Review Film Tarian Lengger Maut: Apresiasi Budaya dan Thriller yang Lupa Diri

Konten Media Partner
2 Mei 2021 18:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tarian Lengger Maut (Foto: Visinema)
zoom-in-whitePerbesar
Tarian Lengger Maut (Foto: Visinema)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Indonesia berjudul Tarian Lengger Maut menjadi percobaan pertama sutradara Yongki Ongestu untuk menggabungkan upaya apresiasi budaya lokal dengan thriller. Walau ini bukan praktik yang sepenuhnya baru karena banyak diterapkan di berbagai film horror/ thriller lokal, tapi film ini memiliki penekanan lebih pada sisi budayanya. Saking lebihnya, eksekusi dari sisi thriller-nya terasa setengah matang, bahkan patut dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Kisah Tarian Lengger Maut sendiri berawal dari serangkaian pembunuhan di Desa Pagar Alas. Seorang dokter gila bernama Jati (Refal Hady) berniat mengumpulkan seluruh jantung penghuni desa tersebut sebagai trophy-nya. Alasan ia sederhana, ia terobsesi pada bunyi detak jantung.
Dengan serangkaian pengalaman medis di tangan, Jati melakukan "operasinya" dengan mulus. Tak ada satupun yang mencurigainya sebagai dalang di balik hilangnya warga Pagar Alas. Warga malah meyakini sebuah ramalan yang berkaitan dengan Sukma (Della Dartyan), penari Lengger di Pagar Alas yang diam-diam "ditaksir" oleh Jati.
Menurut para penghuni Pagar Alas, Sukma adalah kunci dari malapetaka yang menimpa mereka. Jika Sukma mendapat anugerah Indang, maka petaka tersebut bisa diakhiri. Mereka tidak menyadari bahwa sumber malapetaka itu berada di antara mereka selama ini, berwujud Dokter Jati.
ADVERTISEMENT
Penjelasan di atas bahwa Dokter Jati adalah pembunuhnya bukanlah spoiler. Sejak awal film, ia sudah ditampilkan sebagai dalang utama di balik hilangnya warga Pagar Alas. Tidak ada narasi yang di-setup untuk menghadirkan twist bahwa Dokter Jati lah sumber malapetaka di akhir cerita.
Langkah tersebut boleh dikatakan mengherankan mengingat film ini dikatakan mengusung genre Thriller. Thriller aims for the thrills, membuat penonton tegang lewat misteri yang sulit terjawab, situasi yang tidak dipahami, serta ancaman yang unpredictable. Buku Writing the Thriller aja bahkan mengatakan bahwa Thriller dibangun dengan memainkan ekspektasi penonton soal nasih protagonist di tengah masalah yang kian rumit.
Tarian Lengger Maut sudah menjawab semua misteri itu sejak awal film, terutama sejak Jati ditampilkan sebagai pembunuhnya. Alhasil, tak ada lagi yang thrilling dari film ini. Segala shock value serta misteri yang ditampilkan berakhir nihil. Momen eureka! yang bisa didapat oleh beberapa penonton yang observatif, menjadi hilang.
ADVERTISEMENT
Lucunya, Tarian Lengger Maut masih berupaya keras untuk menyembunyikan, jika tidak ingin dikatakan menyangkal, bahwa Jati lah musuh utamanya. Salah satu scene memperlihatkan Sukma kaget bahwa Dokter Jati adalah seorang pembunuh. Namun, lagi-lagi, karena semua jawaban sudah dibuka sejak awal, momen-momen itu terasa disconnected dengan kami sebagai penonton.
Terlepas dari direksinya yang patut dipertanyakan, penggambaran budaya lokal di Tarian Lengger Maut perlu diapresiasi. Dari alunan musik, permainan gamelan, hingga koreografi tarian, semua digarap dengan serius dan otentik. Hal itu berkat bantuan praktisi tari lengger lokal dan alunan musik dari komposer Reno Rolander.
Akting dari Refal Hady dan Della Dartyan memperkuat sisi tersebut. Refal Hady memainkan karakter Dokter Jati dengan sangat intens hingga rasa trauma yang karakter itu alami bisa dilihat dengan jelas oleh penonton. Karakter Sukma yang introvert namun mampu menyedot perhatian dengan tariannya juga dapat digambarkan dengan baik oleh Della Dartyan yang identik dengan citra Arini dari Love for Sale.
ADVERTISEMENT
Dengan kelebihan-kelebihan itu, sungguh disayangkan storytelling Tarian Lengger Maut terasa setengah matang. Sisi misteri malah dikesampingkan. Mungkin film ini, sejatinya, ingin menjadi slasher yang lebih straightforward, namun di tengah jalan mengalami krisis jati diri.