Review 'The Irishman': Membangun Tragedi dengan Sunyi

Konten Media Partner
4 Desember 2019 7:42 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Poster resmi The Irishman (Foto: Netflix)
zoom-in-whitePerbesar
Poster resmi The Irishman (Foto: Netflix)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch - The Irishman mendobrak stereotype bahwa film gangster selalu menonjolkan kejahatan, kekerasan, dan umpatan. Alih-alih memenuhi ketiga unsur tersebut, kisah The Irishman justru berdiri dengan fondasi kisah persahabatan. Alhasil, film karya sutradara kondang Martin Scorsese tersebut terasa berbeda dengan film-film gangster lainnya, bahkan yang disutradarai oleh Scorsese sendiri.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya presentasinya yang tidak biasa, durasi film yang diangkat dari kisah hilangnya Jimmy Hoffa itu pun luar biasa. Film yang tayang di Netflix tersebut menghabiskan waktu 3,5 jam untuk menceritakan seluruh kisahnya. The Irishman bahkan bisa dinikmati seperti mini series empat episode. Untungnya, The Irishman memiliki kualitas yang nyaris sempurna di mana membuat 3,5 jam itu berlalu cepat.

I Heard You Paint Houses

Salah satu adegan yang di dalam filmnya (Foto: Netflix)
I heard you paint houses (saya dengar kamu bekerja mengecat rumah)?” ucap Jimmy Hoffa (Al Pacino) via telepon dengan suara parau. Frank Sheeran (Robert De Niro), yang terhubung dengan Hoffa, membalas, “Yes, and I also do a carpentry (Ya, dan aku juga seorang tukang kayu).”
ADVERTISEMENT
Kisah besar The Irishman bermula dengan dialog singkat tersebut. Hoffa, yang di tahun 50an memimpin salah satu serikat pekerja terbesar di Amerika bernama Teamster Union, mencari seorang pelindung. Menurut Hoffa, keselamatan dirinya selalu terancam karena kerap membawa politisi lawan tidak nyaman dengan manuver-manuver politiknya.
Bingung harus mencari pelindung yang seperti apa, Hoffa meminta bantuan kepala Bufalino Crime Family, Russell Bufalino (Joe Pesci). Kepada Bufalino, Hoffa meminta tangan kanan yang bisa ia percaya hingga mati. Bufalino merekomendasikan Sheeran, veteran perang keturunan Irlandia (Irish) yang bekerja sebagai pembunuh bayaran.
Di bawah Bufalino, Sheeran memiliki tugas menghabisi semua musuh-musuhnya. Tak berhenti di situ, Sheeran juga bertanggung jawab menghilangkan jenazah-jenazah mereka tanpa sisa. Dengan kata lain, ketika Hoffa mengatakan “I heard you paint houses” kepada Sheeran, arti sesungguhnya adalah ia mengenal Sheeran sebagai algojo Bufalino.
ADVERTISEMENT
Tak butuh lama bagi Hoffa untuk klop dengan Sheeran sejak percakapan pertama mereka. Dalam hitungan bulan, keduanya menjadi pasangan yang tidak terpisahkan, saling melindungi dan melengkapi satu sama lain. Hoffa bahkan melibatkan Sheeran dalam bisnis haramnya, pengelolaan dana pensiun Teamster Union yang dikucurkan ke berbagai proyek mafia property.
Bisnis moncer, dukungan mafia, dan perlindungan Sheeran pada akhirnya membuat Hoffa jumawa. Ia merasa dirinya tidak akan pernah tersentuh penegak hukum. Sebaliknya, Sheeran merasa hanya perkara waktu saja untuk Hoffa jatuh ke tangan penegak hukum. Penyebabnya, menurut Sheeran, karena Hoffa dikelilingi orang-orang yang juga memiliki kepentingan pribadi.
Benar saja, begitu John F. Kennedy dilantik sebagai Presiden AS ke-35 berkat dukungan Bufalino, Bisnis Hoffa terancam. Bukannya makin aman, bisnis Hoffa malah dibidik jaksa agung sekaligus adik dari Kennedy, Robert. Apa yang selanjutnya terjadi bisa ditebak, Hoffa menuding Bufalino berniat mengorbankannya demi bisa menguasai bisnis di Kuba yang saat itu menjadi misi politik Kennedy.
Salah satu adegan yang di dalam filmnya (Foto: Netflix)
