Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review 'The Boy With Moving Image': Kisah Menarik yang Disia-siakan
10 November 2020 20:32 WIB
Diperbarui 24 November 2020 16:30 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Percuma memiliki kisah menarik apabila tidak dieksekusi dengan baik. Hal itu dialami film The Boy With Moving Image, film lokal karya Roufy Nasution. Kisah besarnya soal seorang sutradara yang menemani perempuan suicidal di hari-hari terakhirnya terbuang sia-sia karena eksekusi yang terlalu bertele-tele dan terkadang seperti kebingungan mau ke mana cerita dibawa.
ADVERTISEMENT
Kisah The Boy With Moving Image
The Boy With Moving Image sendiri diceritakan dari sudut pandang seorang sutradara muda, Vaiyang (Hafidz Auilia), yang tengah mencari lokasi shooting untuk film terbarunya. Berbekal rekomendasi temannya, pencarian Vaiyang berujung kunjungan ke rumah tua yang dihuni seorang perempuan muda bernama Ning (Nithalie Louisza).
Pertemuan pertama Vaiyang dan Ning tergolong unik. Belum apa-apa, Vaiyang sudah disambut Ning dengan pisau di genggamannya. Bukan pisau kecil yang dipakai untuk mengoles selai, tetapi pisau dapur yang biasa ada di film slasher. Ning beralasan ia tinggal sendiri dan ada banyak kasus pencurian di tempatnya sehingga mau tak mau ia selalu membawa pisau ketika menerima tamu, siapapun itu.
Dari disambut dengan pisau, pertemuan Vaiyang dan Ning berkembang ke arah yang tidak terduga. Saat Vaiyang menanyakan apakah dirinya boleh menggunakan rumah Ning untuk lokasi shooting, ia memperbolehkannya dengan syarat: Vaiyang harus menemaninya mati. Bukan mati bersama, tapi menemani Ning hingga ia mati. Ning tidak ingin mati sendiri.
ADVERTISEMENT
Vaiyang awalnya ragu akan permintaan tersebut dan menganggapnya sebagai candaan saja. Namun, melihat Ning serius dengan permintaannya, ditambah dirinya penasaran akan latar belakang Ning, Vaiyang mengiyakan permintaan tersebut.
The Boy with Moving Image sesungguhnya sudah dibuka dengan menarik. Di awal film, penonton diperlihatkan dengan serangkaian adegan Ning menyiapkan kematiannya mulai dari membersihkan rumah (untuk nanti ia tinggalkan) hingga mencoba mencekik dirinya sendiri. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Ning ke Vaiyang bahwa dirinya yakin akan mati sebentar lagi dan ia sendiri merasa tidak punya tujuan hidup lagi. Namun, dari situ, kualitas film ini perlahan turun hingga sulit untuk dinikmati.
Salah satu pemicunya adalah naskah atau dialog yang lemah. Ketika menonton The Boy With Moving Image, tampak sutradara Roufy Nasution mencoba untuk memasukkan diskusi-diskusi eksistensialisme dalam percakapan Vaiyang dan Ning ala My Dinner With Andre. Sayangnya, dialognya terlalu bertele-tele dan tak jarang kehilangan fokus. Alhasil, sulit untuk merasa engaging dengan percakapan Vaiyang dan Ning yang merupakan jualan utama film ini.
Sebagai contoh, di paruh pertama film, setelah penonton dibuat hooked dengan tawar menawar Vaiyang dan Ning, hal itu malah dilanjutkan adegan vlogging dan percakapan soal film favorit masing-masing yang out of place.
ADVERTISEMENT
Awalnya PSR menduga percakapan soal film itu sebagai foreshadowing soal "ending" apa yang diinginkan Ning, tapi ternyata tidak. Percakapan film tersebut, sudah kelewat panjang, tidak menambah informasi yang benar-benar penting pula selain latar belakang Vaiyang jadi sutradara.
Dialog-dialog lemah diperburuk dengan akting para pemainnya yang relatif datar juga. Tidak ada chemistry yang kuat di antara keduanya. Percakapan Vaiyang dan Ning, alhasil, menjadi terasa tidak hidup, lifeless.
Ada kalanya kami berpikir kekakuan tersebut adalah creative decision karena kisahnya sendiri soal perkara hidup atau mati sehingga dibuat terasa "dingin". Namun, mendapati beberapa bagian idiosyncratic di film ini, tampaknya problem tersebut murni karena akting yang datar dan dialog yang lemah.
Berbicara soal idiosyncratic, bagian bagian yang terasa quirky itulah yang sesekali menyelamatkan film ini dari masalah-masalahnya. Adegan Ning mencoba melakukan repetisi dialog dengan gaya berbeda-beda adaah salah satunya. Adegan itu memperlihatkan bahwa karakter Ning bisa dibuat menarik dan depresif secara bersamaan. Sayangnya, jarang sekali hal hal seperti itu muncul dan kebanyakan baru tampil di paruh kedua.
ADVERTISEMENT
Butuh perjuangan dalam menonton The Boy With Moving Image hingga titik di mana ia terasa seunik premisnya. Ketika titik itu tercapai, penonton kemungkinan sudah bosan untuk menuntaskannya. Mungkin film ini butuh cut yang berbeda, yang lebih singkat dan padat.