Review 'The Devil All The Time': Ketika Agama dan Religiositas Dieksploitasi

Konten Media Partner
18 September 2020 9:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Devil All The Time (Foto: Netflix)
zoom-in-whitePerbesar
The Devil All The Time (Foto: Netflix)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Ketika Agama dan religiositas dieksploitasi, The Devil All The Time menjadi pilihan tontonan yang tepat di Netflix.
ADVERTISEMENT
Bersikap religius tak serta merta menjadikan seseorang sebagai sosok paling suci. Terkadang apa yang terjadi malah sebaliknya. Seseorang bisa saja menyalahartikan, menyalahgunakan agama untuk kepentingannya sendiri. Bisa dianggap sebagai pelarian, penyelamat, atau bahkan justifikasi untuk berbuat jahat.
Hal di atas adalah pesan utama dari film terbaru Netflix, The Devil All The Time. Diadaptasi dari buku berjudul sama, dengan Antonio Campos duduk di kursi sutradara, The Devil All Time mengajak penonton melihat bagaimana agama bisa diinterpretasi atau disikapi berbeda-beda hingga ke tahap ekstrim. Bagusnya, The Devil All The Time tidak melihat hal tersebut dari sudut pandang teroris yang sudah klise.
Kisah The Devil All The Time disampaikan dari perspektif warga dua kota kecil di Amerika, Knockemstiff di Ohio dan Coal Creek di West Virginia. Latarnya di tahun 1950an, belum lama setelah Amerika selesai terlibat di Perang Pasifik. Adapun kisahnya dimulai dari Willard Russel (Bill Sakrsgard), seorang veteran perang yang kembali ke Coal Creek untuk hidup damai seperti membangun rumah tangga dan memiliki rumah sendiri.
ADVERTISEMENT
Awalnya semua berjalan sesuai rencana Willard. Ia dipertemukan dengan Charlotte (Haley Bennett), dikaruniai anak bernama Arvin (Tom Holland), serta memiliki rumah besar di perbukitan Knockemstiff. Namun, perlahan itu semua runtuh, dimulai dengan istrinya terserang kanker parah.
Willard Russel dan Arvin (Foto: Netflix)
Willard, yang lahir dari keluarga religius, menjadikan Agama sebagai jalan keluar. Ia berdoa sekuat tenaga, bahkan sampai mensalibkan anjingnya sendiri. Dalam pikirannya, apabila nyawa dibayar dengan nyawa, maka istrinya akan dijauhkan dari bahaya. Hasilnya? Nihil. Dalam keputusasaannya, Williard memutuskan untuk mengakhiri nyawanya sendiri.
Kisah Willard yang tragis menjadi pembuka tautan kisah di The Devil All The Time. Satu persatu, dengan narasi yang acak dan multi-generasi, penonton diperlihatkan bahwa bukan hanya Willard yang 'bermasalah' dengan Agama. Orang-orang di sekelilingnya juga sama, termasuk anaknya sendiri. Mereka semua dipersatukan oleh Agama dengan cara pandangnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Ada kisah Helen Laferty (Mia Wasikowska) yang aslinya hendak dijodohkan dengan Willard namun berakhir dengan pendeta karismatik, Roy Laferty (Harry Meiling). Helen memandang Roy sebagai juru selamatnya yang sebatang kara. Tidak ia sadari, Roy sendiri meraba-raba di balik kegalapan, mempertanyakan religiositasnya sendiri.
Selain Helen, ada kisah Sandy Henderson (Riley Keough), pelayan di bar langganan Willard. Dirinya berjodoh dengan seorang fotografer dan mantan pastor bernama Carl Henderson (Jason Clarke). Berdua, keduanya menyitir Alkitab untuk menjaring muda-mudi polos dan menjadikan mereka model pornografi. Tidak semuanya berakhir dengan karya porno yang indah.
Arvin (Foto: Netflix)
Arvin (Tom Holland), dalam kisahnya sendiri, memandang Agama dengan sinis dan kritis. Apalagi setelah tragedi kedua orang tuanya. Ia masih beriman, tetapi tidak sepenuhnya taat, memilih kekerasan sebagai jalan keluar atas berbagai masalah. Sikapnya berbeda dengan adik tirinya, Lenora (Eliza Scanlen), yang sangat taat hingga dirinya pun memilih berhubungan dengan pendeta yang jago bersilat lidah dan cabul, Preston Teagardin (Robert Pattinson).
ADVERTISEMENT
Semua kisah tersebut, walau disampaikan secara non-linear, saling menguatkan narasi satu sama lain. Terkadang kisah satu karakter bisa memberi perspektif yang berbeda dari kisah karakter yang lain. Beberapa juga berfungsi sebagai foreshadow. Hal itu membuat semua kisah The Devil All The Time, walau terkadang terasa tidak karuan seperti sulitnya memahami Tuhan sendiri, tetap mampu menyedot kami untuk memahaminya hingga tuntas.
The Devil All The Time juga tidak sepenuhnya menggurui atau bersikap sinis terhadap Agama. Walau film ini didesain sebagai sebuah thriller dengan kritik religiositas, tetap ada pesan-pesan yang hopeful di baliknya. The Devil All The Time tidak menempatkan Agama sebagai masalah, tetapi cara pandang karakter-karakternya terhadap Agama yang menjadi masalah. Apa yang hendak ditunjukkan film ini, jika ingin disederhanakan, adalah Ironi dari religiositas itu sendiri.
Preston Teagardin (Foto: Netflix)
Di luar kisahnya yang kritis, hal menonjol lainnya dari The Devil All The Time adalah Tom Holland. Buang jauh-jauh image Peter Parker yang nerdy karena penonton akan melihat Tom Holland yang berbeda. Sepertiga terakhir The Devil All The Time, di mana thriller-nya makin menjadi-jadi, penonton akan melihat Tom Holland dalam wujud ter-brutalnya. Hal itu, tak ayal, memperlihatkan betapa luasnya kemampuan akting Tom Holland sesungguhnya.
ADVERTISEMENT