Review Hitam: Serial Zombi dengan Kearifan Lokal

Konten Media Partner
6 Juli 2021 13:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Serial 'Hitam'. (Foto: Fourcolorsfilm)
zoom-in-whitePerbesar
Serial 'Hitam'. (Foto: Fourcolorsfilm)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta – Lewat Hitam, Indonesia akhirnya memiliki serial dengan genre Zombie. Cukup mengejutkan bahwa butuh bertahun-tahun bagi Indonesia untuk memiliki film atau serial zombie-nya sendiri. Mengingat betapa populernya film/ serial horror dan segala turunannya di industri lokal, seharusnya serial seperti Hitam sudah lama ada.
ADVERTISEMENT
Hitam, yang merupakan mini series dengan jumlah empat episode, digarap oleh duo sineas Sidharta Tata sebagai sutradara dan ifa Infasyah sebagai produser. Keduanya mencoba menggabungkan unsur kearifan lokal dan sejumlah trope yang biasa ada pada film-film zombie Hollywood. Adapun hal tersebut disampaikan lewat episode berdurasi 30-50 menit dengan seorang kepala desa bernama Dibyo (Donny Damara) menjadi tokoh utamanya.
Kisah Hitam diawali dengan kepulangan Tika (Sara Fajira) dari Inggris. Ia adalah putri semata wayang Pak Dibyo dan baru saja usai menyelesaikan studinya di London.
Awalnya, semua baik-baik saja sejak Tika pulang dari luar negeri. Kehadirannya disambut hangat oleh warga desa, terlepas dari hubungannya yang kompleks dengan ayahnya. Namun, lama kelamaan, berbagai keanehan mulai muncul yang tidak pernah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Keanehan dimulai dengan sakitnya Tika dan hilangnya warga desa bernama Pak Rahmat. Tak ada hujan, tak ada angin, tiba-tiba saja ia hilang tanpa jejak. Padahal, sebelumnya, ia masih bergumul dengan warga tanpa satu keanehan sedikitpun. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada Rahmat, Dibyo menggerakkan warga untuk melakukan pencarian.
Alih-alih menemukan Rahmat, Dibyo malah mendapati orang-orang yang ia tugaskan mencari Rahmat ikut menghilang. Tak hanya itu, hewan-hewan ternak milik warga pun juga hilang satu per satu.
Dibyo sempat menduga Rahmat, warga desa, dan hewan-hewan ternak mereka menjadi korban serangan hewan liar. Namun, mengetahui mereka semua hilang dalam waktu relatif cepat, skenario hewan liar menjadi tak masuk akal. Tak butuh lama, warga desa mulai bergossip bahwa ada kekuatan “jahat” yang mengincar mereka. Kecurigaan mengarah ke Tika karena ialah satu-satunya pendatang dari luar, stranger.
ADVERTISEMENT
Apa yang membedakan hitam dengan kebanyakan serial atau film zombie adalah treatmentnya. Zombie di sini tidak tampil dominan. Alih-alih diperlihatkan berkelompok layaknya Horde di Dawn of The Dead ataupun World War Zombie, kemunculan zombie di Hitam tergolong sporadis untuk memperkuat kesan misteri pada perwujudan mereka. Bahkan, tak jarang fokus Hitam ada pada penduduk, bukan zombie.
Pendekatan tersebut memberi ruang pada Sidharta dan Ifa untuk membangun fondasi soal bagaimana trope film zombie bisa dikaitkan dengan socio cultural Indonesia. Hasilnya lumayan, Hitam menjadi bukan soal zombie saja, tetapi juga potret masyarakat perdesaan dari paguyuban, persaingan lokal, keyakinan akan hal-hal supernatural, hingga bagaimana desas-desus bisa menyebar dengan mudah di sana.
Sidharta sukses menyeimbangkan unsur-unsur itu dalam durasi episode yang relatif singkat. Rritme Hitam terasa enak diikuti, tidak dipanjang-panjangkan layaknya kebanyakan serial horror di Indonesia. Di setiap episodenya, penonton akan disuguhkan ketegangan dan kengerian lewat misteri dan fakta-fakta yang mengejutkan dari kasus yang ada. Ketegangan tersebut dibangun dengan cukup apik dengan visualisasi yang cukup mencekam.
ADVERTISEMENT
Aksi yang brutal dan sadis tidak dikesampingkan Hitam. Perhatian khusus tetap diberikan pada unsur itu mengingat kisah zombie tanpa aksi memakan tubuh manusia tentu seperti sayur tanpa garam, hambar. Hasilnya adalah perwujudan zombie yang tidak terkesan palsu seperti kebanyakan film horor thriller Indonesia lainnya, namun juga tidak terkesan terlalu menjijikkan. Sesuai porsi dan dapat membantu jalannya cerita. Singkatnya, elegan dan berkelas.
Pemilihan aktor dan aktris untuk serial ini juga patut diacungi jempol. Akting Donny Damara sebagai pemeran utama memang tidak perlu diragukan lagi. Ia berhasil hadir sebagai figur ayah yang sabar dan rela melakukan apapun demi anaknya. Namun, kejutan datang dari Sara Fajira yang memerankan Tika.
Meski belum berkarir panjang di industry serial dan film, Sara mampu mengimbang acting Donny Damar. Ia mampu menghadirkan kompleksitas terhadap karakter Tika. Di satu sisi Ia hadir sebagai anak yang tidak akur dengan ayahnya, di sisi lain ia menghadirkan kemisteriusan yang berkaitan erat dengan kehadiran zombie di Hitam. Chemistry antara Sara dan Donny adalah salah satu highlight dari serial ini.
ADVERTISEMENT
"Hitam" membuktikan bahwa film horor thriller Indonesia bukan melulu soal hantu ataupun ilmu hitam. Selain itu, film zombi juga bukan melulu soal kejar-kejaran demi bertahan hidup. Film zombie bisa juga menjadi thriller dan itu kembali pada bagaimana sineas mengeksplor konsep dari zombie itu sendiri. Karakterisasi zombie yang ada sekarang pun sebenarnya sudah melenceng dari konsep awalnya yang berkaitan dengan praktik ilmu hitam di Haiti.
Untuk menikmati kisah zombie dengan kearifan lokal ini, sila berlangganan Klik Film Premier dengan harga mulai Rp 10.000 per minggu.
Ferenzkey Alvinda