Sang Sutradara Menjelaskan Ending dari 'The Platform'

Konten Media Partner
28 Maret 2020 9:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Platform (Foto: Netflix)
zoom-in-whitePerbesar
The Platform (Foto: Netflix)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film The Platform yang rilis di Netflix menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Memiliki konsep gabungan antara Snowpiercer dan The Cube, film dari Spanyol ini ingin menggambarkan bagaimana sistem kapitalisme sangat merugikan orang-orang miskin.
ADVERTISEMENT
Dengan ending-nya yang sangat ambigu dan terkesan open ended membuat para penonton menerka-nerka apa arti dari ending film ini.
Galder Gaztelu-Urrutia, sutradara dari The Platform, menjelaskan maksud dari ending The Platform pada wawancara eksklusif dengan Digitalspy.
"Kita tentu berpikir bahwa harus ada distribusi kekayaan yang lebih baik, tetapi film ini tidak sepenuhnya tentang kapitalisme," jelas Galder.
Memang betul ada kritik terhadap sistem kapitalisme pada mulanya, tapi seiring film ini berjalan sampai Goreng dan Baharat mencoba praktik sosialisme untuk meyakinkan para tawanan untuk rela berbagi makanan mereka. Hal ini menghasilkan mereka berdua harus membunuh beberapa orang-orang yang tidak ingin bekerja sama.
Goreng dan Baharat melakukan praktik sosialisme (Foto: Netflix)
"Pada akhirnya, masalah muncul ketika kamu mencoba untuk meminta kolaborasi semua orang, dan kamu bisa lihat tidak ada pencapaian juga pada akhirnya," tutur Galder.
ADVERTISEMENT
Goreng memang berhasil membawa panna cotta ke lantai paling bawah, tapi itu tidak mengubah pemikiran orang-orang untuk saling berbagi makanan. Panna cotta juga tidak menjadi pesan yang ingin Goreng sampaikan ke lantai atas, melainkan anak kecil di lantai 333 yang dikirim ke lantai atas sebagai simbol pesan tersebut.
"Buatku, lantai terbawah itu tidak ada. Goreng sudah mati sebelum ia sampai, dan itu hanya interpretasinya soal apa yang ia rasa harus lakukan," ungkap Galder.
Sebenarnya Galder ingin membuatnya bisa terbuka untuk diinterpretasikan, apakah rencananya berhasil atau orang-orang di atas tetap tidak peduli.
"Kami sebenarnya membuat film dengan ending yang berbeda di mana anak kecil tersebut sampai di lantai pertama, tapi kami keluarkan hal tersebut dari film ini," kata Galder. "Aku meninggalkan apa yang terjadi pada imajinasi kalian."
ADVERTISEMENT
The Platform terlihat seperti sebuah pesan politik, tapi sang sutradara tidak berpikir demikian. "Pada akhirnya, film ini tidak akan mengubah dunia, tapi mungkin akan mengubah penontonnya," katanya.
Anak kecil yang ditemukan Goreng di lantai terbawah (Foto: Netflix)
Dan juga, mereka hanya ingin merepresentasikan masing-masing pihak seperti halusinasi Trimagasi dan Imougiri yang merepresentasikan egoisme dan altruisme.
Dengan berbagai cara, film ini juga menjadi pelajaran untuk orang-orang yang terlibat dalam industri juga. Karena mereak juga melihat pesan yang sama, kebodohan secara kolektif yang kami tangani mencegah kita untuk melihat masalah yang sebenarnya lebih penting.
"Film ini tidak menggambarkan seseorang sebagai yang baik atau buruk, ini tentang menanyakan apa yang akan kalian lakukan jika menemukan diri kalian di lantai 200 atau di lantai 48. Ini soal batas solidaritas kalian dan bagaimana dengan begitu mudahnya menjadi orang yang baik di lantai 10 dan sulit untuk melakukan hal yang sama ketika ada di lantai 182," jelas Galder.
ADVERTISEMENT
"Lubang tersebut mencerminkan bahwa adanya dehumanisasi dari dunia yang kita tinggal sekarang," Galder menyimpulkan.