Ilustrasi Bunuh Diri, Gantung Diri

Sengkarut Bunuh Diri: Akibat Media Sosial, Patriarki, Sampai Pinjol

Prabu Yudianto
Jika opini saya menyinggung Anda, saya tidak peduli
25 September 2023 10:42 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bunuh diri memang sesuatu yang penuh perdebatan. Orang bisa seenaknya berujar, “cih lemah!” Sisanya akan membela dengan menyebut bunuh diri adalah pilihan. Suka tidak suka, masalah ini memang meninggalkan sengkarut yang memilukan. Ketika orang berdebat masalah bunuh diri, ada ratusan ribu hingga jutaan manusia memilih mati dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya memaklumi sengkarut ini. Karena bunuh diri memang tidak pernah sepele. Bunuh diri tidak hanya keputusan personal, tapi riak dari masalah sosial yang lebih besar. Ada dogma normatif, stigma patriarki, bahkan pinjol di dalam setiap kasus penghilangan nyawa pribadi ini. Dan sudah saatnya kita berhenti memandang bunuh diri sebagai masalah “lemah iman” dan sejenisnya. Bunuh diri adalah masalah global yang tak pernah diselesaikan.
Kasus Bunuh Diri Terus Meningkat
Teras rumah WPS, ibu di Desa Selomarto, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri yang nekat bunuh diri karena pinjol. Foto: Dok. Istimewa
Mungkin kita sudah lelah dengan pemberitaan kejadian bunuh diri. Tapi suka tidak suka, tren bunuh diri memang meningkat. Menurut data Polri, terdapat 663 laporan kasus bunuh diri selama periode Januari-Juni 2023. Jumlah ini meningkat sebesar 36,4% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021 dan 2022.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di Indonesia, bunuh diri mengalami peningkatan secara global. Menurut data WHO, lebih dari 700.000 orang bunuh diri setiap tahun. Jika dirata-rata, ada satu orang bunuh diri tiap 40 detik! Bayangkan setiap 40 detik ada orang yang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar.
Data dari NHS Digital lebih menyesakkan lagi. Menurut rerata, 1 dari 5 orang memiliki keinginan bunuh diri. Dan 1 dari 15 orang pernah mencoba bunuh diri. Bayangkan satu dari setiap orang di tongkrongan Anda ingin bunuh diri. Dan satu orang dalam divisi kerja Anda pernah mencoba bunuh diri! Namun ini hanya rerata, dan mari berdoa setiap orang yang kita kenal tidak ingin bunuh diri.
Laki-Laki Bunuh Diri Karena Patriarki
Petugas pemadam kebakaran melakukan evakuasi korban bunuh diri di Apartemen Basura, Jakarta Timur, Senin (17/7). Foto: Sudin Gulkarmat Jaktim
Bagaimana dengan perbandingan kasus bunuh diri menurut gender biner? Menurut WHO, 2/3 kasus bunuh diri di dunia dilakukan oleh laki-laki. Kasus bunuh diri oleh laki-laki terus meningkat sejak 2015. Sedangkan menurut Samaritans, pria usia 45-49 tahun menyumbang kasus bunuh diri tertinggi. Peningkatan ini bukan tanpa alasan. Dan suka tidak suka, alasan utama adalah stigma sosial. Terutama stigma pada masyarakat patriarkis.
ADVERTISEMENT
Mungkin Anda bingung. “Kok bisa masyarakat patriarkis yang mengagungkan laki-laki malah jadi sumber bunuh diri?” Harusnya Anda tidak perlu bingung. Dalam masyarakat patriarkis, laki-laki mendapat porsi hak dan kewajiban yang lebih besar. Terutama dalam kedudukan sosial terutama keluarga. Posisi yang terkesan menguntungkan laki-laki malah jadi sumber masalah.
Masyarakat patriarkis akan memaksakan standar tinggi pada laki-laki. Menuntut tanggung jawab secara ekonomi, politik, sampai tingkat sosial. Posisi ini menimbulkan tekanan besar pada laki-laki. Tekanan ini memicu depresi, dan depresi akan dijawab dengan bunuh diri. Relevan dengan rerata usia bunuh diri di mana seorang laki-laki dianggap sudah matang dan punya tekanan lebih besar.
