Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film The Woman King: Auto Semangat Jadi Feminis
10 Oktober 2022 17:28 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film The Woman King, rilis pada 5 Oktober 2022, layak masuk daftar all time favorite, terutama buat kalian yang suka film-film bertema female empowerment. Jujurly, film ini bikin jiwa feminisme penulis berguncang saat dan setelah menontonnya.
ADVERTISEMENT
Bagi kaum hawa, kalian bakal dibuat terharu sama luka, perjuangan, keberanian, dan upaya menjinakkan masa lalu misoginistik Agojie alias Dahomey Amazons. Bagi kaum adam, nah ini agak tricky.
Bagi kaum adam yang jiwa feminisnya kuat, bakal auto kagum sama perjuangan dan pengorbanan para perempuan di The Woman King. Nah, kalau jiwa feminisnya agak delay atau bahkan hilang kontak, semoga kalian bisa menangkap pesan film ini.
The title says it all…it’s all about women’s supremacy!
Jadi gini, di tahun 1800-an, Raja Ghezo (John Boyega ) dari Kerajaan Dahomey (sekarang Benin, Afrika Barat) dikisahkan sedang galau berat. Gara-garanya, dia harus memilih antara melanjutkan bisnis perbudakan dengan Kerajaan Oyo atau ngikutin common sense untuk menyudahi bisnis yang despicable itu namun dengan resiko kerajaannya jatuh miskin.
ADVERTISEMENT
Untungnya, Raja Ghezo ini pemimpin yang bijak dan dia gak sendiri. Always ready and always slay, Kerajaan Dahomey punya sekelompok prajurit wanita yang sangat terampil dan fierce bernama Agojie ala Dora Milaje-nya Black Panther. Mereka adalah satu-satunya prajurit wanita di dunia yang saat itu ikut masuk ke medan perang dan dijulukinya Amazon-nya Dahomey.
Ingat, film ini bersetting tahun 1800-an. Prajurit wanita belum banyak debut. Dunia pun belum jadi tempat yang ramah bagi perempuan (dan sekarang pun belum).
A fearsome sight, Agojie ini dipimpin oleh Jenderal Nanisca (Viola Davis ) yang kerennya melegenda. Sekali masuk medan perang, lawan yang waras langsung ciyut kalau berhadapan dengannya. Di sisi lain, Jenderal Nanisca juga melatih the next gen untuk berani melawan musuh-musuh Kerajaan Dahomey.
Little did the general knew, musuhnya bukan hanya mereka yang berada di medan perang. Selain musuh di depan mata, ia juga harus bertarung melawan masa lalunya dan menunjukkan kepada para pasukannya on what it takes to be a courageous warrior lahir dan batin.
ADVERTISEMENT
Bagi pecinta storyline yang rapi, nggak buru-buru tapi nggak lelet juga, The Woman King slay abis lah. Every bit of scene masuk akal dan memberikan insight penting soal sejarah Agojie.
Dari awal film dimulai aja, penulis udah dibikin deg-degan sama sesi sejarah Agojie, konflik di Kerajaan Dahomey, dan peran mereka dalam melawan Kerajaan Oyo serta para penjajah.
Kalau kalian masih ragu dan gak percaya Agojie sekeren itu, rest assured you're in for a treat. Kalian bakal disuguhkan berbagai pertunjukkan kehebatan Agojie melawan colonizer yang hendak menjual warga-warga Afrika lokal. Bayangin aja, dari awal sampe akhir, gak sedikit adegan yang bikin jantung cenat-cenut.
Action choreography-nya sendiri dibuat sangat realistis dan brutal. Can’t help but overthink kalo penulis di situ, mungkin baru 3 detik udah meninggoy deh.
The Woman King gak melulu soal action para Agojie. Kalian juga bakal dibuat emotionally invested dengan kehidupan para anggota Agojie di luar medan perang. Salah satunya drama internal rumah tangga Kerajaan Dahomey di mana ratu cemburu dengan Jenderal Nanisca yang begitu dipercaya Raja Dahomey. Ya gak salah juga, kalau Agojie bubar, Kerajaan Dahomey juga berpotensi bubar sehingga raja menjaga betul kesetiaan para Agojie.
The Woman King nggak main-main dalam milih para aktor untuk menyampaikan laga dan drama yang ada. Fokus utama pastinya Viola Davis yang memerankan Jenderal Nanisca. Davis berhasil memainkan sosok Nanisca yang kompleks di mana walau tangguh di medan perang, ia sebenarnya membawa beban berat masa lalu yang terus menghantuinya.
ADVERTISEMENT
Acuangan jempol juga patut diberikan kepada Thuso Mbedu, pemeran si Nawie yang naughty. Ia tampil convincing sebagai rebellious daughter berjiwa feminis yang enggan tunduk sama aturan nggak jelas seperti dipaksa nikah dengan calon yang suka physical abuse.
The way she progresses as a young woman really is touching. Dari sosok cewek bandel ke salah satu Agojie terkuat yang didewasakan oleh pengalaman. Sangat retalable, bagai tribute bagi kalian yang dipaksa dewasa oleh keadaan or victim of circumstance.
Gak lupa menyebut Lashana Lynch, pemeran Izogie. Ia adalah salah satu warrior Agojie terbaik sekaligus bestie/mentor dari Nawie. Walau karakternya ganas dan tough, Lynch menjadi ice breaker di film ini lewat sisi akting komikal dan playful-nya.
Can’t believe we’d even mentioned him, hate the character, love the actor, ada Jimmy Odukoya, pemeran Oba Ade alias Jenderal Kerajaan Oyo yang korup dan bengis. Udah kebayang kalo dia main sinetron di negeri Wakanda pasti jadi inceran ibu-ibu buat dibuli…..
ADVERTISEMENT
Odukoya, di satu sisi, mampu menampilkan sisi bengis dan bajingan dari Oba Ade. Namun, di sisi lain, dia juga berhasil menampilkan Oba Ade sebagai penjahat yang berkelas, ruhtless, dan strong beyond measures. Bukan hal yang mudah mengingat banyak aktor berakhir menjadi karakter one dimensional begitu menjadi villain.
Lewat akting Odukoya sebagai Oba Ade, penonton jadi mendapat gambaran utuh tentang seberapa menjijikan dan tidak manusiawinya kondisi Dahomey saat itu, ketika Kerajaan Oyo menjadikan wanita sebagai komoditas dan pria diposisikan segalanya.
Satu hal yang mengganjal, yang sepertinya karena practicality purpose, percakapan di The King Woman didominasi bahasa Inggris. Padahal, akan terasa lebih authentic jika menggunakan bahasa lokal sana, which is Fon instead of English.
ADVERTISEMENT
Ada sih beberapa adegan ketika Raja Dahomey memakai Bahasa Portugis, tapi suma secuil. Dalam kurun waktu singkat itu, jadi langsung kepikiran bagaimana para warga lokal dulu bertahan dan belajar bahasa para penjajah? Sejauh mana mereka tertipu? Udah keturunan raja keberapa baru bisa komunikasi sama pendatang? In the end, pertanyaan-pertanyaan itu bikin penulis jadi lebih emotionally invested ke film ini.
All in all, this film will not disappoint you. Bagi yang lagi capek sama hidup, butuh sumber semangat, hobi review film buat ngisi me-time, atau misi hidupnya ngumpulin film bergelar masterpiece, jangan sampe kelewatan ya! The Woman King will make you feel that crying or feeling touched after a really good film isn’t so bad afterall.
ADVERTISEMENT
YUWI BARTON