Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Review Film The Batman: Noir, Korupsi, dan Investigasi
1 Maret 2022 20:37 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Batman terbaru, The Batman , ibarat dua langkah maju dan satu langkah mundur. Di satu sisi, film garapan sutradara Matt Reeves ini berhasil menampilkan banyak hal yang membuatnya terasa berbeda dibandingkan film-film batman sebelumnya. Namun, di sisi lain, ada beberapa hal yang tidak sesuai ekspektasi kami, bahkan bisa dikatakan sebagai kemunduran. Walhasil, ada kalanya The Batman terasa gagal memenuhi potensinya untuk menjadi film Batman terbaik yang pernah ada.
ADVERTISEMENT
Untungnya, salah satu kemunduran itu bukan pada ceritanya. Tampil bak film Noir, di mana sebagian plot dinarasikan secara sinis oleh sang protagonis, kisah The Batman mengambil setting dua tahun sejak kemunculan sang manusia kelelawar di Gotham. Technically, film ini bisa disebut Batman: Year Two.
Dua tahun beraksi sebagai Batman , Bruce Wayne (Robert Pattinson) berhasil menebar teror di kota metropolitan kumuh itu. Semua mengenal dirinya, menakutinya, hingga ke titik para begundal kota Gotham lebih takut melihat simbol Batman di udara dibanding suara sirine polisi. Bagi mereka, ketika Batsignal menyala, maka Batman bisa muncul kapanpun dari balik kegelapan, menghabisi mereka. Mengutip Bruce, "Fear is a tool".
Keberhasilan Batman menakut-nakuti para penjahat membuatnya disegani di Kepolisian Gotham Central. Bagi mayoritas anggotanya, Batman adalah vigilante, tak sepatutnya dibiarkan bebas berkeliaran. Oleh karenanya, setiap kali Batman beraksi, mereka menanggapinya dengan sinis, benci. Hanya satu polisi yang mempercayai Batman dan menyakininya bisa menjadi rekan penting, James Gordon (Jeffrey Wright).
Gordon melibatkan Batman dalam berbagai kasus dengan yang terbaru adalah pembunuhan Calon Wali Kota Gotham, Don Mitchell Jr. Mitchell ditemukan tewas dalam keadaan jari buntung dan kepala ditutup penuh dengan lakban. Di mukanya, tertulis "No More Lies". Tidak berhenti di situ, pembunuhnya meninggalkan sebuah surat yang ditujukan untuk Batman yang isinya adalah teka-teki.
ADVERTISEMENT
Tidak butuh waktu lama, Batman berhasil memecahkan teka-teki itu. Namun, jawaban dari teka-teki itu mengantar Batman pada penyelidikan lebih besar. Pembunuhan Mitchell diduga kuat berkaitan dengan proyek korupsi yang dikelola para pejabat dan gangster kota Gotham. Penyebabnya, Mitchell bukan yang terakhir. Sang pembunuh juga mengincar pejabat-pejabat kota Gotham lainnya. Teka-tekinya, siapa dan apa motivasi pembunuh Mitchell yang belakangan dinamai "The Riddler" (Paul Dano) itu.
Dari sinopsis bisa dilihat jelas bahwa Matt Reeves mencoba menghadirkan kisah detektif di The Batman. Penonton diajak melihat bagaimana Batman akan mengungkap serangkaian pembunuhan yang dilakukan The Riddler. Pembunuhan-pembunuhan itu sendiri tidak simple, tetapi berkaitan langsung dengan jaringan kriminal dan pemerintahan kota Gotham yang sesekali membuat The Batman terasa seperti political thriller. Untuk hal itu, tidak ada yang bisa dikeluhkan.
ADVERTISEMENT
Matt Reeves sendiri, sejak awal, sesumbar bahwa The Batman akan memperlihatkan bagaimana The Dark Knight sampai dijuluki The World Greatest Detective. Menurutnya, salah satu sisi Batman tersebut kurang ditonjolkan oleh sineas-sineas pendahulunya seperti Zack Snyder ataupun Christoper Nolan.
Keinginan Matt Reeves itu tercapai. Di The Batman, sang manusia kelelawar berhasil ditampilkan seperti detektif-detektif sinis di film-film Noir. Ia tidak hanya menghajar para begundal, tetapi juga menginterogasi mereka untuk mendapatkan bukti kunci. Batman pun menguji segala informasi yang ia temukan, mencoba menyusun hipotesis yang mengantarnya ke berbagai temuan-temuan mengejutkan. Sang manusia kelelawar bahkan menarasikan isi kepalanya ketika menyelidiki kasus di hadapannya. Jika kalian pernah menonton Watchmen, maka Batman di sini seperti Rorschach, menarasikan jurnal penyelidikannya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, meski Batman berhasil tampil sebagai detektif, dia tidak tampil dengan kualitas World Greatest Detective. Penyelidikan-penyelidikannya cenderung di permukaan, tidak benar-benar mendalam. Beberapa detil bahkan terlewat olehnya, yang terkadang membuat kami gemas. Tidak sedikit momen di mana jika Batman tidak dibantu oleh orang-orang di sekitarnya, maka ia tidak akan menangkap detil penting dari kasus yang ia selidiki.
