Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Review The Tomorrow War: Fast & Furious Campur Tenet dan Edge of Tomorrow
9 Juli 2021 13:01 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:58 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - The Tomorrow War adalah Fast & Furious-nya film Time Travel. Bombastis, fun, snackable, tapi juga pretensius jika tak ingin dikatakan bodoh. Segala logika paradox yang biasa ada di film Time Travel dilibas untuk menghadirkan kisah yang menekankan pada adegan laga hiperbola. Ada perasaan aneh tersendiri bisa menonton film terbaru Chris Pratt ini hingga tuntas, lumayan puas, namun di saat bersamaan mentertawakannya.
ADVERTISEMENT
The Tomorrow War, yang tayang sejak pekan lalu di Amazon Prime, dibuka dengan kehadiran pasukan bersenjata dari masa depan di tahun 2022. Mereka hadir untuk memperingatkan bahwa bumi akan hancur dalam 30 tahun. Penyebabnya bukan pemanasan global apalagi virus Corona, tetapi invasi alien yang memangsa manusia bernama The White Spikes.
Peringatan itu dipercaya saja oleh pemimpin berbagai negara. Bersama, mereka sepakat untuk menggelar wajib militer, mengirim pasukan ke masa depan selama tujuh hari sebelum dikirim pulang ke masa kini. Tujuannya, untuk membantu prajurit masa depan memukul mundur White Spikes. Oleh para kepala negara, dinas militer ke masa depan itu disebut sebagai "The Tomorrow War".
Ternyata, mengalahkan White Spikes tidak semudah bayangan. Walau pasukan bumi masa depan sudah mendapat sokongan dari pasukan masa kini, mereka tetap saja kalah. Banyak tentara dari masa kini yang tewas dalam tugas, menyisakan mereka yang kembali dalam keadaan trauma dan pasrah bahwa bumi sudah pasti tamat.
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah dari mereka yang kembali ke masa kini membuat publik gempar. Mereka tidak siap menerima kenyataan bumi akan kiamat dalam tiga dekade. Apa yang terjadi selanjutnya adalah kerusuhan, kekacauan, penjarahan di mana-mana karena warga tak lagi melihat benefit dari society yang stabil. Di sekolah, pelajar memilih kabur dari kelas karena tak yakin mereka bisa jadi "orang" di masa depan nanti.
Dan Forrester (Chris Pratt ), adalah salah satu guru yang kelas-nya tak lagi diminati murid akibat The Tomorrow War. Sialnya, tak lama kemudian, ia mendapat giliran untuk masuk dalam kloter prajurit The Tomorrow War berikutnya. Tidak bisa berbuat apa-apa, Dan terpaksa bergabung dalam misi bunuh diri itu tanpa tahu apa yang bisa ia perbuat baik untuk masa depan maupun masa kini.
ADVERTISEMENT
Premis The Tomrrow War sebenarnyana menarik, soal bagaimana peradaban masa kini akan merespon kiamat yang tak terhindarkan. Hal tersebut, kami duga, sedikit banyak menyindir isu perubahan iklim dan bencana yang akan disebabkannya. Ketika bencana itu sudah di depan mata dan mendapat peringatan ekstra dari remaja bernama Greta Thunberg, baru berbagai negara bersatu untuk mencari solusinya.
The Tomorrow War sendiri diawali dengan pandangan yang pesimistis soal bencana di masa depan bahwa apapun yang kita coba, takdir itu tak terhindarkan. Namun, tentu bisa ditebak bahwa pandangan itu hanya bertahan di sepertiga pertama film saja.
Begitu karakter Dan bergabung dengan prajurit di masa depan, The Tomorrow War lupa akan premis itu dan berubah menjadi slaughterfest. Pasukan bumi seolah-olah mendapat buff untuk terus membantai White Spikes hingga tuntas. Perpindahannya cukup jarring mengingat sebelum-sebelumnya seperti tidak ada harapan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Dan, sebagai karakter utama, jelas mendapat plot armor berkali-kali lipat. Ia nyaris tidak tersentuh oleh White Spikes. Bahkan, ia juga satu-satunya orang yang berhasil menemukan kelemahan White Spikes, membuat kami bertanya-tanya apa yang dilakukan prajurit masa depan selama ini.
Perjalanan Dan dan prajurit The Tomorrow War menghabisi White Spikes selanjutnya disampaikan bak misi pada action role playing game. Polanya, Dan mencari sekelompok orang, mengambil sebuah objek, mengamankan objek itu jauh-jauh, kemudian meledakkan sebanyak mungkin musuh di depannya. Hal itu terjadi berulang-ulang, menjadikan The Tomorrow War terasa repetitif dan formulaic. Sedikit banyak, hal itu mengingatkan kami dengan The Army of The Dead yang punya problem sama.
Repetisi itu diperburuk oleh cerita yang biasa-biasa saja, tanpa logika time travel, dan beberapa kali sok serius. Sebagai contoh, jika tujuan utama pasukan masa depan adalah menghentikan invasi White Spikes, kenapa mereka tidak fokus saja menciptakan pencegahan di masa kini, 2022? Misalkan alasan mereka karena bumi masa depan berada di universe berbeda, kenapa hal itu tak dijelaskan sejak awal? Ada banyak hal yang tidak terjelaskan.
ADVERTISEMENT
Kami tahu bahwa sutradara Chris Mckay sebenarnya mencoba menyeimbangkan antara penyampaian kisah yang light-hearted dengan isu-isu masa depan yang sifatnya serius. Sayangnya, penyampaiannya serba nanggung. Untungnya, ia tahu betul bahwa penonton bakal lupa akan segala problem narasi yang ada jika dijamu dengan adegan laga beroktan tinggi tanpa kenal henti. Alhasil, hal itu lah yang terus ia tonjolkan sepanjang film.
Secara keseluruhan, The Tomorrow War adalah film Time Travel yang terasa seperti amalgam dari Fast and Furious, Edge of Tomorrow, Interstellar, Aliens, dan Tenet. Bedanya, The Tomorrow War lebih condong ke Fast and Furious, sama-sama tidak ngotak dalam menyajikan laga dan cerita. Walau begitu, tidak bisa diingkari bahwa laga-laga bombastis di film ini membuatnya fun, asyik ditonton, dan memberikan edge of your seat excitement hingga kami lupa akan kekurangan-kekurangannya.
ADVERTISEMENT
ENDRAPTA IBRAHIM PRAMUDHIAZ, ISTMAN