Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Biografi Cut Nyak Meutia, Pahlawan Wanita Asal Aceh
5 Oktober 2024 16:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan, tetapi juga aktif memperjuangkan hak-hak perempuan. Dengan semangat juangnya yang tak kenal lelah, menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang demi keadilan dan kebebasan.
Biodata Cut Nyak Meutia
Berikut adalah biodata Cut Nyak Meutia pahlawan wanita asal Aceh :
Latar belakang Keluarga
Cut Meutia adalah putri dari Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Merupakan satu-satunya anak perempuan di antara empat saudara laki-lakinya, yaitu Teuku Cut Beurahim, Teuku Muhammad Syah, Teuku Cut Hasan, dan Teuku Muhammad Ali.
ADVERTISEMENT
Ayahnya menjabat sebagai Uleebalalang di Desa Pirak, yang termasuk dalam wilayah keuleebalangan Keureutoe. Cut Meutia lahir di daerah Uleebalang Pirak, yang memiliki pemerintahan dan sistem kehakiman sendiri.
Sehingga mampu menyelesaikan perkara-perkara di tingkat rendah. Di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud, suasana di Uleebalang Pirak dipenuhi dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang yang bijak, Teuku Ben Daud selalu memperhatikan rakyatnya.
Selain menjadi Uleebalang,juga dikenal sebagai ulama yang tak mau tunduk pada Belanda hingga akhir hayatnya, yang mungkin menjadi faktor terbentuknya sifat ksatria dalam diri Cut Meutia.
Cut Meutia tidak hanya memiliki nama yang indah, tetapi juga dikenal karena kecantikannya. Seorang penulis Belanda pernah menyatakan bahwa Cut Meutia bukan hanya sangat cantik, tetapi juga memiliki penampilan yang menawan.
ADVERTISEMENT
Mengenakan pakaian adat Aceh yang indah, seperti celana sutra hitam dan baju dengan perhiasan emas yang dikenakan di dadanya.
Rambutnya yang hitam pekat dihiasi dengan ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dan gelang di kakinya, menjadikannya terlihat seperti seorang bidadari. Setelah mencapai dewasa, Cut Meutia menikah dengan Teuku Syamsarif, yang bergelar Teuku Chik Bintara.
Namun, karena sifat lemah Syamsarif dan kecenderungannya untuk bergaul dengan Kompeni, pernikahannya tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian.
Cut Meutia kemudian menikah dengan adik Teuku Syamsarif, Teuku Chik Muhammad, yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Setelah itu, mereka berdua pindah ke pegunungan untuk melawan Belanda.
ADVERTISEMENT
Perlawanan Melawan Belanda: Kerja Sama dengan Teuku Chik Tunong
Tahun 1901 menandai dimulainya gerakan perlawanan, dengan basis perjuangan di daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara) di bawah pimpinan Teuku Chik Tunong.
Menggunakan taktik gerilya dan spionase, dengan pasukan yang bertugas mengawasi gerakan lawan, terutama rencana patroli dan pencegatan.
Taktik spionase ini melibatkan warga desa dengan kepolosannya, berhasil mengumpulkan informasi berharga, sehingga lokasi patroli pasukan Belanda dapat diketahui dengan cepat.
Berbagai perlawanan dilakukan oleh Chik Tunong dan Cut Meutia antara Juni dan November 1902, di mana banyak pertempuran yang merugikan pasukan Belanda.
Pada 9 Januari 1903, sultan bersama pengikutnya, termasuk Panglima Polem Muhammad Daud dan Teuku Raja Keumala, menghentikan perlawanan dan mengakhiri usaha gerilya melawan pasukan Belanda .
ADVERTISEMENT
Cut Nyak Meutia dan suaminya turun ke gunung pada 5 Oktober 1903. Dengan persetujuan HNA Swart, komandan atasannya di Lhokseumawe, Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia diperbolehkan tinggal di Keureutoe, tepatnya di Jrat Manyang.
Sebelum akhirnya pindah ke Teping Gajah di daerah Panton Labu. Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad dan Cut Meutia terjadi setelah insiden di Meurandeh Paya, sebelah timur kota Lhoksukon, pada 26 Januari 1905.
Peristiwa itu dimulai dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli. Pembunuhan ini menjadi pukulan berat bagi Belanda.
Dalam penyelidikan, menemukan bahwa Teuku Chik Tunong terlibat dalam insiden tersebut, sehingga ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung, yang kemudian berubah menjadi hukuman tembak mati.
Eksekusi dilaksanakan pada Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe, dan ia dimakamkan di Masjid Mon Geudong. Sebelum dieksekusi, Teuku Tunong mewasiatkan agar sahabat perjuangannya, Pang Nanggroe, menikahi Cut Nyak Meutia dan menjaga anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Perjuangan dengan Pang Nanggroe
Setelah menerima amanah dari suaminya yang telah tiada, Cut Meutia melanjutkan perjuangan melawan Belanda dengan menikahi Pang Nanggroe.
Memindahkan markas perjuangan ke Buket Bruek Ja. Pang Nanggroe merencanakan strategi perlawanan terhadap patroli Belanda bersama Teuku Muda Gantoe.
Penyerangan Cut Meutia dan Pang Nanggroe dimulai dari hulu Krueng Jambo Ayee, sebuah lokasi strategis di tengah hutan lebat yang menyediakan banyak tempat persembunyian.
Pada 6 Mei 1907, pasukan Pang Nanggroe melancarkan serangan cepat terhadap bivak yang mengawal pekerja kereta api. Dari serangan ini, sejumlah tentara Belanda tewas dan terluka, serta mereka berhasil merampas 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru.
Pada 15 Juni 1907, mereka kembali menyerang bivak di Keude Bawang (Idi), menyebabkan kekalahan bagi Belanda dengan satu anggota pasukan tewas dan delapan lainnya terluka.
ADVERTISEMENT
Salah satu taktik serangan Cut Meutia yang inovatif adalah jebakan. Menyebarkan kabar tentang adanya acara kenduri di sebuah rumah yang mengundang pasukan Belanda.
Rumah tersebut telah dipersiapkan dengan jebakan, di mana fondasinya dibuat rapuh menggunakan potongan bambu. Ketika pasukan Belanda masuk ke dalam rumah, Cut Meutia dan pasukannya meruntuhkan bangunan tersebut dan melancarkan serangan secara mendadak.
Penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Cut Meutia juga menyasar rel kereta api sebagai upaya untuk memutuskan jalur distribusi logistik.
Dari pertengahan tahun 1909 hingga Agustus 1910, Belanda, berdasarkan informasi dari warga desa yang ditangkap, berhasil mengidentifikasi lokasi pertahanan pasukan Pang Nanggroe dan Cut Nyak Meutia.
Meskipun beberapa serangan dilancarkan, mobilitas pasukan Cut Meutia yang terus berpindah tempat membuat Belanda kesulitan untuk menangkapnya. Serangan terjadi di daerah Jambo Aye, Peutoe, Bukit Hague, Paya Surien, dan Matang Raya.
ADVERTISEMENT
Namun, pada 25 September 1910, saat terjadi penyerangan di Paya Cicem, Pang Nanggroe terkena tembakan dari pasukan Belanda dan meninggal dunia setelah mewasiatkan kepada anaknya.
Teuku Raja Sabi, untuk mengambil rencong dan pengikat kepala ayahnya serta menjaga ibunya, Cut Nyak Meutia. Makam Pang Nanggroe terletak di samping Masjid Lhoksukon. (shr)