Review 'Onward': Kisah Coming of Age dengan Bumbu RPG

Konten Media Partner
1 Maret 2020 7:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Onward (Foto: Pixar)
zoom-in-whitePerbesar
Onward (Foto: Pixar)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Dari sekian banyak kisah yang sudah dibuat oleh Pixar, Coming of Age adalah genre yang belum pernah mereka sentuh. Toy Story berbicara tentang krisis identitas, Inside Out berbicara tentang psikologi, Finding Nemo berbicara tentang pola asuh, Wall-E berbicara tentang alam, namun belum ada yang berbicara tentang masa puber. Nah, film terbaru Pixar yang berjudul Onward adalah percobaan pertama mereka di genre Coming of Age.
ADVERTISEMENT
Mengambil setting di mana dunia fantasi telah berasimilasi dengan dunia modern, Onward bercerita tentang petualangan dua monster bersaudara, Ian (Tom Holland) dan Barley Lightfoot (Chris Pratt), untuk bisa bertemu lagi dengan ayah mereka. Kisah petualangan mereka sendiri bermula ketika Ian mendapat hadiah ulang tahun berupa tongkat sihir dan batu ajaib bernama Phoenix Stone. Konon katanya, jika Phoenix Stone digunakan dengan benar, maka orang yang mati bisa hidup kembali.
Tumbuh besar tanpa kehadiran sang ayah, impian Ian dan Barley adalah bisa melihat kembali ayah mereka. Oleh karenanya, begitu mendapat hadiah Phoenix Stone, hal pertama yang mereka lakukan adalah mencoba menghidupkan kembali sang ayah.
Ternyata, menggunakan Phoenix Stone bukan perkara gampang. Percobaan sihir pertama mereka (agak) gagal total. Bukannya menghidupkan kembali ayah mereka secara utuh, Ian dan Barley hanya berhasil menghidupkan separuh tubuh ayah mereka. Kaki hingga pinggang, tanpa tubuh, tangan, dan kepala. Menggelikan.
ADVERTISEMENT
Masalah tidak berhenti di situ. Phoenix Stone yang mereka miliki juga hancur lebur. Tidak mau ayah mereka hidup kembali tanpa badan, keduanya bertualang untuk mencari Phoenix Stone baru. Modal mereka: petunjuk dari kartu board game. Apa yang selanjutnya terjadi bisa ditebak, kekacauan demi kekacauan.
Di balik kekacauan-kekacauan tersebut, fokus Onward sesungguhnya ada pada karakter Ian. Tumbuh tanpa kehadiran sang ayah membuatnya menjadi sosok yang pemalu, canggung, dan kikuk. Di hari ulang tahunnya yang ke-17 saja, Ian tidak berani mengajak teman-temannya untuk berpesta. Ketika di-bully, bukannya membela diri, Ian menyerah dengan pasrah. Singkat kata, dia menyedihkan.
Onward (Foto: Pixar)
Bagusnya, Ian ingin berubah. Ia tidak ingin seterusnya menjadi pecundang. Menghidupkan kembali ayahnya adalah jalan keluar. Ia ingin belajar langsung darinya bagaimana menjadi pria yang tangguh. Itulah kenapa ketika Barley mengatakan ada satu Phoenix Stone lagi, Ian langsung memutuskan untuk bertualang bersamanya.
ADVERTISEMENT
Premis Onward sebenarnya tergolong usang. Kisah Coming of Age di mana tokoh utama menjadi dewasa dengan keluar dari zona nyaman sudah terlalu sering dipakai. Namun, sutradara Dan Scanlon (Monster University) memiliki cara yang unik dalam menyampaikan kisah generik tersebut. Ia mengambil pendekatan ala Role Playing Game (RPG).
Ya, Onward sangat kental dengan referensi ke western RPG ala Dungeon and Dragons (D&D). Grinding, leveling, puzzle, magic, monster, semua ada di Onward. Bahkan, petualangan Ian dan Barley didesain menyerupai quest yang berada di game-game RPG.
