Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Biografi Bung Tomo, Pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November
25 Mei 2024 23:10 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Biografi Bung Tomo menjadi salah satu nama pahlawan yang paling sering disebut di bangku sekolah. Namanya menjadi terkenal dengan aksinya menjadi pahlawan pertempuran dalam mengobarkan semangat para pejuang melawan sekutu.
ADVERTISEMENT
Bung Tomo adalah pemuda yang terkenal mengenai Peristiwa Pertempuran Surabaya yang berlangsung pada 10 November 1945 ketika sang pahlawan berorasi di depan mikrofon. Kemudian, tanggal tersebut dikuduskan sebagai Hari Pahlawan.
Dalam perjuangannya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tercetuslah semboyan yang terkenal hingga saat ini, yaitu “merdeka atau mati” oleh Bung Tomo. Kisah Bung Tomo dimulai sejak itu.
Biografi Bung Tomo
Mengutip dari buku Kisah Bung Tomo, Sarjono M. (2020), berikut adalah biografi Bung Tomo, seorang pahlawan pertempuran Surabaya 10 November.
Sutomo atau yang lebih dikenal dengan Bung Tomo lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920.
Beliau merupakan anak sulung dari 5 bersaudara dari pasangan Kartawan Tjiptowidjojo dan Subastita. Saudaranya bernama Sulastri, Suntari, Suprapto, Subastuti, dan Hartini.
ADVERTISEMENT
Ayahnya merupakan seorang priyayi golongan menengah yang pernah bekerja sebagai staf perusahaan swasta, asisten kantor pajak, pegawai perusahaan Belanda, hingga pegawai pemerintah. Sedangkan, ibunya merupakan perempuan campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Tempat lahir Sutomo terletak di Kampung Blauran, Surabaya. Beliau dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan yang tinggi. Ia memiliki sifat yang penuh semangat, suka bekerja keras untuk memperbaki keadaan dan pernah menjadi seorang jurnalis sukses.
Sejak usia muda, Bung Tomo telah mengikuti gerakan-gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), kepramukaan dan berbagai kegiatan nasionalisme lainnya. Gerakan tersebut mampu untuk menumbuhkan jiwa patriotismenya dan sikap mandirinya.
Di usia 12 tahun, Bung Tomo harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga dengan meninggalkan pendidikannya di MULO. Meskipun begitu, melalui korespondensi ia telah menyelesaikan pendidikan HBS, namun tidak pernah lulus secara resmi.
ADVERTISEMENT
Dalam usia 17 tahun pada masa remajanya, Bung Tomo memasuki Partai Indonesia Raya (Parindra) cabang Tembok Dukuh dengan berkiprah dalam bidang politik di Surabaya. Bung Tomo kemudian ditunjuk dalam organisasi politik tersebut menjadi sekretaris.
Selain itu, Bung Tomo juga aktif dalam dunia tulis-menulis. Di Surabaya, tulisan pertamanya muncul di harian Oemoem. Ia terus menekuni dalam bidang kewartawanan hingga pada tahun 1945 menjadi Pemimpin Redaksi Berita Antara.
Lalu, Bung Tomo menikah dengan seorang perempuan bernama Sulistina, seorang mantan perawat Palang Merah Indonesia (PMI). Dari pernikahannya, dikaruniai empat orang anak bernama Titing Sulistami, Bambang Sulistomo, Sri Sulistami, dan Ratna Sulistami.
Karier Bung Tomo
Bung Tomo mampu menyeru rakyat-rakyat Nusantara untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut adalah karier Bung Tomo selama menjadi pahlawan pertempuran Indonesia.
ADVERTISEMENT
1. Karier Masa Muda
2. Karier pada Masa Revolusi Fisik 1945–1949
ADVERTISEMENT
Peran Bung Tomo dalam Pertempuran Surabaya
Peran Bung Tomo dalam pertempuran surabaya memang sangat penting untuk diketahui masyarakat Indonesia saat ini. Pasalnya, Bung Tomo merupakan pahlawan yang berhasil membakar semangat arek-arek Surabaya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Surabaya tersebut berpuncak pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini dimulai dengan kedatangan tentara Inggris dan penjajah Belanda pada 25 Oktober 1945. Peristiwa tersebut menjadi perang antara Indonesia melawan sekutu, yaitu Inggris dan Belanda.