The Irishman mencoba menggambarkan secara detail bagaimana konflik antara Hoffa dengan keluarga mafia pada akhirnya berujung raibnya pria asal Michigan tersebut. Meski begitu, kisah tersebut tidak digambarkan dari sudut pandang Hoffa, melainkan dari perspektif Sheeran. Sebagai orang yang terus mendampingi Hoffa, bahkan hingga ajalnya, Sheeran tahu betul bagaimana maut perlahan datang mendatangi Hoffa tanpa ia sadari.
ADVERTISEMENT
Kisah maut The Irishman tidak disampaikan secara “hingar bingar” dan cepat ala the Goodfellas yang juga merupakan film gangster karya Scorsese. The Irishman menyampaikan kisahnya dengan lamban dan telaten karena ada banyak hal yang disampaikan. Hal-hal itu mulai dari persahabatan Sheeran dan Hoffa, keluarga keduanya, hingga situasi politik AS yang semuanya mengarah ke hilangnya Hoffa di tahun 1975. Tak mengherankan durasi filmnya mencapai 3,5 jam.
The Irishman juga tidak menggunakan baku tembak untuk mendorong maju kisah yang ada. Sebaliknya, The Irishman malah menonjolkan interaksi antara Sheeran, Hoffa, dan Bufalino. Interaksi-interaksi mereka bahkan tidak semuanya sarat dialog. Sebagian besar di antaranya disampaikan lewat ekspresi muka dan bahasa tubuh, itupun terkadang dibumbui slow-motion. Ibarat karya tulis, The Irishman lebih memilih untuk menunjukkan dibanding menceritakan.
ADVERTISEMENT
Presentasi yang telaten dan minim dialog pada akhirnya membuat The Irishman terkadang terasa sangat sunyi. Buat beberapa penonton malah mungkin terasa sangat lamban. Namun, bagi Play Stop Rewatch, hal itu malah memberi ruang bagi penonton untuk bisa lebih memahami karakter-karakter The Irishman, terutama Sheeran. Sederhananya, penonton tidak disuapi karakterisasi, tetapi ‘dipaksa’ menempatkan diri sebagai karakter yang ada.
Frank Sheeran (Foto: Netflix)
Bukan perkara gampang menyampaikan sebuah cerita dengan karakter yang tidak banyak berkata-kata. Namun, akting maksimal dari trio De Niro, Pacino, dan Pesci membuatnya cerita The Irishman terasa mengalir. Tidak sedikit bagian di mana mereka tidak mengucap satu patah kata pun, tetapi kita sudah bisa menginterpretasi apa yang terjadi saat itu.
Salah satu bagian di mana The Irishman berhasil membuat Play Stop Rewatch merasakan apa yang karakternya hadapi tanpa banyak berkata-kata adalah menit-menit menjelang “hilangnya” Hoffa. Pada bagian tersebut, ritme cerita ditarik super lamban dan fokus diarahkan ke Sheeran yang gelisah setengah mati menerima perintah untuk menghilangkan Hoffa.
ADVERTISEMENT
Momen yang lamban dengan fokus sepenuhnya ke Sheeran yang sulit makan, sulit tidur, sulit berbicara, pada akhirnya membuat Play Stop Rewatch ikut gelisah, menebak-nebak bagaimana “eksekusi” akan terjadi. Play Stop Rewatch tahu Hoffa pasti hilang karena itu fakta sejarah, bukan spoiler. Namun, perjalanan yang super lamban ke sana, ditambah akting De Niro yang maksimal, membuat kegelisahan menjadi tak terhindarkan. Tak berlebihan juga menyebutnya sebagai teror dan itu baru satu dari beberapa adegan serupa.
Bagaimana The Irishman mempresentasikan ceritanya tak pelak membawa ingatan Play Stop Rewatch ke pernyataan Scorsese beberapa bulan lalu tentang Marvel Cinematic Universe (MCU). Bagi sang sutradara, film-film MCU bukanlah sinema, tetapi “taman hiburan” yang digarap untuk menghibur dan tak lebih dari itu. Scorsese berkata, untuk sebuah produk film pantas disebut sinema, produk tersebut harus mampu memberikan cerita yang tak hanya menghibur dan membetot emosi, tetapi juga mampu menempatkan penonton di posisi karakter yang ada.
ADVERTISEMENT
The Irishman adalah wujud sinema menurut standar Scorsese. Semua yang menurut ia tak ada di film MCU ada di The Irishman. Tanpa bermaksud sepenuhnya membenarkan Scorsese, tetapi The Irishman berhasil membuat Play Stop Rewatch sedikit banyak menangkap poin yang hendak ia sampaikan. Seandainya dia mengucapkan pernyatan kontroversial tersebut setelah The Irishman rilis, mungkin reaksi publik akan sedikit berbeda.

