Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Review Film 'Susi Susanti: Love All', Kisah Cinta dan Perjuangan Atlet
22 Oktober 2019 20:45 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Satu lagi film Indonesia akan hadir pada pekan ke-4 bulan Oktober 2019. Di antara jepitan film horor dan drama romantis, film Susi Susanti: Love All hadir dengan nuansa berbeda.
ADVERTISEMENT
Film Susi Susanti: Love All sendiri menceritakan kisah perjuangan Susi Susanti sejak masa kecilnya hingga meraih prestasi di Olimpiade Barcelona 1992.
Konflik-konflik mulai berdatangan dalam hidup Susi dan mewarnai langkah kariernya di dunia bulutangkis. Kisah cinta Susi Susanti dan Alan Budikusuma juga menjadi bumbu dalam film ini.
Adegan romantis antara Susi Susanti dan Alan Budikusuma disajikan dengan porsi yang cukup, sehingga esensi perjuangan Susi Susanti sebagai atlet tetap menjadi sajian utama film ini.
Selain kisah cinta Susi Susanti, konflik di dalam keluarga dan konflik pribadi yang dialami oleh Susi juga digambarkan dengan cukup kuat dalam film ini.
Kelebihan lainnya, momen-momen ketegangan dalam pertandingan badminton digambarkan dengan baik. Sudut pandang Susi Susanti sebagai atlet juga diterjemahkan dengan baik dalam filmnya berkat akting dari Laura Basuki yang apik.
ADVERTISEMENT
Karakter-karakter pendukung yang ada dalam film ini juga mendapat porsi dan pengembangan karakter yang baik dari awal hingga akhir film.
Karakter pendukung dapat menambah humor dalam film ini hingga membuat film semakin menghibur.
Meski begitu, film ini tetap tak terhindar dari kekurangan. Plot film ini dibuat cukup simple dan dengan alur yang maju, tanpa sentuhan plot twist.
Tone film ini sudah disesuaikan dengan nuansa Indonesia, khususnya Jakarta pada tahun 1980-an dan 1990-an, namun tetap ada kesalahan pada salah satu gambar di adegan yang ada.
Namun kesalahan minor itu dapat dimaafkan mengingat sangat sulit untuk membuat potret Jakarta pada tahun 80-an dan 90an dengan wajah Jakarta yang sudah sangat berubah saat ini.
ADVERTISEMENT
Tim produksi film sudah berusaha untuk menutup wajah Jakarta saat ini dengan angle kamera yang low angle. Meski pada akhirnya kesalahan tetap sulit dihindari.
Selain itu, audio di beberapa adegan awal film ini terasa tumpang tindih sehingga ada dialog yang tidak terdengar dan cukup mengganggu.