Review Film 'The Science of Fictions': Ketika Sejarah Begitu Lentur

Konten Media Partner
27 November 2020 9:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Science of Fictions
zoom-in-whitePerbesar
The Science of Fictions
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Sejarah itu begitu lentur. Bagaimana suatu peristiwa dicatat, oleh A dan B, bisa berbeda. Pengalaman, pengetahuan, perspektif, terkadang kekuasaan mempengaruhi hal tersebut. Alhasil, sejarah bisa dengan mudah terdistorsi. Mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, menegaskan hal tersebut ketika ia berkata, "Sejarah akan selalu baik kepada saya karena saya lah yang akan menulisnya".
ADVERTISEMENT
The Science of Fictions, dikenal juga sebagai Hiruk Pikuk si Al-Kisah, mewakili premis tentang sejarah tersebut. Digarap sutradara Yosep Anggie Noen, The Science of Fictions memperlihatkan bahwa sejarah itu tidak sakleg. Sejarah adalah kepingan-kepingan peristiwa yang bisa dituturkan 'sesuka hati'. Nah, peristiwa sejarah yang dipakai oleh film ini adalah Pendaratan di Bulan dan Peristiwa 1965.
Kedua peristiwa itu dipersatukan oleh Siman (Gunawan Maryanto). Pada suatu malam, ia berkunjung ke sebuah padang pasir di tanah Jawa yang oleh para tetua kampungnya disebut padang terlarang. Di sana, kata mereka, berkumpul para setan yang siap menghukum para penerobos.
Penasaran, Siman nekat berkunjung ke sana. Namun, apa yang ia termukan bukan setan. Berdiri di hadapannya adalah Lunar Module, kendaraan ulang alik yang dipakai kru NASA untuk menjelajahi bulan. Namun, pesawat itu tidak berada di bulan, tapi di tanah Jawa. Tidak ada astronot, tapi kru shooting dan aparat. Padang itu ternyata dilarang bukan karena setannya, tetapi rahasianya.
ADVERTISEMENT
Siman kepergok. Keberadaannya diketahui para aparat yang berjaga. Oleh mereka, ia dibuat bisu. Lidah Siman diputus, entah mereka potong atau Siman dipaksa menggigitnya.
Tidak ingin apa yang ia lihat dilupakan begitu saja, Siman mencoba menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di desa. Apa daya, tanpa lidah, ia terpaksa berbicara menggunakan bahasa tubuh. Menirukan gerak aktor di padang terlarang, ia bergerak lamban, seolah-olah berada di luar angkasa. Sayang, ia dianggap gila.
Siman tidak menyerah. Bergerak lamban konsisten ia lakukan, berharap ada yang menangkap maksudnya. Namun, satu per satu, orang yang ia harapkan bisa mempercayainya hilang. Ibunya meninggal sementara penduduk desanya ditangkapi, dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.
Pengalaman dan kebisuan Siman adalah metafora dari konsep sejarah yang lentur. Dengan ia dibisukan, fakta dimanipulasi. Pendaratan di bulan tidak lagi mengacu pada apa yang terjadi di padang terlarang, tetapi berdasarkan bagaimana ia dinarasikan di kemudian hari. Fakta sesungguhnya tenggelam di makan waktu, menyisakan penyintas seperti Siman yang berharap kesaksian mereka didengarkan.
ADVERTISEMENT