Jagat Sinema Scorsese

Aktor favorit Martin Scorsese (Foto: IMDb)
Di kala Scorsese mengkritik jagat sinema Marvel, ironisnya The Irishman juga membentuk jagat sinema Scorsese secara tidak langsung. Ada berbagai bagian di The Irishman yang berhubungan langsung dengan film-film Scorsese lainnya, terutama Goodfellas yang kerap menjadi pembanding untuk The Irishman. Hal itu tak tak lain karena Goodfellas dan The Irishman memiliki setting waktu yang beririsan, awal tahun 70an.
ADVERTISEMENT
Penghubung kisah The Irishman dan Goodfellas adalah karakter Joe “Crazy Joe” Gallo (Sebastian Maniscalco). Dalam sejarah Amerika, Joe terkenal dengan perannya sebagai pemicu New York City Gang War. Gara-garanya, Joe menculik mayoritas mafia Profaci Crime Family untuk memeras mereka sekaligus menaikkan pamornya di antara mafia-mafia lainnya.
Benar saja, aksi gila Joe membuatnya dipuja-puja berbagai orang, tak terkecuali sesama anggota mafia yang bermimpi memiliki kegilaan yang sama. Nama Joe langsung meroket, menempatkannya sejajar dengan para mafia senior seperti Russell Bufalino di The Irishman.
Di Goodfellas, nama Joe menjadi penanda awal dan akhir New York City Gang War. Karakter Henry Hill (Ray Liotta) di Goodfellas mengatakan bahwa ia menjadi mafia di saat yang tepat, tahun 60an, sebelum Joe dengan gilanya memulai New York City Gang War. Selama New York City Gang War, menurut Hill, tak ada hal lain selain paranoia di antara keluarga-keluarga besar mafia di New York.
ADVERTISEMENT
Selain Goodfellas, kisah The Irishman juga beririsan dengan Casino. Casino, yang uniknya juga dibintangi Robert De Niro dan Joe Pesci, bercerita tentang proyek-proyek properti di Las Vegas yang ternyata dikuasai mafia dengan bantuan dana pensiun dari Teamster Union. Di The Irishman, Sheeran mengatakan bahwa tanpa kucuran dana gelap dari Teamster Union, Las Vegas tidak akan pernah sebesar sekarang.
Bagaimana kisah the Irishman saling bertautan dengan film Scorsese lainnya menjadi nilai plus tersendiri. The Irishman melengkapi informasi yang tidak ada di film gangster Scorsese lainnya, terlepas informasi-informasi tersebut juga tidak bisa disebut sepenuhnya akurat. Sederhananya, The Irishman tidak menawarkan akurasi, tetapi perspektif terhadap salah satu masa kelam Amerika di mana mafia ikut bermain di kancah politik negeri Paman Sam.
ADVERTISEMENT

Konklusi

The Irishman. (Foto: IMDb)
The Irishman menunjukkan bahwa film gangster bisa mengambil pendekatan yang berbeda jika sutradara berniat membawanya ke sana. Di tangan Scorsese, The Irishman menjadi angin segara untuk genre film gangster karena kekerasan tak lagi menjadi santapan utama, melainkan kisah persahabatan dan politik. Akting gemilang dari De Niro, Pacino, dan Pesci juga ikut membantu The Irishman untuk mencapai kualitas yang berbeda tersebut.
Perkara lama film, perlu diakui bahwa durasi 3,5 jam yang dimiliki The Irishman bisa terasa sangat intimidatif, terutama bagi mereka yang tidak memiliki banyak waktu untuk menonton film. Namun, sekalinya anda masuk ke cerita The Irishman, yakinlah bahwa akan sulit untuk berhenti menontonnya. Bagi Play Stop Rewatch sendiri, The Irishman adalah 3,5 jam tercepat yang pernah ada.
ADVERTISEMENT