan, memang benar, sepertinya Scream 5 memiliki terlalu banyak karakter pendukung. Karena jumlahnya yang banyak, beberapa karakter jadi tidak terlalu dikembangkan dari segi sifat, kepribadian, ataupun motivasi. Walaupun begitu, acting mereka bisa dibilang konsisten dan tidak berkesan jelek.
Mungkin karena jumlah karakter yang lebih banyak, Scream 5 kurang fokus di bagian pertengahan karena pacing yang bermasalah saat adegan-adegannya berada pada karakter-karakter baru. Flow filmnya jadi tersendat akibat hal ini. Hal tersebut relatif jarang terjadi pada film-film Scream sebelumnya karena biasanya aksi Ghostface justru semakin sakit di tengah film. Yah, setidaknya kita bisa lebih sedikit mengenal karakter-karakter baru tersebut sebelum nyawanya diambil oleh Ghostface.
ADVERTISEMENT
Khusus penggemar setia franchise Scream, karakter-karakter film pertama juga kembali untuk nostalgia. Sydney Prescott, Gale Weathers, dan Dewey Riley kembali menjadi trio yang terkesan seperti kembalinya Luke Skywalker, Han Solo, dan Leia Organa dari Star Wars. Persis seperti trilogi sekuel Star Wars, mereka tidak bertemu dalam satu adegan.
Walaupun film ini membawa kembali karakter-karakter lama dan memperkenalkan yang baru, peran masing-masing dari mereka tidak dibayangi satu sama lain. Filmnya berhasil memberikan spotlight dan momen-momen baik untuk setiap karakter utamanya yang membuat kita mudah bersimpati dan mendukung mereka. Sementara itu, akting dari para legacy characters juga menjadi hal yang perlu ditunggu-tunggu karena terlihat sekali perbedaan diri mereka dari Scream pertama dengan yang ada di film ini.
ADVERTISEMENT
Conclusion
Film-film “meta” yang suka mereferensi dirinya sendiri dan mengomentari hal-hal lain seperti Scream memang menjadi suatu hal yang menarik di era modern. Selain Scream, ada Cabin In The Woods dengan konsep serupa. Namun Scream 5 masuk lebih dalam lagi ke komentar meta dibanding yang sudah ada sebelumnya. Apakah referensi-referensi meta itu terlalu memaksa? Itu kembali ke penonton. Scream terkenal akan gaya meta-nya.
In short, Scream 5 adalah sebuah surat cinta terhadap Wes Craven serta ucapan selamat tinggal terhadap karakter-karakter lama seperti Sidney Prescott. Tentunya para fans berat Scream akan lebih suka jika 3 karakter utama dari film-film sebelumnya tetap memiliki peran ke depannya. Namun Scream 5 berhasil memberikan kesempatan untuk karakter-karakter baru berkembang dan (mungkin) one day kembali menceritakan aksi Ghostface.
ADVERTISEMENT
Isaac William Jefferson Mandagie