Pada saat itu, Belanda membonceng tentara sekutu (Inggris) yang hendak kembali menguasai kembali Indonesia dengan pasukan yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI).
Kedatangan penjajah ke Surabaya tentunya membuat suasana kota menjadi tegang dan kaum pemuda terjadi gesekan dengan pejuang yang bertekad mempertahankan kemerdekaan RI, termasuk pada 19 September 1945 insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato.
ADVERTISEMENT
Insiden perobekan bendera tersebut tentunya memicu polemik lanjutan. Pasukan Inggris mulai menduduki gedung pemerintahan di Surabaya pada 27 Oktober 1945, sehingga rangkaian konflik terjadi selama beberapa hari.
Pada 29 Oktober 1945, Surabaya kedatangan Presiden Soekarno untuk menghentikan pertempuran. Kehadiran Bung Karno tersebut menghasilkan kesepakatan gencatan senjata antara para pejuang dan Sekutu pada 30 Oktober 1945 di Surabaya.
Namun, pada hari yang sama terjadi insiden yang menyebabkan Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby seorang komandan pasukan Sekutu di Jawa Timur tewas. Tewasnya Brigjen A.W.S. Mallaby tersebut tentunya membuat murka kubu Sekutu.
Kemudian, Mallaby digantikan oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai Kepala Divisi Infanteri ke-5 Inggris yang melayangkan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945. Ultimatum tersebut berisi:
ADVERTISEMENT
Tentunya, para pemuda Surabaya menolak ultimatum tersebut. Kemudian, dengan segala upaya Bung Tomo menyerukan kepada arek-arek Surabaya di manapun mereka berada untuk pulang ke kota kelahiran, yaitu Surabaya.
Melalui siaran radio, Bung Tomo tampil untuk menggelorakan semangat tempur arek-arek Suroboyo dengan mengumandangkan pesan kepada para pejuang untuk terus bergelora memperjuangkan kemerdekaan rakyat Surabaya.
Pada 10 November 1945, gelegar pekik Bung Tomo mendapatkan sambutan rakyat Surabaya hingga sejarah mencatat pertempuran Surabaya tersebut menjadi perang terdahsyat selama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, pada 10 November 1945 tersebut pertempuran di Kota Surabaya terpecah. Melalui semangat yang dikobarkan Bung Tomo melalui orasinya, para pemuda berjuang tanpa ada rasa takut.
Meskipun Indonesia mengalami kekalahan, tetapi rakyat Surabaya sempat memukul mundur pasukan Inggris. Tentunya, keberhasilan ini menjadi titik penting dalam sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Wafatnya Bung Tomo
Setelah masa perjuangan dalam mengusir penjajah Inggris dan Belanda, Bung Tomo sempat bergabung menjadi menteri di Kabinet Burhanudin, Dwikora I dan Dwikora II di bidang politik pemerintahan.
Pada 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah ,Makkah saat beliau tengah menunaikan ibadah haji. Berbeda halnya dengan tradisi jemaah haji yang meninggal dimakamkan di tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa pulang ke tanah air, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemudian, jenazahnya dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan seperti tokoh pahlawan yang lain, karena sesuai dengan wasiatnya.
Mendapat Gelar Pahlawan Nasional
Mengingat Bung Tomo memiliki peran besar dalam perjuangan pertempuran 10 November, hingga diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Secara resmi, nama Bung Tomo dikukuhkan menjadi pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2008.
Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Indonesia menyerahkan surat keputusan bernomor 041/T/Tahun 2008 yang diserahkan secara langsung kepada istri Bung Tomo di Istana Merdeka.
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pada saat itu sekaligus mengakhiri hal yang sempat muncul yaitu polemik berkepanjangan. Pengangkatan ini berdasarkan desakan dari berbagai pihak, termasuk Fraksi Partai Golkar DPR dan GP Ansor.
ADVERTISEMENT
Demikian biografi Bung Tomo, seorang pahlawan pertempuran Surabaya 10 November. Peran Bung Tomo dalam pertempuran Surabaya tersebut memang sangat bersejarah dan baik untuk diteladani dalam kehidupan. (HEN)