Sedikit intermezo, jangan dikira perlawanan pada patriarkisme berarti merendahkan laki-laki. Namun membebaskan laki-laki dari tekanan dan stigma sosial.
ADVERTISEMENT
Remaja VS Media Sosial yang Keji
Masalah bunuh diri juga menyerang kelompok usia remaja. Persentase bunuh diri di usia remaja terus meningkat, dibarengi dengan kasus melukai diri sendiri. Menurut Pew Research Center, dalam 10 tahun terakhir kelompok remaja punya persentase bunuh diri lebih tinggi. Peningkatan ini dibarengi dengan tumbuhnya tren media sosial.
Kasus bunuh diri pada remaja kini didominasi kelompok perempuan. Sekali lagi ini sejalan dengan data pengguna media sosial tertinggi. Menurut Pew Research Center, perempuan menjadi pengguna media sosial tertinggi. Meskipun ditentukan jenis platform media sosial, namun persentase total ini cenderung stabil dalam satu dekade.
Media sosial memang berbahaya bagi kesehatan mental. Tuntutan dan standar tidak logis dijejalkan seenak udel pada penggunanya. Tekanan ini diperparah dengan kultur influencer yang merajai media sosial. Remaja sebagai kelompok rentan sekaligus pengguna utama media sosial mendapat dampak terbesar.
ADVERTISEMENT
Belum lagi tekanan lain berupa perundungan. Seseorang bisa dirundung dengan keji oleh orang asing bermodal akun palsu. Bahkan perundungan ini sering berujung doxing atau pembocoran data dan kehidupan pribadi. Jika perundungan di lingkungan sekolah dan kerja bisa memicu bunuh diri, bayangkan media sosial yang lebih sering dikunjungi.
Remaja dituntut sesuai dengan standar di media sosial. Ancamannya adalah perundungan dan seringkali doxing. Tentu ini jadi tekanan hebat ketika kehidupan nyata dan media sosial makin melebur. Akhirnya tekanan ini dijawab dengan bunuh diri. Jadi bukan semata-mata remaja hari ini lebih lemah perkara mental. Namun tekanan yang mereka rasakan lebih berat. Bahkan ditemukan dari sepetak layar ponsel cerdas.
Pinjol dan Judi Online Membunuhmu
Aksi bunuh diri seorang pria di Banda Aceh usai uangnya habis karena judi. Foto: Dok. Istimewa
Ketika saya meriset efek pinjol dan peningkatan bunuh diri, ternyata ada fakta menarik (atau memilukan). Kasus pinjol ternyata terjadi di berbagai belahan dunia. Laporan dari The News International menunjukkan masyarakat India dan negara Asia Selatan lain tengah menghadapi lingkaran setan pinjaman yang disebut Online Loan Sharks ini.
ADVERTISEMENT
Kasus bunuh diri akibat pinjol memang belum terdata sempurna. Katadata sendiri meminta masyarakat membantu melaporkan kasus bunuh diri akibat pinjol ini. Namun dari pemberitaan yang ada, tren bunuh diri akibat terjerat pinjol menunjukkan peningkatan.
Sistem pinjaman ala lintah darat ini memang momok yang setua peradaban. Masalah ekonomi adalah penyumbang utama kasus bunuh diri. Dan dengan hadirnya pinjol, masalah ini makin runyam seperti jalan Gejayan. Masalah ekonomi bercampur dengan masalah keamanan digital serta tekanan sosial. Dan akhirnya, bunuh diri dianggap menjadi solusi.
Pertikaian, Penelantaran, dan Sumber Masalah Lain
Apakah bunuh diri diakibatkan oleh masalah di atas saja? Tentu tidak! Jika saya bahas setiap sumber masalah penyebab bunuh diri, bisa-bisa saya dapat gelar sarjana baru. Sebut saja masalah relasi percintaan, penelantaran lansia, menjadi narapidana, kecanduan substansi, dan penyiksaan berbagai jenis.
