Konten dari Pengguna

Satpam Kantor Si Penjaga Kamar Mayat

25 Januari 2017 0:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Zombie (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Zombie (Foto: Pixabay)
Dulu saya sempat berpikir alangkah kerennya jika bisa berbincang dengan seorang (mantan) penjaga kamar mayat.
ADVERTISEMENT
Pengalaman saya pertama kali melihat mayat adalah ketika masih SMP. Pagi hari di kali Sodong, Rawamangun, warga menemukan sesosok mayat mengambang. Tubuhnya sudah bengkak, warna kulitnya dominan biru.
Saya yang baru turun dari angkot KWK 25 segera menuju lokasi yang sudah dipenuhi orang tersebut untuk melihat sang mayat. Biasa saja, pikir saya.
Pengalaman kedua ketika saya bekerja di pelabuhan Tanjung Priok.
Saat sedang berjalan pulang di atas trotoar ketika sore, melintas seorang anak kecil dengan sepedanya. Tak sampai lima menit, bunyi rem kontainer berderit kencang. Saya berbalik arah dan berlari ke lokasi kejadian.
Ternyata si anak yang terlindas kontainer. Ia tewas dengan kondisinya amburadul. Badannya terlipat: satu kakinya naik ke atas kepalanya yang pecah, sementara tangan kanannya yang masih utuh terlihat seperti sedang mengepal.
ADVERTISEMENT
Saya mengamati betul prosesi pengeluaran mayat si anak. Perlu satu forklift untuk mengangkat ban kontainer. Beberapa orang membantu mencuil sisa daging si anak yang tertempel di sela-sela velg ban tersebut menggunakan linggis dan kayu.
Di kantor baru ini, kumparan, salah satu sekuritinya kebetulan mantan seorang penjaga kamar mayat. Bagi saya hal tersebut menyenangkan, karena saya tak perlu repot mencari orang lain untuk berbagi rasa penasaran terkait profesi tersebut.
Saya tak tahu nama panjangnya, tetapi dia biasa dipanggil Ari. Dengan badan tegap--meski tidak berotot kekar--dan berambut cepak, Ari sudah memenuhi tipikal sekuriti kebanyakan.
Caranya berbicara, dengan dialek Betawi yang cukup kental, menyenangkan telinga saat mendengar. Dan sejauh yang saya amati, Ari sepertinya memang orang yang gemar bercerita.
ADVERTISEMENT
Ari selalu menaiki vespa hitam yang deru mesinnya terdengar masih cukup jernih. Dia memang penggemar vespa. Bersama Owi, salah seorang reporter di kantor, keduanya kerap terlibat perbincangan seru mengenai seluk beluk motor pabrikan Italia tersebut.
Pada suatu siang yang mendung di kantor, ketika saya dan beberapa rekan lain tengah merokok di area parkir--area ini memang khusus merokok--dan ngalor ngidul belaka, Ari bercerita mengenai pengalamannya menjadi penjaga kamar mayat.
Bak roman horor murahan, ia membuka ceritanya dengan momen yang menggidikkan: tes bagi para dokter bedah pemula.
“Jadi setahu saya tesnya itu ada tiga, bang.”
“Pertama, pagi-pagi tuh, mereka disuruh makan bubur ayam pake (sate) ususnya di depan mayat yang rusak. Mayatnya digeletakin gitu aja di atas meja terus mereka disuruh makan.”
ADVERTISEMENT
Saya bertanya meyakinkan: “Serius lu?”
“Lah beneran, bang. Ada tuh satu cewek yang cuek banget malah makan ususnya sambil di-sluurrrppp gitu. Padahal kondisi mayat ancur parah. Usus (mayatnya--red) keluar dari perut.”
“Terus tes kedua ngapain?” Tanya rekan yang lain.
“Minum jus buah naga.”
Kami ramai-ramai tertawa menyangsikan.
“Jus buah naga???”
“Iye, kan buah naga kalo dibikin jus kaya darah tuh.”
“Terus ngaruhnya apaan?”
“Biar kaga takut sama darah kali, bang.”