Sebagai gambaran, untuk Ian dan Barley bisa mendapatkan lokasi Phoenix Stone, mereka harus bertualang dari satu lokasi ke lokasi. Di tiap lokasi, mereka harus bertanya kepada penduduk setempat untuk mendapatkan petunjuk. Terkadang, mereka harus berhadapan langsung dengan makhluk-makhluk mengerikan nan jenaka ala Manticore (Octavia Spencer), seorang singa dengan sayap kelelawar, ekor scorpion, dan rambut keriting.
Onward (Foto: Pixar)
Sepanjang petualangan, Ian juga melatih kemampuan sihirnya, persis seperti proses leveling di game-game RPG. Ian tidak langsung jago sejak awal. Dan, seperti di game, jika ia tidak melatih kemampuannya, maka ia tidak akan bisa melampaui rintangan-rintangan yang menghalanginya.
ADVERTISEMENT
Konsep western RPG tidak dipakai mentah-mentah oleh Dan Scanlon. Memakai semua pengalamannya dari Monster University, ia menggabungkan dunia fantasi dari western RPG dengan dunia kontemporer. Hasilnya adalah perpaduan yang unik. Polisi tidak diperankan manusia, tetapi centaur. Anjing-anjing liar digantikan oleh unicorn dan preman jalanan digantikan para peri-peri yang galaknya setengah mati. Sementara bar, di mana selalu menjadi pusat pertukaran informasi di RPG, digantikan gerai makanan cepat saji. Semua itu membuat perjalanan Ian dan Barley menuju kedewasaan menjadi lebih asyik walau dengan premis yang sudah usang.
Akting dari Tom Holland dan Chris Pratt ikut menghidupkan karakter Ian dan Barley dengan pas sepanjang petualangan mereka. Tom sangat cocok menjadi Ian yang kikuk dan canggung, sementara Pratt pantas menjadi Barley yang urakan, tengil, namun sayang setengah mati dengan adiknya. Mungkin mereka tertolong karakter Ian dan Barley yang tidak jauh berbeda dengan Peter Parker (Spider-man) dan Peter Quill (Star Lord) dari Marvel Cinematic Universe di mana juga diperankan oleh Tom dan Pratt.
ADVERTISEMENT
Dari sisi komedi, Onward juga tampil jenaka. Ada banyak momen-momen lucu yang siap menimbulkan gelak tawa. Adapun komedi yang kerap mencuri perhatian hadir dari ayah Ian dan Barley. Hadir tanpa badan, kepala, dan tangan, ia banyak melakukan gerakan-gerakan aneh yang akan mengingatkan penonton dengan polah physical comedian seperti Mr. Bean, Charlie Chaplin, Buster Keaton, ataupun Jacques Tati. Kalau pernah menonton film komedi klasik berjudul Weekend at Bernies (1988), nah komedi yang dihadirkan sang ayah sangat mirip dengan film itu.
Onward (Foto: Pixar)
Di luar segala kelebihan yang sudah disebutkan, Onward memiliki satu kekurangan yang sangat kentara: ia terlalu ringan. Onward tidak memiliki bobot yang sama kuatnya dengan film-film Pixar sebelumnya. Penonton tidak ditantang untuk memikirkan ulang pesan-pesan yang dihadirkan sehingga apa yang terjadi adalah Onward berakhir menjadi hiburan saja. Sangat berbeda apabila dibandingkan dengan Inside Out di mana penonton ditantang untuk memikirkan dampak dari emosi, motivasi, dan tekanan atau seperti Wall-E di mana penonton diminta memikirkan ulang modernisasi dan dampaknya terhadap lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch tidak mencoba mengatakan bahwa Onward adalah film yang buruk. Sebaliknya, film yang akan tayang di bioskop Indonesia pada tanggal 4 Maret ini adalah produk Pixar yang sangat menghibur, adventurous, dan tetap wajib ditonton. Ia hanya gagal mencapai standar tinggi (terlampau tinggi?) yang sudah ditetapkan Pixar. Mungkin lebih pas menyebut Onward sebagai surat cinta Pixar terhadap western RPG.