Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Review Film Tick, Tick...Boom!: Kisah Bohemia Mengejar Broadway Sebelum Usia 30
28 November 2021 8:03 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Tick, Tick...Boom adalah hidden gem dari Netflix di penghujung 2021 dengan Andrew Garfield sebagai pemeran utamanya di tengah derasnya banjir film-film blockbuster yang meluap ke permukaan setelah sekian lama ditahan pandemi.
ADVERTISEMENT
Film musical-biopic garapan Lin-Manuel Miranda (Hamilton) itu tidak hanya hadir dengan kisah yang sublime dan heart-wrenching, tetapi juga relatable untuk banyak pekerja seniman yang tahu betul rasanya berjibaku antara mencari sesuap nasi dan membuat karya yang diakui.
Tick, Tick...Boom mengisahkan Jonathan Larson (Andrew Garfield), musisi dan penulis di balik salah satu pentas broadway tersukses yang pernah ada, RENT. Namun, film ini tidak berfokus pada kisah penciptaan RENT oleh Larson yang tragisnya tewas sehari sebelum pertunjukkan perdananya. Berdurasi kurang lebih dua jam, Tick, Tick...Boom mengambil waktu enam tahun sebelum RENT tercipta, 1990, ketika Larson masih limbung antara lanjut dengan karir musiknya atau mencari pekerjaan yang pasti-pasti saja.
Cerita Tick, Tick...Boom tidak disampaikan secara linear. Alurnya maju mundur, dengan starting pointnya adalah pentas monolog rock garapan Larson bernama Tick, Tick...Boom itu sendiri. Lewat musik-musiknya, Larson membawa penonton ke kisah soal ambisinya membuat karya pentas yang sukses dan bisa tampil di Broadway sebelum dirinya berusia 30 tahun. Bagi Larson, usia 30 adalah titik krusial di mana ia harus menentukan apakah lanjut dengan karir musiknya atau cari pekerjaan kantoran seperti temannya yang sudah tidur enak di apartemen mewah.
ADVERTISEMENT
Memenuhi tantangan yang ia buat sendiri ternyata tak gampang bagi Larson. "Gangguan" datang dari segala arah mulai dari teman-temannya yang berjatuhan karena AIDS, kekasihnya yang hendak pindah kota, hingga tagihan-tagihan yang harus ia lunasi untuk memastikan listrik apartemennya tetap nyala. Hal itu belum menghitung writer's block yang kerap dihadapi Larson karena kelelahan usai bekerja mencari nafkah di Moondance Diner, tempat di mana ia akan bertemu dengan sejumlah cast-nya di RENT nanti.
Broadway tak kalah ganas bagi Larson. Banyak proposal yang ia buat mental. Menjelang batas waktu yang ia tetapkan, Larson bertaruh pada satu karya terbarunya, Superbia. Superbia adalah pentas rock musical dengan karya George Orwell, 1984, sebagai inspirasi utamanya. Kisahnya sendiri visioner dan futuris, tentang masyarakat yang telah kehilangan emosinya dan memilih untuk menonton imaji-imaji kehidupan ideal di layar kaca. Familiar bukan?.
Dengan segala kesibukannya, Larson menghabiskan waktu delapan tahun untuk menggarap naskah Superbia. Secercah harapan datang sepekan sebelum ia berusia 30 tahun. Kepala teater musikal Playwright Horizons bernama Ira Weitzman (Jonathan Marc Sherman) tertarik dengan Superbia dan memberinya kesempatan untuk menggelar workshop di teaternya.
ADVERTISEMENT
Workshop, bagi seniman-seniman Broadway seperti Larson, ibarat pitch meeting bagi pendiri startup di depan investor. Jika sukses, maka ia akan punya kesempatan untuk mementaskan Superbia di Broadway. Tekanannya tidak main-main karena composer dan lyricist pentas musikal legendaris Stephen Sondheim (Bradley Whitford), ikut andil memberikan penilaian di workshop tersebut. Sondheim adalah composer dan lyricist untuk West Side Story, Into The Woods, Sweeney Todd, dan masih banyak lagi.
Seminggu bukan waktu yang panjang. Di waktu yang genting itu, Larson makin kesulitan menyelesaikan musik-musik untuk Superbia. Ia baru punya naskah tanpa satupun musik yang menjadi jantungnya. Di saat bersamaan, krisis hidup yang ia hadapi kian pelik. Di momen-momen itu, Larson menyamakan dirinya seperti bom waktu yang siap meledak. Ia sudah lelah.
ADVERTISEMENT
Kekuatan film ini ada pada bagaimana cara Lin-Manuel Miranda secara apik menyampaikan perjuangan Larson bertahan di perut Broadway. Ia memvisualisasikan (dan menyuarakan) musik dan lirik-lirik garapan Larson seefektif dan seefisien mungkin tanpa kebanyakan gaya. Miranda sadar betul musik dan lirik dari Larson sudah sangat kuat sehingga yang perlu ia lakukan hanyalah memastikan penonton menangkap konten dan konteksnya dengan visualisasi serta editing yang pas.
Salah satu contohnya bisa dilihat pada opening musical number dari Tick, Tick...Boom, 30/90. Lagu rock ballad itu mengisahkan betapa nervous-nya Larson ketika sadar dirinya akan berusia 30 di tahun 1990. Miranda, sebagai sutradara, tidak mendramatisir masa-masa nervous itu, namun secara efektif menampilkan aksi Larson di panggung sebaik mungkin dan menyelipkan gambaran-gambaran real bahwa hidup Larson nyaris gak maju-maju menjelang usia 30.
ADVERTISEMENT
Pendekatan tersebut ada di hampir semua musical number Tick, Tick...Boom dengan salah satu pengecualiannya Sunday. Pada Sunday, Lin-Manuel Miranda gas kencang dan tampil sepenuhnya dengan gaya pentas Broadway. Di bagian tersebut, ia memborong banyak figur-figur Broadway legendaris sebagai pemeran. Bagi penggemar berat pentas-pentas Broadway, Sunday adalah penghormatan yang epik.
Dibandingkan film-film musikal serupa seperti La La Land, visualisasi Tick, Tick Boom jelas tidak seindah film musikal jazzy garapan Damien Chazelle itu. Penekanannya berbeda karena La La Land mencoba menjual imaji Golden Age Hollywood di masa modern. Tick, Tick...Boom sebaliknya, emphasisnya pada gambaran real soal betapa buasnya ekosistem Broadway bagi seniman kere seperti Larson. Tidak salah menyebut La La Land kebanyakan gaya dengan substansi tipis sementara Tick, Tick...Boom tidak gaya namun punya substansi lebih tebal.
ADVERTISEMENT
Pujian terhadap Andrew Garfield tidak boleh dilupakan. Ia tampil energetik dan mampu menghidupkan lirik-lirik garapan Larson dengan maksimal. Di saat sendu, ia bisa tampil sendu, di saat suka cita ia bisa tampil bak mesin juke box yang siap bernyanyi terus tanpa henti. Surprisingly, suara Garfield bagus juga ketika bernyanyi mengingat ini film musikal pertamanya (yang kami tahu).
Di sisi lain, ini juga pertama kalinya kami melihat Garfield memerankan karakter yang benar-benar pas dengan usia aslinya. Memiliki tampang baby face membuat Garfield kerap mendapat karakter yang belasan tahun lebih mudah dibanding usia aslinya. Di Tick, Tick...Boom ia terlihat betul seperti seniman usia 30an yang sudah makan pahit manisnya kehidupan panggung. Kami tidak akan kaget jika dia mendapat nominasi Oscar dari film ini. Ia sangat pantas.
Minus dari Tick, Tick...Boom sedikit banyak ada pada alur maju mundurnya yang terkadang agak sulit dipahami. Alur lampau dan masa kini beberapa kali berbenturan yang terkadang membuat kami bingung di periode mana Larson sedang berbicara atau dia membicarakan periode yang mana. Ada kalanya hal tersebut meruntuhkan emosi yang sudah dibangun dengan telaten. Walau begitu, bagi kami, hal itu bukan deal breaker karena toh garis besar ceritanya masih cukup jelas dan musik-musik Larson menutupi segala kekurangan yang ada.
ADVERTISEMENT
Dengan segala hal yang ia miliki, kami rasa Tick, Tick...Boom akan resonate dengan berbagai jenis penonton. Bagi penggemar musikal, musik dan lirik Larson yang catchy dan puitis akan memanjakan telinga sepanjang film. Bagi seniman seperti Larson, Tick, Tick...Boom akan terasa relatable. Kegelisahan Larson mirip dengan kegelisahan teman-teman seniman yang kami kenal. Mereka kerap dihadapkan pada situasi di mana harus memilih antara mengikuti idealisme atau kemauan pasar agar karya mereka bisa bertahan hidup serta diakui dalam bentuk apapun.