Saya makin penasaran dengan kisah Ari. Rokok kembali saya sulut dengan api. Setelah dua tiga kali penghisapan, dan menyeruput kopi sachet di gelas seorang rekan, saya kembali bertanya.
“Lu dulu kerja kaya gitu berapa lama? Di mana?”
“Di RSCM, bang. Enem bulan doang, stres saya.”
ADVERTISEMENT
“Karena serem?”
“Iya, bang. Jijik mah kagak.”
“Seremnya gimana?”
“Pokoknya saya pindah tuh gara-gara satu kejadian…”
“Kejadian apa?”
“Jadi pas malem tuh, ada kakek-kakek, pakaiannya biasa, nanya tempat pendaftarannya di mana. Saya mah biasa aja. Orang persis banget kaya orang biasa."
Tak jelas apa yang Ari maksud dengan tempat pendaftaran. Dugaan saya: pendaftaran untuk pasien dirawat.
“Terus?”
“Nah abis itu, selang kaga lama dah, dateng tuh mayat baru. Saya bantu turunin kan dari ambulans. Ebuset, si kakek tadi!”
Seharusnya ketika dia bercerita begini, saya merasa horor. Tapi jika kamu melihat bagaimana ekspresi Ari bercerita, rasanya seperti menonton adegan Mandra yang marah-marah lantaran bibirnya kepentok pintu opelet di sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan'.
ADVERTISEMENT
Persis ketika ia berbicara “Ebuset, si kakek tadi!”, Ari turut membanting rokoknya yang sudah habis separoh. Begitu ekspresif dan konyol sekaligus. Sulit untuk tidak tertawa.
Ari melanjutkan ceritanya.
“Saya diem aja tuh, kaga ngasihtau siapa-siapa. Diem aja pokoknya sampe beberapa hari. Bulan depannya saya keluar. Hiii, merinding kan jadinya."
Kami kembali tertawa. Dahsyat ini orang, pikir saya. Gesturnya mirip pria Italia. Tapi caranya berbicara seperti engkong Malih. Apa jangan-jangan Ari adalah Gianfranco Zola yang tertukar?
Saya kembali memancingnya bercerita.
“Ada kejadian apa lagi? Mayat paling parah yang pernah lu liat kaya gimana?”
Ari menyenderkan punggungnya ke tembok. Satu batang rokok kembali ia bakar. Mendung makin pekat. Dedaunan terseret angin yang memang cukup kencang sejak sebulan ini. Beberapa rekan masih bertahan mendengarkan cerita Ari.
ADVERTISEMENT
“Macem-macem, bang. Ketabrak kereta yang mukanya kebelah, kecelakaan sampe tenggorokannya muncrat keluar, matanya copot, segala kupingnya jatoh, macem-macem.”
“Kalo ada organ yang jatoh lu pungut gitu?”
“Iye dong, mau ga mau. Kuping tuh pernah. ‘Wah, dapet kuping nih’,” ujarnya sambil menirukan gerakan memungut sesuatu dari tanah.
Sistem kerja sekuriti di kantor kumparan dilakukan dengan shitfing. Ada yang masuk pagi, ada yang masuk malam.
Suatu hari, Ari kebagian masuk malam. Tatkala sedang lelap tertidur bersama salah seorang office boy kantor di ruangan sebelah pos satpam, listrik padam. Kegaduhan muncul.
“Bang! Bang! Mati, bang! Mati!” Suara office boy membangunkannya.
“Mati apaan?!” Ari terbangun. Ia terkejut bukan hanya karena suara teriakan tersebut, melainkan posisinya yang tengah dipeluk office boy tadi.
ADVERTISEMENT
“Itu, bang. Mati!” Office boy tersebut masih memeluknya kencang.
“Iye apaan yang mati?”
“Mati lampu!”
“Ah elah, ude merem aja kan sama aje!”
Perlahan, mereka terlelap kembali. Kali ini, tanpa sadar ganti Ari yang memeluk rekannya tersebut.
"Adem, bang. Kaga sadar saya..." demikian akunya kepada saya. Entah berkelit, entah betulan.
Atau jangan-jangan yang dipeluk Ari adalah mayat?
Horror (Foto: Giphy)
zoom-in-whitePerbesar
Horror (Foto: Giphy)