Belajar Arti Teladan dari Albert Schweitzer, si Jenius yang Berhati Mulia

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
14 Januari 2021 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Albert Schweitzer. Dok: Wall Street Journal
zoom-in-whitePerbesar
Albert Schweitzer. Dok: Wall Street Journal
ADVERTISEMENT
Albert Schweitzer, lahir pada 14 Januari 1875 merupakan seorang teolog, musikus, filsuf dan dokter yang berdarah Alsace. Ia lahir di Kaisersberg, Alsace-Lorraine yang pada waktu itu masih merupakan bagian dari Kekaisaran Jerman. Setelah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia I pada tahun 1918, Schweitzer mengubah kewarganegaraannya menjadi Prancis berdasarkan garis keturunan Alsacenya.
Dok: PBS
Schweitzer adalah seorang yang terlahir jenius. Ia belajar dan menguasai musik dengan sangat baik. Selain itu, Schweitzer kecil juga sangat peka terhadap keadaan sosial sekitarnya dan dikenal sebagai orang yang murah hati.
ADVERTISEMENT
Ketika berusia 6 tahun, Schweitzer sangat tersentuh ketika pada hari pertamanya ia bersekolah, ia melihat teman-teman di sekelilingnya dan ia menyadari betapa banyak orang yang tidak bernasib baik dan beruntung seperti dirinya dan keluarganya. Pada hari itu juga Schweitzer memutuskan untuk tidak mengenakan pakaian yang lebih bagus daripada teman-temannya di sekolah. Naluri sosial dan kemanusiaannya sudah berkembang sejak ia kecil.
Schweitzer memulai karier bermusiknya sejak muda di Paris. Namun, tidak lama setelah itu, meskipun dinilai mempunyai bakat yang luar biasa dalam musik, Schweitzer berfokus untuk melayani sesama dengan mengikuti jejak sang ayah sebagai teolog dan pendeta. Schweitzer belajar teologi dan filosofi yang kemudian mengantarkannya menjadi pengajar di Universitas Strasbourg.
ADVERTISEMENT
Pada usia 28 tahun, Schweitzer meninggalkan profesinya sebagai dosen setelah ia membaca tentang kemiskinan yang melanda Negara Kongo di pantai Barat Afrika. Ia berkeinginan untuk membantu masyarakat di sana, yang dianggap sebagai masyarakat yang benar-benar miskin, dan ia menyadari bahwa memberbaiki kesehatan di sana merupakan jalan terbaik untuk membantu secara langsung.
Hal itulah yang membuat ia mempelajari ilmu kedokteran. Setelah lulus, Schweitzer mengajukan permohonan untuk ditugaskan di Lambarene, di daerah yang kini menjadi negara Gabon.
Dok: Deutsche Welle
Di sana, Schweitzer memulai perjalanannya dengan membangun rumah sakitnya yang fenomenal yang terbuat dari kandang ayam. Dalam sembilan bulan pertama, ia bersama isterinya telah mengobati lebih dari 2000 orang sakit. Ketika perang dunia pertama pecah, ia dipanggil untuk kembali ke Prancis dan menulis beberapa buku tentang etika dan filsafat, yang antara lain mengantarnya untuk kelak memperoleh penghargaan Nobel.
ADVERTISEMENT
Setelah memungkinkan untuk kembali ke Afrika, ia menggalang dana dengan mengadakan konser di mana ia sendiri menjadi musisinya, dan dengan itu ia bisa membawa berbagai peralatan yang layak untuk pengobatan di rumah sakitnya yang berada di pedalaman Afrika itu.
Albert Schweitzer yang dikenal piawai memainkan alat musik. Dok: German Culture
Dengan berbagai kiprahnya dalam kemanusiaan, Schweitzer berhasil menjadikan kisahnya sebagai daya tarik para dermawan, dan dalam tahun-tahun berikutnya, sumbangan kemanusiaan mengalir deras. Pada tahun 1952 Schweitzer menerima hadiah Nobel Perdamaian atas dedikasi kemanusiaannya yang luar biasa, dan inspirasinya bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia hingga saat ini.
Albert Schweitzer wafat ketika menginjak usia 90 tahun. Ia meninggal di Gabon, Afrika di mana ia menjalankan misi kemanusiaannya.
Rumah Schweitzer yang kini menjadi museum di Königsfeld, Black Forest. Dok: Wikimedia Commons
***
Referensi: