Konten dari Pengguna

Arti Kata 'Merdeka' dan Pemikiran Tan Malaka

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
25 Oktober 2017 14:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“....Esok adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka 100 persen”.
ADVERTISEMENT
(Tan Malaka)
Menarik menelisik apa itu arti merdeka melalui brosur yang ditulis oleh Tan Malaka seusai ia melihat pertempuran Surabaya November 1945.
Arti merdeka oleh Tan Malaka dalam brosur berjudul Politik dijelaskan melalui percakapan kelima orang tokoh fiksi buatan Tan. Masing-masing tokoh mewakili golongan tertentu. Ada Mr. Apal (wakil intelektual), Toke (wakil pedagang), Pacul (wakil petani), Denmas (wakil ningrat), dan Godam (wakil buruh).
Bagian pertama memperlihatkan percakapan dua orang yakni Toke dan Pacul. Inti pembicaraan mereka yakni merdeka diibaratkan seperti burung Gelatik yang terbang bebas kesana kemari, riang gembira setiap hari (Malaka 2017: 200).
Tokoh Pacul mempertanyakan arti merdeka yang diibaratkan burung Gelatik oleh si Toke. Pacul malah mengemukakan bahwa terbang bebasnya sang Gelatik karena itu adalah kemampuan alamiahnya. Toh, terbang bebasnya sang Gelatik itu tak sepenuhnya ‘bebas’. Selalu saja ada musuh yang mengintai. Elang dan kucing contohnya. Tak ada adat atau undang-undang yang melindungi bebasnya Gelatik itu (ibid. 2017: 201).
ADVERTISEMENT
Si Pacul mempertanyakan kemerdekaan yang merampas hak milik orang lain. Memang, Gelatik itu hina papa katanya. Namun, bila mereka datang ke sawah para petani dengan kawan-kawannya, mereka bebas ‘merdeka’ menghancurkan lahan sawah milik para petani (ibid. 2017: 202). Merdeka semacam itu adalah merdeka merampas hak milik orang lain. Mengapa pula ada kemerdekaan yang seperti itu ?
Percakapan Toke dan Pacul belum selesai. Merdeka tidak berarti menjalankan kemauan sendiri tanpa mengindahkan hak orang lain. Mereka belum tuntas mencapai kata sepakat tentang arti merdeka. Mereka bertanya kepada tokoh Denmas (wakil ningrat). Denmas menjelaskan kemauan liar yang tidak terkendali haruslah diarahkan ke jalur yang benar (Malaka 2017: 203). Jika ada warga negara yang mencuri, dihukum. Sehingga akan menimbulkan efek jera terhadap warga lainnya dan hilang keinginannya untuk melakukan hal yang serupa.
ADVERTISEMENT
Diumpamakan juga oleh Denmas bila negara diserang oleh negara lain, maka raja harus memerintahkan semua warganya yang sehat dan kuat untuk berperang membela negaranya. Disini kita bisa melihat sudut pandang Tan menggunakan tokoh intelektual Mr. Apal yang mempertanyakan bagaimana bila raja tersebut memiliki sifat yang merusak pula ? Tidak adil, bijaksana, serta gagah perkasa seperti yang tokoh Denmas kemukakan. Disinilah terlihat bahwa ideologi yang dianut Tan (komunisme) bertentangan dengan sistem pemerintahan feodalisme yang notabene menekankan kuasa pada sekelompok kecil orang.
Tokoh Pacul mengemukakan pendapatnya tentang watak raja abstrak itu. Dia mempertanyakan memang negara akan aman sentosa kalau diperintah oleh seorang raja seperti yang Denmas ungkapkan. Namun, tidak semua raja seperti itu. Bagaimana bila adik sang raja, saudara seayah sang raja lebih adil dan bijaksana dari sang raja sendiri ? kemungkinan besar yang akan timbul adalah perang saudara. Apalagi bila negara dipimpin seorang raja, maka kemakmuran negara tersebut terrgantung pada satu keluarga saja (oligarki). Belum tentu secara turun-temurun kebijakan keluarga raja tersebut selalu benar.
ADVERTISEMENT
Si Toke mengingatkan semua bahwa pokok permasalahan yang sedang dibicarakan adalah tentang arti dari merdeka (ibid. 2017: 205). Untuk mengendalikan kemauan liar tersebut, contohnya dalam hal ini raja sebagai penguasa, maka dibutuhkan pengendali. Apa pengendali itu ? Mr. Apal menjawab untuk mengendalikan rasa merdeka yang liar itu dibutuhkan suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang bersifat mengikat.