Konten dari Pengguna

Lyudmila Pavlichenko, Sniper Wanita Perang Dunia II Paling Mematikan dari Soviet

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
24 Maret 2021 15:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lyudmila Pavlichenko dan senapan jitunya dalam sebuah pertempuran tahun 1941. | Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Lyudmila Pavlichenko dan senapan jitunya dalam sebuah pertempuran tahun 1941. | Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Begitulah salah satu kutipan pidato Lyudmila Pavlichenko yang memekik kerumunan pria di Chicago, Amerika Serikat (AS), akhir tahun 1942. Kala itu, ia dipercaya Uni Soviet untuk menggalang dukungan AS, Kanada, dan Inggris guna membantu mengalahkan Nazi Jerman di front Perang Eropa.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Pavlichenko juga menjadi warga Uni Soviet pertama dalam sejarah yang diterima Presiden AS Franklin D. Roosevelt di Gedung Putih.
Namun, sebelum berada di masa tersebut, Pavlichenko sudah mengalami pengalaman menantang dalam hidupnya. Ia membuktikan wanita juga bisa mengambil peran heroik di garis depan peperangan bagi negaranya.
Dan peran yang ia ambil yaitu sebagai sniper wanita paling mematikan sepanjang sejarah Perang Dunia II.

Wujud Balas Dendam

Usai melakukan tur di Amerika Serikat, Pavlichenko menjadi seorang mayor yang dianugerahi medali Gold Star sebagai Pahlawan Uni Soviet dan Order of Lenin dua kali pada tahun 1943.
Pavlichenko lahir di Balaya Tserkov, sebuah kota di luar Kiev, Ukraina pada 1916. Sejak muda, ia menjadi perempuan yang kompetitif dan mengikuti pelatihan tembak hingga mendapat beberapa sertifikat keahlian menembak.
Pada umur 16 tahun, ia sudah menikah dan memiliki seorang anak. Namun, keinginannya lebih besar dibanding sekadar menjadi ibu rumah tangga. Ia bercerai dengan suaminya dan kuliah jurusan sejarah di Universitas Kiev.
ADVERTISEMENT
Ketika memasuki tahun-tahun akhir kuliah, Nazi Jerman menyerang sejumlah wilayah Uni Soviet pada 22 Juni 1941--dikenal sebagai Operasi Barbarrosa. Kampus Pavlichenko hancur lebur dibombardir, ia pun tak bisa menyelesaikan gelar sarjananya.
Dipenuhi rasa dendam terhadap Nazi, Pavlichenko mendaftar sebagai sniper di tentara Soviet. Awalnya ia ditugaskan sebagai perawat serdadu, namun ia menunjukkan beberapa sertifikat keahlian menembaknya dan berhasil masuk ke Divisi Senapan ke-25 Tentara Merah sebagai sniper.
Saat pertama kali ditugaskan, awalnya ia tidak dibekali senapan karena keterbatasan senjata dan hanya dibekali granat tangan. Namun begitu seorang rekan di sampingnya tertembak, ia langsung meraih senapan Mosin-Nagant dan menembak dua tentara Nazi-Rumania.

Taktik dan Ancaman

Pavlichenko sedang mengintai Nazi Jerman tahun 1942. | Wikimedia Commons
Selama bertugas, Pavlichenko mengembangkan taktik snipernya di Pertempuran Odessa (8 Agustus-16 Oktober 1941). Ia pergi dari kemahnya setiap dini hari ke garis depan musuh dan kembali saat malam; berbaring tanpa gerakan berjam-jam dan menunggu kesempatan menembak.
ADVERTISEMENT
"Anda membutuhkan fokus, niat, dan daya tahan yang kuat untuk berbaring selama lima belas jam tanpa bergerak. Gerakan sekecil apa pun bisa berbuah kematian," ungkapnya dalam sebuah memoar.
Di Pertempuran Odessa, ia membunuh 187 tentara Jerman dengan senapannya. Lalu bertambah menjadi 257 tentara saat Pertempuran Sevastopol. Berkat perolehan ini, ia dipromosikan menjadi Sersan Kepala pada Mei 1942.
Dari jumlah itu, 36 korban di antaranya merupakan sniper Jerman yang berduel dengannnya selama berhari-hari. Ia sering memakai umpan manekin berseragam Nazi atau syal cerah yang diikatkan pada tanaman untuk mengetahui posisi musuh snipernya dan mengambil kesempatan menembak.
Pavlichenko bersama dua delegasi Uni Soviet lainnya, Nikolai Kravchenko dan Vladimir Pchelintsev di Amerika Serikat September 1942. | Wikimedia Commons
Selama menjadi sniper, ia empat kali terluka, dan yang terakhir membawanya keluar dari pertempuran setelah persembunyiannya dihantam mortir Jerman dan serpihan peluru mengenai wajahnya. Pavlichenko diangkat menjadi Letnan dan secara aktif bertugas sebagai pelatih sniper.
ADVERTISEMENT
Tentara Jerman sangat takut dengannya, hingga menjulukinya Lady Death. Meski begitu, Pavlichenko kerap mendapat ancaman, seperti jika tertangkap maka tentara Jerman akan memotong tubuhnya menjadi 309 bagian.
Alih-alih menakutinya, ia justru merasa senang musuhnya begitu mengetahui reputasinya. Dan ketika ancaman itu tidak mempan, Jerman sempat gencar memberikan imbalan banyak cokelat dan menjadikan Pavlichenko perwira Jerman jika bergabung dengan Nazi.
Namun, ia jelas menolak iming-iming tersebut dan tetap membantu negaranya menghimpun dukungan kekuatan dari sekutu.

Usai Perang

Lyudmila Pavlichenko bersama Eleanor Roosevelt dan Hakim Robert Jackson saat pertemuan pemuda sekutu untuk mengalang dukungan perang di Washington DC September 1942. | Wikimedia Commons
Setelah perang, Pavlichenko diutus menghadiri tur ke negara-negara sekutu. Selama tur di AS pada 1942, ia ditemani istri Presiden Roosevelt, Eleanor, dan menjamin persahabatan erat karena kesamaan pemikiran tentang hak-hak perempuan.
Ketika kembali ke Uni Soviet, Pavlichenko menyelesaikan pendidikannya yang tertunda di Universitas Kiev dan memperoleh gelar master sejarah. Ia bekerja di Markas Besar Angkatan Laut Soviet sebagai peneliti.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1957, Eleanor mengunjungi Pavlichenko di Moskow saat Perang Dingin. Kedua kembali bertemu dan menceritakan momen bersama 15 tahun lalu saat tur di AS.
Pavlichenko wafat saat berusia 58 tahun karena sakit stroke. Ia mengalami depresi, alkoholisme, dan post-traumatic stress disorder setelah peperangan.
***
Referensi: