Memanusiakan Wiji Thukul dalam 'Istirahatlah Kata-Kata'

Prabarini Kartika
Summer gale.
Konten dari Pengguna
2 Februari 2017 22:58 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prabarini Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tangisku pecah ketika Fajar Merah bernyanyi sepenuh jiwa melantunkan puisi ayahnya yang berjudul 'Bunga dan Tembok'...
ADVERTISEMENT
‘Istirahatlah Kata-Kata’, film biopik yang menceritakan kepingan hidup seorang manusia biasa yang suka menulis puisi bernama Wiji Thukul. Kebetulan juga, ia adalah seorang buron yang lari dari kejaran rezim Orde Baru ke Pontianak, Kalimantan. Terpaksa, ia meninggalkan istri, kedua anaknya, dan tempat tinggalnya di Solo. Film ini menceritakan bagaimana seseorang yang biasa kita temui setiap hari di jalan ternyata menyimpan ketakutan yang luar biasa akan tentara, tapi di sisi lain ia juga bisa hidup sebagai orang yang bebas.
Yosep Anggi Noen sukses merepresentasikan sepenggal kehidupan Wiji yang mengisolasi dirinya di Pontianak. Sebagai seorang sutradara, Anggi tidak perlu memperkenalkan siapa itu Wiji dan kehidupan seperti apa yang Wiji jalani sebelum ia mondar-mandir di sana. Kehidupan istri Wiji yang bernama Sipon juga tidak kalah kuat dalam menggambarkan perasaan seorang ibu dari dua anak yang ditinggal suaminya entah ke mana dan apa nasibnya. Sejak awal, penonton hanya dibekali sepenggal kalimat saja untuk mencari tahu plot utama dari film ini.
ADVERTISEMENT
Harus diingat bahwa ini bukan film komersial, tapi awalnya ini adalah film festival.
Jangan berekspektasi bahwa setiap gerak-gerik tokoh di dalam film ini akan menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi. Penonton dipersilakan menafsirkan sendiri makna dialog dari para tokoh, baik itu dialog dalam batin atau dialog antar tokoh. Jangan juga berekspektasi akan disajikan sebuah cerita dengan tempo yang cepat. Film ini sangat detail dalam menggambarkan raut wajah dan ekspresi sehingga penonton bisa menangkap emosi yang sedang dirasakan oleh tokoh itu.
Puisi-puisi pedih yang ditulis oleh Wiji dan kemudian dimasukkan oleh Anggi untuk merepresentasikan emosi Wiji saat ia menulis puisi itu. Gunawan Maryanto yang berperan sebagai penyair asal Solo itu bisa menarasikan puisi tersebut dengan suara yang parau tapi tegas lengkap dengan cadelnya. Visual yang dihadirkan ketika puisi disuarakan tidak berlebihan, tidak mengada-ada, dan tidak hiperbolik.
ADVERTISEMENT
“Dia paham betul anatomi kata-kata dan tubuh puisi. Kemudian soal bagaimana seorang Wiji itu menulis puisi, dia mampu menjadi representasi ulang seorang tubuh yang sedang menulis puisi. Yang kita saksikan adalah gerakan, tubuh itu sendiri, aktor, dan nyawa,” tutur Anggi bercerita mengenai Gunawan, yang juga seorang pemain teater di Yogyakarta.
Epilog dari film ini mulai terasa ketika Wiji akhirnya memutuskan untuk bersatu lagi bersama Sipon di Solo. Tidak terlihat seorang Marissa Anita dalam frame itu, yang ada hanyalah Sipon. Sipon harus menelan pahit-pahit bagaimana cibiran tetangganya menghakimi dia sebagai pelacur, intel yang terus mengikuti dan menginterogasi keluarganya, sambil terus menantikan kepulangan suaminya setiap detik.
Aku tidak ingin kamu pergi
ADVERTISEMENT
Aku juga tidak ingin kamu pulang
Aku hanya ingin kamu ada
“Film itu dibuat untuk mencatat dan memberi, memancing pemikiran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Film ini tidak mengadili karena saya juga tidak akan membuat semacam ending yang saya putuskan. Ending dari film ini adalah sebuah pertanyaan,” tutur Anggi mengenai bagaimana ia merumuskan akhir dari film ini.
Seperti itukah rasa kehilangan orang yang dicintai begitu mendadak?
Itulah yang dirasakan ketika film berakhir. Anggi selaku sutradara dan penulis naskah sangat berhati-hati dalam menentukan diksi untuk skenario. Selain puisi Wiji yang diucapkan secara verbal juga ada yang digambarkan lewat adegan. Simbol-simbol yang ada dalam film memperluas konteks kita akan keadaan tahun 1996 walaupun opresi dan ketegangan di ibukota tidak digambarkan sama sekali. Bahkan bagaimana latar belakang Wiji bisa menjadi buron melalui puisinya yang dikumandangkan juga tidak ada. Lagi-lagi jangan terlalu berekspektasi terlalu tinggi terhadap isi film ini.
ADVERTISEMENT
Ada baiknya untuk mencari tahu kisah dibalik lika-liku kehidupan Wiji Thukul sebelum anda menonton film ini. Ataupun untuk yang sudah menonton, ada baiknya anda kembali memperdalam pengetahuan agar lebih memahami makna dari setiap adegan karena yang disajikan hanyalah secuil potongan yang paling penting dari kehidupan seorang manusia bernama Wiji Thukul.
Wiji Thukul tidak sekedar seorang penyair, buron, dan suami yang lari ke Pontianak. Wiji Thukul adalah seorang manusia yang digambarkan tidak hanya sekedar hitam atau putih. Wiji Thukul itu ada dan berlipat ganda.
(Tulisan ini kudedikasikan kepada Mas Anggi karena telah menjadi narasumber yang baik hati tak terkira.)