ADVERTISEMENT
Penyebab yang baru saja saya sebutkan ini membuktikan bunuh diri sebagai masalah yang kompleks. Tidak hanya melibatkan keputusan personal, tapi dorongan kuat dari luar. Sengkarut bunuh diri tetap menghantui masyarakat, selama masalah yang jadi dorongan ini masih ada.
Berbagai sumber masalah penyebab bunuh diri ini terus terjadi dan terpelihara. Masyarakat sampai pemerintah cenderung abai dengan masalah-masalah ini. Dianggap sebagai sebuah hal normal, dan bunuh diri sebagai anomali. Dan seperti biasa, kasus bunuh diri hanya akan dibaca sebagai data statistik semata.
Ada Agama, Ada Psikolog, Kenapa Bunuh Diri?
Ilustrasi Bunuh Diri, Gantung Diri Foto: Basith Subastian/kumparan
Dari tadi saya sering menyebut bunuh diri jadi solusi. Pertanyaannya, kenapa bunuh diri? Umumnya orang akan berpendapat tentang adanya agama dan jasa psikolog. Pertanyaannya, apakah kedua solusi itu bisa menjawab tren bunuh diri?
ADVERTISEMENT
Mari kita perhatikan dari beberapa tren bunuh diri tadi. Semuanya hampir punya satu hal yang sama. Yaitu ketakutan akan tekanan sosial. Dan salah satu tekanan sosial adalah penghakiman. Orang yang punya keinginan bunuh diri ingin membebaskan diri dari tekanan sosial ini. Dan tekanan ini lebih nyata daripada ancaman neraka. Realistis saja sih kalau ini.
Agama juga tidak menjawab langsung masalah para korban bunuh diri. Apakah agama menjawab tekanan sosial masyarakat patriarkis? Apakah agama menolong ketika seorang remaja dirundung di media sosial? Apakah agama bisa melawan debt collector pinjol?
Mungkin Agama bisa menawarkan ketenangan hati. Namun ketika seseorang menghadapi tekanan di atas, semua terjadi cepat. Tanpa memberi kesempatan seseorang untuk menemukan ketenangan spiritual.
ADVERTISEMENT
Sama seperti masalah psikolog. Tidak semua orang dengan keinginan bunuh diri bisa mengakses jasa psikolog. Apalagi ada stigma negatif terhadap pengguna jasa yang sejatinya bisa menyelamatkan nyawa orang. Belum lagi keterbatasan biaya untuk mendapat pendampingan psikolog. Dan terakhir, edukasi tentang manfaat konsultasi ke psikolog belum merata.
Sengkarut yang Tak Pernah Terurai
Melihat tren bunuh diri terus meningkat, bukankah sudah waktunya serius dalam mencari solusi? Memang sudah serius, terbukti dari berbagai organisasi dan lembaga yang fokus pada kasus ini. Masalahnya, apakah solusi yang ditawarkan sudah diterapkan dalam skala luas?
Selama stigma masih menjadi penentu keputusan, gelombang bunuh diri akan terus membesar. Selama patriarki terjaga, para laki-laki terpojok akan terus mencari cara bunuh diri paling maskulin. Dan selama masalah ekonomi tetap terpelihara sebagai motor masyarakat kapitalistik, bunuh diri adalah pembebasan. Ini bukan masalah mental yang lemah! Toh stigma lemah ini ikut menyumbang kasus bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Ah, lagi-lagi stigma. Mungkin sumber masalah penyebab bunuh diri memang stigma. Apapun bentuknya, dan apapun jenisnya. Dan selama masyarakat mengkotak-kotakkan sesamanya, bunuh diri masih dianggap sebagai solusi.
*Anda bisa mencari bantuan jika mengetahui ada sahabat atau kerabat, termasuk diri anda sendiri, yang memiliki kecenderungan bunuh diri.
Informasi terkait depresi dan isu kesehatan mental bisa diperoleh dengan menghubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas dan Rumah Sakit terdekat, atau mengontak sejumlah komunitas untuk mendapat pendampingan seperti LSM Jangan Bunuh Diri via email [email protected] dan saluran telepon (021) 9696 9293, dan Yayasan Pulih di (021) 78842580.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten