Konten dari Pengguna

Perangko Masa Hindia Belanda

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
24 Februari 2017 8:32 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perangko Masa Hindia Belanda
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
6 Mei 1840 - Pertama kali perangko diterbitkan. Penerbitan perangko pertama di Inggris yang tenar dengan sebutan Penny Black berhasil mempengaruhi negara lainnya, termasuk Belanda dan negara jajahannya kala itu. Mengingat padatnya lalu lintas surat-menyurat Negeri Belanda dengan jajahannya, maka terbitlah perangko pertama Ned Indie pada 1864 yang berilustrasikan Raja Willem III, Raja Belanda.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi perangko Raja Willem III merupakan sebuah rancangan T.W Kaisar, Amsterdam dengan desain sebelah kiri memuat tulisan Nederl dan bagian kanan memuat tulisan Indie. Perangko tersebut berhasil dicetak Belanda, Utrecht sebanyak 2.000.000 perangko.
Melihat langkanya kartu pos kala itu, Jawatan Pos mulai menerapkan teknik baru untuk surat menyurat dengan menghadirkan perangko sejak 1893 sebagai transaksi porto dan surat kiriman. Tidak sekedar itu. Ketidakefektifitasan dan ketidakefesiensian kartu pos membuat orang – orang berdalih menggunakan perangko secara masal meski perlahan.
Produksi perangko di Hindia Belanda mulanya dilakukan secara manual dengan menggabungkan potongan gambar menjadi sebuah ilustrasi panorama. Ilustrasi panorama yang didapatkan pun terbilang beragam, seperti panorama alam, kota, arsitektur, dan potret kehidupan lainnya. Pada 1890-1900 teknologi semakin maju dan cukup mampu memberikan pengaruh atas perkembangan perangko di Hindia Belanda jua. Setidaknya 30.000 desain telah dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Kantor pos, toko, restoran bahkan statiun pun kala itu mulai menjual perangko, salah satunya perangko berilustrasikan kota Jakarta, Bogor, Tanjung Priok, dan Serang dengan harga 5 sen/lembar. Dan mereka pun bekerja sama dengan penerbit dengan membagi keuntungan dari setiap penjualan.
Hingga akhir masa kolonialisme Belanda, tidak sedikit perangko yang tersisa dan layak pakai. Kala kependudukan Jepang, pemanfaatan sisa perangko tersebut digencarkan Jepang sebagai alat transaksi surat – menyurat dengan menindih tulisan yang ada di atas perangko tersebut.
Sumber foto : abulyatama.ac.id