Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Trauma Perang, Nasionalisme Milenial, dan 76 Tahun Kemerdekaan RI
16 Agustus 2021 19:35 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Primasari N Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melangkah memasuki museum itu, hati ini sudah mulai gelisah dan tidak tenang. Aura misterius memenuhi sepanjang rute pengunjung yang dilewati. Benar saja, museum bom atom Nagasaki berisi kepiluan yang sangat menyayat hati. Suasana begitu hening dan mencekam. Tidak ada suara dari para pengunjung yang masuk karena sepertinya semua orang sedang tenggelam ke masa-masa perang dunia II.
ADVERTISEMENT
Korban bom atom di Nagasaki sendiri jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 9 Agustus, sedang bom atom Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 76 tahun silam. Berbagai foto dan replika peninggalan korban bom atom Amerika tersebut dipajang di sana. Replika-replika dalam museum itu menjadi saksi bisu bom atom yang telah meluluh lantakkan seluruh bangunan, juga harapan manusia itu sendiri.
Bom atom nuklir menjadi satu-satunya senjata yang maha dahsyat di sepanjang sejarah manusia. Kematian dan penyakit akibat radiasi juga terus meningkat saat itu. Tentunya banyak korban dari pihak Jepang dan itu juga memilukan bagi mereka. Karena keganasan bom atom ini pula, akhirnya membuat pemerintah Jepang berpikir ulang untuk terus berperang atau berhenti.
ADVERTISEMENT
Selain museum bisu itu, gambaran suasana perang yang sangat memilukan hati juga terlihat dari film animasi Hotaru No Haka (Grave of The Fireflies) yang berkisah tentang kakak-beradik Jepang yang menderita dalam perang. Meskipun hanya sekadar cerita dengan gambar bergerak, hampir seluruh adegannya menyedihkan dan sangat menyayat hati. Jepang berperang demi arogansi ingin mendominasi Asia. Sementara, di bawah banyak rakyat Jepang yang sengsara dan miskin. Untuk makan saja, mereka tidak bisa. Semua dilakukan untuk berperang. Kemiskinanlah yang akhirnya membuat rakyat Jepang mati di negeri sendiri.
Saat itu, setiap laki-laki diwajibkan untuk ikut berperang. Perempuan muda juga dipaksa berperang dengan cara menjadi mata-mata dan sumber informasi untuk mengelabui musuh. Tentara harus berani mengorbankan nyawanya demi memperjuangkan apa yang mereka sebut kejayaan bangsanya di Asia. Semua dipaksa untuk ikut andil berperang.
ADVERTISEMENT
Meski akhirnya Jepang sendiri kalah dengan menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945, sepertinya luka perang itu masih ada sampai sekarang. Belum kisah para tentara Jepang yang bunuh diri begitu mendengar negaranya bertekuk lutut pada Sekutu. Rakyat Okinawa juga melakukan bunuh diri massal setelah kalah dari Sekutu.
Membicarakan perang di masa lalu memang sangat menyakitkan bagi semua orang, baik si penjajah itu sendiri maupun korban yang dijajah. Anak muda Jepang sendiri sangat enggan membicarakan perang dunia. Ada perasaan malu dan kecewa yang berkecamuk dalam diri mereka. Mereka sangat sepakat dan mendukung bahwa perdamaian menjadi satu-satunya harga mati yang harus diperjuangkan oleh semua pihak. Trauma akibat bom atom dua kota tumpuan ekonomi kala itu dengan korban radiasi yang dahsyat membuat mereka ikut menyerukan penghentian senjata nuklir di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Memoriam patung perdamaian di dekat museum Nagasaki menjadi saksi bahwa generasi setelah perang sangat menginginkan perdamaian. Beribu-ribu lipatan origami burung bangau dibuat dengan harapan seluruh dunia ini dalam keadaan damai untuk selama-lamanya. Pesan-pesan perdamaian juga tak tak pernah henti-hentinya diserukan. Mereka paham betul bahwa perang hanyalah menyisakan luka dan trauma yang sangat dalam. Tak hanya generasi yang mengalaminya, bahkan sampai generasi anak cucunya ikut menanggung luka dan trauma perang. Setiap tahun pada tanggal 6 dan 9 Agustus rakyat Jepang memperingati peristiwa bom atom dengan menundukkan kepala dan mendoakan arwah pendahulu mereka.
Pun di Indonesia sama. Berapa juta orang pendahulu kita yang menjadi korban perang? Tanpa kejelian pemuda dan tokoh Indonesia kala itu, mungkin kita masih belum memproklamasikan kemerdekaan kita sendiri. Meski bisa dibilang Indonesia mengambil keuntungan akibat kekalahan Jepang, kemerdekaan Indonesia diraih dengan usaha dan perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Bukan hadiah cuma-cuma dari penjajah yang sudah hampir 3,5 abad plus 3,5 tahun menguasai kita.