Dengan durasi tiga jam, kualitas penyeldikan yang ditampilkan Batman mungkin bisa membuat The Batman terasa begitu lamban. Bagi yang mengharapkan penyelidikan The Batman seperti Zodiac, Se7en, Chinatown, atau L.A. Confidential, mungkin akan kecewa. Namun, bagi kami, overall experience menonton The Batman tetaplah asyik.
Kekurangan dalam hal penyelidikan, salah satunya, diperbaiki dengan adegan-adegan laga yang begitu visceral. Hal itu didukung sektor audio video yang begitu menggelegar di mana setiap pukulan Batman terasa menghentak (bahkan sakit) dan setiap ledakan terasa menggetarkan. Adegan kejar-kejaran antara Batman (dengan Batmobil) dan Pinguin (Colin Farrel) adalah salah bagian yang menguji sektor audio video film ini hingga pol. You're in for a treat.
Presentasi Batmannya pun, walau gagal ditampilkan sebagai detektif hebat, juga patut diacungi jempol. Dibanding Zack Snyder, Matt Reeves lebih sukses menampilkan Batman sebagai tour de force yang tak bisa dibendung. Tak ada satupun hal yang mampu menghentikannya total, bahkan tembakan shotgun dan sniper rifle sekalipun. Jika Batman terjatuh, ia akan bangkit dan beraksi lebih beringas lagi. Tak heran, para begundal Gotham begitu menakutinya.
ADVERTISEMENT
Hebatnya, Matt Reeves bahkan berhasil membuat Batman terasa menakutkan ketika fisiknya tak terlihat sekalipun. Ia memanfaatkan gerak kamera dan bayangan untuk membangun kekhawatiran para penjahat bahwa dari sanalah Batman akan muncul. Dan, ketika Batman akan muncul, hal yang akan mereka rasakan pertama kali bukan wujud fisiknya, tetapi suara langkah kaki yang meneror telinga, seakan maut datang menjemput. Jenius!
Sayangnya, kualitas serupa tidak terasa ketika Bruce Wayne tidak mengenakan kostum Batman-nya. Tak ada bedanya antara Bruce Wayne ketika memakai kostum atau tidak, sama-sama figur yang edgy dan broody. Padahal, salah satu hal terunik dari presentasi Batman di komik adalah persona Batman sebagai identitas asli Bruce dan persona Milyuner sebagai kamuflasenya. Di The Batman, hal itu tak ada.
ADVERTISEMENT
Presentasi karakter lainnya tak kalah hebat, bahkan kami berani bilang bahwa Batman mereka langkahi. The Riddler dan Catwoman (Zoe Kravitz) tampil sebagai karakter yang paling memorable karena presentasi mereka yang begitu layered. Catwoman, misalnya, tidak hanya tampil menggoda dan berbahaya, namun juga rapuh dan berambisi membalas segala pengalaman buruk yang ia alami. Dia benar-benar ingin membuktikan bahwa masa lalunya tidak merusaknya.
Sementara itu, untuk The Riddler, ia adalah salah satu perwujudan villain Batman terbaik di layar lebar. Kami bahkan tak ragu untuk mengatakan ia berada di level yang sama dengan Joker di The Dark Knight. Terinspirasi Zodiac Killer, Matt Reeves mempresentasikan The Riddler sebagai serial killer yang tidak hanya jenius dan psikopat, tetapi juga unpredictable. Kemampuannya menyusun serangkaian jebakan, teka-teki, dan pembunuhan yang begitu delicate/ kompleks berhasil membuat Batman kelimpungan, menguji jiwa, raga, dan pikiran sang manusia kelelawar.
ADVERTISEMENT
Presentasi-presentasi yang gemilang tersebut tentu tidak akan terwujud tanpa akting bagus dari Robert Pattinson, Paul Dano, dan Zoe Kravitz. Pattinson semakin mantap menjauhkan dirinya dari image Edward Cullen yang ia perankan di seri Twilight. Ia tampil sebagai Batman yang berbeda dibanding Ben Affleck, Christian Bale, maupun Keaton. Dano pun begitu, tak ada momen di mana kami tidak dibuat begidik olehnya. Ketika tiba momen di mana Batman dan The Riddler bertatap muka, akting Dano dan Pattinson sukses memicu 'ledakan' di scene tersebut.
Terakhir, pujian patut diberikan kepada cinematographer Greg Fraser. Sentuhannya berhasil melengkapi kisah Noir yang dihadirkan dengan atmosfer yang pas. Meski Gotham tampil suram dengan banyaknya bayangan dan kegelapan menghuni sudut-sudut kota, pencahayaan dan pewarnaan yang pas membuat Gotham tidak tampil monoton. Sebaliknya, Gotham terasa hidup, bak dewa yang sudah melewati masa primanya. Jika kalian menyukai Batman: The Animated Series, maka tidak sulit untuk membayangkan betapa mencekamnya Gotham di The Batman
ADVERTISEMENT
All in all, The Batman mungkin bukan film Batman yang terbaik. Overall package masih lebih baik The Dark Knight dan Batman: Mask of Phantasm yang menemukan balance antara gripping story, laga, investigasi, visualisasi, dan karakterisasi lebih apik. The Batman terkadang bisa terasa sangat lamban dan hilang arah, penyelidikannya pun lebih banyak di permukaan, namun hal itu ditutupi oleh laga yang menghentak, atmosfer yang mencekam, dan karakter yang memorable. Presentasinya membuat film The Batman terasa berbeda dibanding pendahulu-hulunya walaupun tidak sampai melangkahinya.