Konten dari Pengguna

Hati Suhita, Sisi Logis Perempuan Jawa

Shinta Dwi Prasasti
Penyuka Sejarah, Arkeologi dan Heritage, bekerja di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
6 Juni 2023 8:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shinta Dwi Prasasti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Film Hati Suhita (Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Film Hati Suhita (Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Hati Suhita, sebuah novel yang terbit pada tahun 2019. Novel dengan latar belakang pesantren tersebut, mampu menarik perhatian pembaca. Salah satunya karena penulisnya, Khilma Anis membagikan beberapa bab awalnya melalui platform media sosial, Facebook. Maka warganet pun semakin mengenal novel tersebut.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2022, Ning Khilma berbagi kabar bahwa novel tersebut akan diangkat ke layar lebar. Kabar ini tentu saja menjadikan para pembaca novel, termasuk saya, penasaran. Bagaimanakah visualisasi dari novel tersebut?
Dan, Mei 2023, filmnya dirilis. Meski belum sempat menonton di hari pertama atau bahkan gala premierenya, saya tetap mengagendakan wajib nonton. Hari ketiga menjadi opsi yang tepat, karena bersamaan dengan weekend.
Novel Hati Suhita (Dokumentasi Pribadi)
***
Adegan perkenalan antara Gus Birru dan Alina Suhita saat masih kecil, menjadi pembuka film. Adegan ini sekaligus memvisualisasikan kisah perjodohan mereka berdua.
Kemegahan adegan pernikahan mulai membawa penonton untuk memasuki gerbang konflik dari film ini. Ekspresi dingin Gus Birru, senyuman Alina Suhita dan tangisan Ratna Rengganis. Pada ketiga tokoh inilah tumpuan dari cerita film ini.
ADVERTISEMENT
Akting Nadya Arina sebagai Alina Suhita, mampu membuat penonton terkesima. Nadya dengan apik menampilkan figur istri yang memperjuangkan cinta dari suaminya sendiri, Gus Birru. Alina Suhita menampilkan cara-cara yang elegan dalam upayanya membuktikan bahwa dia adalah istri yang tepat.
Suhita mampu menampilkan sisi logis dari seorang perempuan Jawa dan santri. Kesan Njawani dan santri dalam diri Suhita ini semakin diperkuat dengan pemahaman cerita wayang, kunjungan ke situs Cagar Budaya Candi Bajang Ratu, Kolam Segaran, Makam Sunan Tembayat di Klaten dan makam Kiai Hasan Besari di Ponorogo.
Suhita dengan elegan mengendalikan perasaan kecewanya. Tidak serta merta mengedepankan emosi. Titik balik memang berada di tangan Gus Birru. Dialah yang harus menentukan pilihannya; apakah akan menerima Suhita sebagai istrinya atau sebaliknya?
ADVERTISEMENT
Sama dengan novelnya, sejatinya tidak ada tokoh antagonis dari film ini. Meski Rengganis adalah tokoh yang menjadi cinta lain dari tokoh Gus Birru, suami Alina Suhita. Namun figur ini tidak bisa menjadi musuh bersama dari penonton maupun pembaca novel.
Visualisasi tulisan novel pada sudut pandang Rengganis menjadikan penonton bisa memahami bagaimana perasaannya. Rengganis ini ditampilkan sebagai tokoh yang selalu positif. Perasaan maklum ini bahkan masih muncul setelah Gus Birru menikahi Alina Suhita.
Membuat visualisasi dari sebuah novel tentu tidak mudah. Dan memang tetap ada perbedaan antara film dan novelnya. Namun pesan yang telah disampaikan dalam novel sudah termuat dalam film tersebut. Salah satunya bahwa perempuan bisa menjalani peran ganda, selain peran domestik dalam rumah tangga. Figur Umik, Suhita dan Rengganis sudah menunjukkan itu.
ADVERTISEMENT
Film ini juga mampu mengenalkan dunia pesantren di kalangan masyarakat luas. Pesantren yang selama ini identik dengan tempat belajar agama, ternyata juga tidak luput dari modernisasi. Khususnya pada prasarana keilmuan. Para santri yang belajar di pesantren sudah mengenal teknologi.
***
Overall, film ini mampu memuaskan para pembaca novelnya. Pesan yang disampaikan dalam novel mampu divisualisasikan dengan baik dalam filmnya. So, buat pembaca novelnya, jangan ragu untuk menonton film ini.