ADVERTISEMENT
Meski hanya monumen dan buku-buku sejarah yang menjadi bukti perang kemerdekaan kita, setidaknya hal tersebut bisa membuat kita membayangkan betapa kejam dan menderitanya perang. Museum-museum perjuangan seperti museum Satriamandala di Jakarta, museum Yos Sudarso di Surabaya, museum pusat TNI AU Dirgantara Mandala di Yogyakarta, dan museum Brawijaya, Malang, setidaknya bisa memberi sedikit gambaran tentang perjuangan tentara kita. Selain museum, film Merdeka atau Mati (Soerabaia 45), Janur Kuning, Tjoet Nyak Dien, Naga Bonar, dan Bandung Lautan Api bisa menjadi tontonan yang membuat kita flashback ke masa perang. Film Perawan di Sektor Selatan (1971), Serangan Fajar (1981), Kereta Api Terakhir (1981), Pasukan Berani Mati (1982), Lebak Membara (1982), Komando Samber Nyawa juga menjadi film lawas yang membahas perang perjuangan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mungkin museum dan film lawas memang hanya menarik bagi generasi 80-an ke bawah, untuk anak-anak generasi milenial dibutuhkan film-film baru yang lebih menarik visualnya. Film animasi Battle of Surabaya (2015) cukup menarik perhatian anak muda untuk mengingat perjuangan rakyat Surabaya melawan penjajah. Selain film animasi, banyak film biografi yang tak kalah menarik juga untuk ditonton generasi muda. Bukankah seharusnya karya bermuatan sejarah yang menarik generasi muda itu diperbanyak agar mereka lebih mengenal lebih dalam tentang sejarah bangsanya sendiri? Membuat buku atau cerita sejarah dengan menarik, melalui gambar anime/kartun misal, tanpa menambah dan mengurangi fakta sejarah juga menjadi hal yang sangat bagus.
Menyampaikan kepada anak cucu kita bahwa Indonesia pernah dijajah dan berperang demi kemerdekaan serta kebebasan yang mereka nikmati sekarang bukanlah sesuatu yang cuma-cuma seperti yang negara lain dapatkan adalah salah satu tugas kita. Betapa menderita dijajah dan diinjak-injak oleh bangsa lain di negerinya sendiri. Betapa susah mempersatukan bangsa dari Sabang sampai Merauke yang berjajar-jajar pulaunya. Memang tak mudah menyegarkan kembali generasi milenial tentang nasionalisme sebagai bangsa Indonesia yang dulu pernah dijajah. Sementara, tugas mereka tetap meneruskan perjuangan para pahlawan.
ADVERTISEMENT
Jarak dan perbedaan generasi mungkin memang menjadi penghalang, tapi kesimpang siuran berita dan fakta lebih mengerikan lagi karena bisa mengikis pemaknaan nasionalisme yang selama ini kita tanamkan. Di sisi lain, sumber sejarah lisan juga semakin berkurang jumlahnya untuk bisa menyampaikan secara langsung terhadap generasi milenial. Di sinilah tugas kita sebagai perantara generasi pejuang dan milenial untuk terus menanamkan nasionalisme ini. Dengan begitu, kita akan sepakat bahwa penjajahan memang harus dihapuskan dari muka bumi ini.
Nasionalisme milenial mungkin bisa ditanamkan melalui pemaknaan yang lebih bersifat umum yang ada di depan mata, seperti pertandingan badminton ganda putri Greysia-Apri di olimpiade kemarin misalnya. Betapa jantung berdebar saat mendengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan di arena internasional. Atau momentum dan karya-karya lain yang bisa menggugah generasi muda kita untuk lebih mengobarkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dalam makna yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Sudah selayaknya kita menjaga perdamaian dan kemerdekaan ini dengan hal-hal yang mempersatukan bangsa. Dengan mengingat perjuangan pendahulu, kita wajib menjaga nikmat 76 tahun kemerdekaan ini dengan nasionalisme seluruh rakyat Indonesia dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang bisa tumbuh dan berkarya.
Bahwa perempuan Indonesia berhak menempuh pendidikan tinggi, bekerja, dan berkarya sama seperti laki-laki adalah salah satu hal yang patut diacungi jempol. Gender gap Indonesia juga tidak terlalu mengkhawatirkan. Prestasi dan kontribusi Indonesia ke dunia juga tidak sembarangan.
Siapa kita? Indonesia. Siapa kita? Indonesiaaa....!!!!