Review Film Venom Let There Be Carnage: Simbiosis Mutualisme Eddie dan Venom

Konten Media Partner
17 November 2021 13:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Venom: Let There Be Carnage (Foto: Sony)
zoom-in-whitePerbesar
Venom: Let There Be Carnage (Foto: Sony)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Play Stop Rewatch, Jakarta – Sony Pictures belum selesai dengan semesta sinematik Spider-mannya yang digarap bersama Marvel dan dimulai dengan franchise film Venom. Selain Spider-man: No Way Home yang akan tayang Desember ini, mereka juga merilis Venom: Let There Be Carnage yang tayang di Indonesia mulai hari ini. Dari bagaimana film ini dipresentasikan (dan diakhiri) jelas terlihat bahwa Sony ingin mengekspansi kisah karakter-karakter yang berelasi dengan Spider-man untuk semesta sinematik Spider-verse yang lebih luas ke depannya.
ADVERTISEMENT
Venom: Let There Be Carnage mengambil setting tak lama setelah prekuelnya, Venom, yang rilis di tahun 2018. Adapun ceritanya berangkat dari wawancara Eddie Brock (Tom Hardy) dengan serial killer kambuhan bernama Cletus Kasady (Woody Harrelson).
Eddie, yang merupakan jurnalis investigasi top, dikisahkan mendapat permintaan dari kepolisian untuk mewawancarai (baca: menginterogasi) Cletus Kasady. Kepolisian kesulitan menarik keterangan dari Cletus perihal siapa saja yang telah ia bunuh dan bagaimana modus operandinya. Padahal, hal tersebut penting untuk penyidikan dan menjatuhkan vonis mati ke Cletus. Lewat Eddie, Kepolisian berharap keterangan itu bisa didapatkan dan sebagai gantinya Eddie boleh menggunakan info yang dia dapat sebagai bahan tulisannya.
Bisa ditebak, Eddie berhasil menarik informasi yang dibutuhkan oleh kepolisian dengan “sedikit bantuan” dari Venom, symbiote yang melekat ke dirinya. Namun, tidak dia sangka, Cletus bisa menyadari keberadaan Venom dalam diri Eddie dan merasa ia tak pantas akan symbiote tersebut. Ingin mendapat bagian dari symbiote, Cletus mengigitnya, menghisap bagian dari Venom untuk kemudian menjadi Carnage.
ADVERTISEMENT
Sebagai Carnage, Cletus menggila. Dengan beringas, Cletus melahap siapapun (dan apapun) yang menghalanginya. Ia pun tak sendirian, dibantu oleh Frances Barrison (Naomi Harris) yang menjadi love interest dari Cletus. Bak Bonnie and Clyde, but from the freakshow, keduanya sulit dihentikan dan hanya Eddie serta Venom yang bisa diandalkan. Pertanyaannya, maukah Venom membantu Eddie menghentikan mereka?
Tidak gampang mengajak Venom bekerja sama. Sebagai symbiote omnivora dengan nafsu makan tak terbatas, rasa lapar Venom kerap menimbulkan konflik dengan Eddie selaku inangnya. Eddie melarang tegas Venom untuk tidak memakan orang, sementara Venom merasa dia lebih punya kendali dibanding Eddie dan bebas memakan apapun (dan siapapun) yang ia mau. Gawatnya, konflik-konflik itu kerap datang di saat yang salah, misalnya ketika berhadapan dengan Carnage.
ADVERTISEMENT
Seperti prekuelnya, relasi antara Eddie Brock dan Venom menjadi salah satu sajian utama Venom: Let There Be Carnage. Relasi keduanya begitu dinamis, naik turun sepanjang film, seperti sepasang kekasih yang disfungsional namun kompak ketika dibutuhkan. Hubungan itu sendiri dibungkus dengan physical comedy yang dilengkapi dialog-dialog intrapersonal yang tak hanya creepy, tetapi juga jenaka.
Venom: Let There Be Carnage (Foto: Sony)
Hubungan yang dinamis itu dieksplorasi lebih jauh di Venom: Let There Be Carnage. Ego masing-masing diuji dan keduanya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan apakah mereka mau tetap hidup bersama atau tidak ke depannya. Pada prekuelnya, hal tersebut sudah disinggung, namun di sini dilihat lebih jauh karena jelas terlihat baik Eddie maupun Venom sesungguhnya sudah mulai gerah terhadap satu sama lain dan ingin “bercerai”.
ADVERTISEMENT
Apakah ekspolorasinya berkualitas? Sayangnya tidak juga. Sutradara Andy Serkis kerap menggunakan direksi yang terlalu komikal untuk mengeksplorasi hubungan Eddie dan Venom. Walhasil, sulit menganggap serius konflik keduanya. Sebagai entertainment, hal itu jelas menghibur, namun tidak berkualitas sebagai studi karakter keduanya.
Development relasi Cletus dan Carnage ada di level yang kurang lebih sama. Walau keduanya digambarkan punya simbiosis yang lebih mutual dibanding Eddie dan Venom, relasi antar keduanya tidak digali dengan mantap. Hal itu diperburuk dengan penggambaran kesadisan keduanya yang kurang brutal. Untungnya, Woody Harrelson memerankan tokoh Cletus dengan baik dan berbeda dibandingkan film-filmnya selama ini seperti Zombieland maupun Seven Psychopath.
Terlepas dari problem-problem story dan character development tersebut, Venom: Let There Be Carnage patut diacungi jempol untuk laga dan visualisasinya. Tampilannya memanjakan mata dengan laga yang menghentak. Baku hantam Venom kontra Carnage pun lebih bermutu dibandingkan Venom kontra Riot di prekuel yang cenderung underwhelming itu. Venom hadir sebagai petarung yang (surprisingly) lebih cerdas dan disiplin sementara Carnage sebagai petarung yang membabibuta dan beringas. Tiap laga di mana mereka bertemu, baik Venom maupun Carnage memanfaatkan segala arsenal yang mereka punya.
ADVERTISEMENT
Overall, Venom: Let There Be Carnage bukanlah peningkatan yang drastis dari prekuelnya. Story dan character developmentnya tetap so so. Walau begitu, kami akui bahwa film yang disutradara Andy Serkis ini begitu menghibur lewat physical comedy dan dialog-dialog yang jenaka yang muncul dari Eddie dan Venom. Carnage, sebagai villain baru, pun tak kalah menghibur dengan presentasinya yang brutal itu. Hal yang patut digarisbawahi, film ini men-setup semesta sinema Spider-man yang lebih luas lagi, bahkan integrasi dengan semesta lain.
Jessrine Greivin