Kompleksitas The Science of Fictions

The Science of Fictions
Sepanjang film, Siman memperjuangkan kesaksiannya. Sampai ke setting modern, ia tetap bergerak lamban. Agar tampil lebih menyakinkan, dia membangun Lunar Module sebagai rumahnya, dari sisa-sisa mesin cuci dan kulkas. Selain itu, ia juga berteman dengan seorang tukang jahit yang ia percayai untuk membuat pakaian astronaut. Semua demi ia didengarkan.
Hal yang unik dari the Science of Fictions, sutradara Anggi Noen tidak kemudian terang-terangan menampilkan kesaksian Siman sebagai yang paling benar. Ia tampaknya sadar betul penonton akan dengan mudah berpihak ke Siman karena iba dengannya. Apalagi, Siman adalah korban. Namun, untuk mendorong penonton tetap kritis, Anggie Noon menebar berbagai hal untuk menampilkan Siman seperti unreliable narrator.
ADVERTISEMENT
Satu contohnya, Siman tak pernah tampak menua sepanjang film. Di setting lampau maupun modern, ia tampil dengan wujud yang sama, di usia yang sama. Perbedaannya hanya ada pada bagaimana lampau dan masa depan ditampilkan. Setting lampau monokromatik, menggunakan aspect ratio 4:3. Sementara itu, latar masa depan, berwarna dengan aspect ratio 16:9.
Orang-orang yang dikira Siman hilang, juga satu per satu muncul lagi. Sama seperti Siman, mereka tidak menua. Seolah-olah seperti tidak terjadi apapun terhadap mereka. Padahal, di setting lampau, mereka ditangkapi atas tuduhan anggota PKI.
Hal itu diperumit dengan direksi the Science of Fictions yang terkadang terasa Meta. Beberapa karakter di sekitar Siman bisa muncul dalam pesawat eksistensi yang berbeda. Salah satu contohnya adalah tokoh jenderal yang menyerupai Soekarno. Di beberapa bagian, ia seperti Siman, seorang penyintas. Di bagian lain, ia tampil di layar televisi sebagai karakter yang sama. Menjelang akhir film, ia tampil sebagai aktor yang disewa untuk sebuah produksi.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut membuat kisah dan karakter the Science of Fictions, terutama Siman, menjadi kompleks. Penonton dibuat menerka apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Siman mengarang kesaksiannya di padang terlarang? Apakah Siman ternyata benar-benar gila? Apakah kisah yang selama ini kita lihat hanyalah di pikran Siman? Semua bisa diperdebatkan.
Menurut kami, Anggie Noen tahu bahwa begitu penonton berpihak kepada kesaksian Siman sepenuhnya, maka kisah The Science of Fictions akan selesai sebagai satu versi. Padahal, bukan itu yang ia inginkan. Kami menyakini ia menginginkan the Science of Fictions diperlakukan seperti sejarah, produk yang lentur. Oleh karenanya, di sepanjang film, ia menyodorkan berbagai peristiwa, karakter, masa yang terlihat tidak konsisten namun tetap memiliki kohesi agar penonton menyusun sendiri "sejarahnya".
Sutradara 'The Scienfe of Fictions', Yosep Anggi Noen (Foto: Dok. indonesianfilmcenter.com)
Hal itu mungkin juga merupakan sendiran terhadap situasi sekarang. Perkembangan teknologi memungkinkan orang-orang untuk menyunting kisah eksistensinya. Hal itu mulai dari menambahkan apa yang seharusnya tidak ada sampai menghapus apa yang seharusnya ada di lini masa. Keterbukaan media sosial 'memaksa' orang-orang untuk selalu tampil yang terbaik hingga ke titik harus menyunting sejarahnya sendiri. Jika kita sudah terbiasa melakukan hal tersebut sehari-hari, tentu menyusun "sejarah" dari sebuah film bukan hal yang sulit.
ADVERTISEMENT
Anggie Noen bisa dikatakan cerdik juga memakai Pendaratan di Bulan dan Peristiwa 1965 sebagai plot device. Kedua peristiwa itu kerap diperdebatkan kebenarannya, bahkan hingga sekarang. Alhasil, sangat pas untuk menampilkan kelenturan sejarah.
Pendaratan di Bulan oleh kru Apollo 11, tahun 1969, diperdebatkan kebenarannya berkat 'jasa' seorang pria bernama Bill Kaysing. Berbekal pengalaman ikut mendesain mesin roket Saturn V, dari tahun 1965 hingga 1964, ia menyusun sebuah teori bahwa astronot Neil Armstrong dan Buzz Aldrin tidak pernah benar-benar sampai ke bulan.
Kaysing menuding Pendaratan di Bulan adalah hoax, sebuah peristiwa yang sesungguhnya disusun oleh kru produksi Hollywood. Teorinya dibangun berdasarkan tiga poin. Poin pertama, tidak terlihat bintang di video pendaratan. Poin kedua, tidak ada kawah akibat pendaratan Lunar Module. Poin terakhir, bayangan jatuh secara tidak wajar. Apa yang dilihat Siman di padang terlarang mengacu pada teori-teori Kaysing.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama berlaku untuk Peristiwa 1965. Lewat kuasanya, mantan Presiden Soeharto mencoba mengaburkan kebenararan dari peristiwa tersebut. Ia membangun kisah sejarah di mana Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan yang menewaskan jenderal-jenderal militer. Hal itu kemudian ia jadikan justifikasi untuk melakukan genosida demi melanggengkan rezimnya.
Untuk memperkuat sejarah versinya, Soeharto membuat film propaganda yang berjudul Pengkhianatan G30SPKI. Naskah, mise-en-scene, dan karakterisasi film dibuat dengan begitu telaten agar komunis benar-benar tampil "jahat". Ditambah kewajiban menonton tiap bulan September, sejarah versinya sempat dianggap yang paling sahih untuk waktu yang sangat lama. Para penyintas pembantaian, di sisi lain, "dibisukan" seperti Siman.
Akhir kata, the Science of Fictions sukses menampilkan kelenturan sejarah. Segala elemen mendukung penonton untuk membuat interpretasinya sendiri. Namun, hal yang terpenting, penonton juga diminta untuk kritis, tidak menelan bulat-bulat satu versi sebagai sejarah dan kemudian berhenti mencari fakta.
ADVERTISEMENT