Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisah Penyintas Tanah Gersang: Kebun Organik Desa Deno Manggarai Timur
10 Oktober 2018 1:37 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Nadia Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Matahari belum sempurna menuju puncaknya, namun terik sudah mulai terasa kian menyengat. Dari kejauhan mulai terlihat hamparan tanah coklat kemerahan. Di tengahnya berdiri seorang perempuan paruh baya dengan mengendong anak kecil, Yustin dan Markus namanya.
ADVERTISEMENT
Tubuhnya membahasakan keakraban yang akhirnya meninggalkan senyum di ujung bibirnya. Yustin sedang menceritakan kepada sobat air Ades sembari menikmati senyawa mendamaikan yang diciptakan angin dan birunya langit siang itu.
Yustin adalah warga Desa Deno, Bea Muring, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah seorang perempuan dengan kulit coklat, berambut ikal, dan selalu meninggalkan senyum manis di akhir ceritanya.
Ia sudah berkeluarga dan memiliki dua buah hati, yaitu Gabriela dan Markus. Gabriela adalah anak perempuannya yang kini duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, sedangkan Markus adalah anak laki-lakinya yang masih berusia empat tahun.
Keluarga Yustin lahir dan hidup di NTT dengan serba kekurangan. Ia dan kedua buah hatinya tumbuh dan berkembang dengan kekurangan gizi. Hal ini disebabkan daerah mereka tinggal memiliki tanah yang gersang dan tak banyak ditumbuhi makanan sehat dan bergizi baik.
ADVERTISEMENT
Banyak yang mengatakan bumi pertiwi Indonesia ini gemah ripah loh jinawi yang berarti memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Pertanian yang sejatinya hijau dan subur pun berubah menjadi gersang, sebab tanah tak berunsur hara bercampur bebatuan keras yang makin merapat.
Keterbatasannya tak menyurutkan semangatnya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi kedua buah hatinya. Sepetak tanah di samping Paroki Santo Damian Bea Muring, Manggarai Timur, NTT, ia garap dengan bantuan Romo Marselus Hasan. Ia ikut berperan serta dengan umat lainnya untuk mengelola lahan pertanian yang telah terlebih dahulu digarap oleh Romo Marsel.
Pertanian yang digarap terfokus pada sayuran dan buah organik. Tanaman organik dinilai memiliki tingkat kesehatan yang jauh lebih baik. Namun untuk mengelola sepetak tanah ini bukanlah hal yang mudah untuk Yustin.
ADVERTISEMENT
Daerah NTT yang memiliki curah hujan rendah dengan tanah serba tandus sering kali membuat panen gagal. Untuk mendapatkan air saat musim kemarau tiba merupakan hal yang amat sulit.
Yustin harus melewati lahan dan berjalan ke arah bawah agar dapat mengambil air. Lagi-lagi tak semudah yang dibayangkan, saat mengambil air masih memerlukan waktu untuk mengantre, belum lagi debit air yang keluar sangatlah kecil.
Untuk mengisi satu jerigen air lima liter memerlukan waktu sekitar dua setengah menit. Jika satu warga membawa dua jerigen air sudah sekitar enam menit waktu yang dibutuhkan untuk menunggu. Masih lagi tak hanya satu dua orang yang mengantre untuk air bersih.
Air bersih itu ditampung pada bak semen dan dialirkan dengan potongan bambu. Air bersih ini tak hanya digunakan sebagai pengairan lahan tanaman organik warga saja. Air itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti: minum, mencuci, dan mandi.
ADVERTISEMENT
Tak heran di sekitaran penampungan air tersebut banyak terlihat kemasan sabun mandi maupun deterjen. Padahal jika ditinjau lebih lanjut sisa-sisa dari sabun mandi maupun sabun pencuci pakain tersebut bisa mencemari air di sekitaran.
Lahan yang Yustin miliki juga tak mungkin hanya menggunakan dua jerigen saja, maka ia harus bolak-balik mengambil air dengan jarak yang cukup jauh. Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya. Walaupun berjalan dengan terseok-seok ia memiliki tekad agar kedua buah hatinya tidak lagi mengidap gizi buruk.
Untuk menyiram pun Yustin memiliki cara unik agar menghemat air, namun pengairan tetap merata. Tak hanya menumpahkan air langsung di tanah, namun dengan siasat menutup setengah bagian bibir jerigen dengan telapak tangan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya air yang menjadi kesulitan, namun hama berupa belalang kecil dan ulat menjadi musuh setiap hari. Hal ini dikarenakan tanaman yang mereka tanam tak menggunakan peptisida kimia. Ia berharap pemerintah bisa melirik desanya untuk memperbaiki sistem air supaya dapat memajukan kesejahteraan masyarakat Desa Deno, Manggarai Timur.