Toxic Positivity: Belenggu Ucapan Semangat yang Menyengat

Puji Zakhiyah
Ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Konten dari Pengguna
10 Januari 2022 21:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Puji Zakhiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wanita dipaksa tersenyum. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Wanita dipaksa tersenyum. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Memang benar adanya jika hidup tidak selalu berjalan mulus, banyak kerikil kecil yang membuat kita terjatuh. Disaat itu lah kita membutuhkan semangat dari orang terdekat, namun bagaimana jika ucapan semangat itu justru terasa menyengat? Seakan kita dipaksa untuk selalu tersenyum di segala kondisi, apakah kalian pernah mengalaminya?
ADVERTISEMENT
Jika iya, maka hal itu adalah toxic positivity. Toxic positivity ialah kondisi di mana kalian dipaksa untuk selalu memandang sesuatu dengan sudut pandang positif, bahkan selalu dituntut untuk berpikir positif. Tanpa peduli jika kita harus melampiaskan emosi negatif yang kita rasakan agar merasa lega. Sering kali kalian
Merasa malas mencari solusi dari sebuah masalah
Seringnya memendam emosi negatif justru akan menimbulkan hal negatif juga, saat kita bersedih kita tetap dituntut untuk selalu terlihat bahagia. Bahkan jika kita mengalami kesulitan pun harus dipendam sendiri, kurangnya dukungan orang terdekat membuat kita patah semangat.
Hal ini perlahan-lahan akan menimbulkan rasa malas untuk memecahkan sebuah masalah. Tanpa kita sadari hal ini seakan menjadi pintu utama dampak negatif lain yang akan kita rasakan.
ADVERTISEMENT
Mematahkan semangat dan menumbuhkan jiwa pesimis
Lambat laun dampak dari toxic positivity pasti akan terasa, tidak adanya kesempatan untuk berbagi keluh kesah seakan menurunkan semangat. Sebagai manusia memang wajar untuk meminta dukungan dari orang terdekat, tidak adanya kesempatan untuk berbagi keluh kesah seakan membunuh semangat yang ada di dalam diri kita.
Terusmenerus menutup diri hingga kita tidak sadar telah menjadi pribadi yang takut akan segala hal dan tantangan, belum berperang namun sudah kalah duluan.
Cenderung membohongi diri sendiri
Merasa tidak didengarkan dan tidak ada yang peduli memicu kita untuk cenderung menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kita dituntut untuk terlihat dan merasa baik-baik saja seperti tidak ada yang terjadi, memang pada awalnya kita merasa hal ini merupakan hal sepele.
ADVERTISEMENT
Namun, lambat laun jika dibiarkan dan dilakukan terus-menerus, kita akan berpikir bahwa berpura-pura bahagia adalah solusi yang tepat. Tanpa kita sadari banyak energi kita terbuang hanya untuk terlihat baik-baik saja dan mengabaikan apa yang sebenarnya kita rasakan.
Yuk perangi toxic positivity bersama-sama!
Siapa pun tentu pernah mengalami sebagai korban dari toxic positivity, kamu bahkan orang terdekatmu pasti pernah mengalaminya. Dimulai dari diri kita sendiri untuk mengubah sudut pandang akan suatu hal, kita harus bisa melihat berbagai hal dari perspektif yang berbeda dan belajar memahami seseorang dapat menjadi kunci sukses untuk menghentikan toxic positivity. Jika orang di sekelilingmu mengalaminya, kamu bisa memosisikan dirimu sebagai pendengar yang baik.
Alangkah lebih baik jika tidak membandingkan masalah yang sedang kita hadapi dengan masalah orang lain, karena kita tidak pernah berada di pijakan yang sama. Tidak ada salahnya untuk meluangkan waktu, sekadar mengendalikan dan mengelola emosi negatif yang dirasakan. Sah-sah saja untuk melampiaskan emosi negatif yang kita rasakan, melampiaskan emosi negatif bukan berarti harus bertindak negatif. Kita bisa melampiaskannya ke dalam berbagai aktivitas positif. Seperti mencurahkannya melalui tulisan, berolahraga, menggambar, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Memang melangkah keluar dari belenggu toxic positivity itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun kita harus yakin bahwa kita bisa memutus rantainya. Tetap semangat ya!