Nasionalisme di Antara Bukit Algoritma dan Vaksin Nusantara

Punta Yoga Astoni
Aparatur Sipil Negara dengan latar belakang keilmuan Magister Hukum lulusan Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
29 April 2021 13:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Punta Yoga Astoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
ADVERTISEMENT
Teknologi yang ada di suatu negara sepertinya sudah menjadi faktor penting mengukur kemajuan suatu negara. Teknologi yang maju suatu negara berasal dari keberpihakan negara terhadap budaya riset dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita secara umum mengetahui untuk membuat suatu pengetahuan menjadi sebuah keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan harus melalui semua tahapan ilmiah yang sistematis dalam rangka melakukan riset pengetahuan tersebut. Kegiatan riset inilah yang menjadikan dasar dan cara untuk menemukan keilmuan dan teknologi baru yang bisa dipertanggungjawabkan dan dapat diakui oleh publik.
Sektor Riset sendiri pada akhir-akhir ini menjadi perhatian publik. Adanya peleburan Kemenristek dengan Kemendikbud adalah isu pertama. Isu Kedua terkait riset adanya rencana pembuatan Silicon Valley ala Indonesia dengan dinamakan dengan bukit algoritma. Dan isu ketiga adalah sepak terjang vaksin nusantara untuk dapat menjadi vaksin yang disahkan pemerintah dan digunakan untuk publik
Label Nasionalisme
Nasionalisme jika diartikan secara singkat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Kata ini digunakan sebagai alat pengikat negara untuk warga negaranya untuk membuktikan syarat suatu negara itu berdiri yaitu pemerintahan yang sah dan adanya kedaulatan baik wilayah atau warga negaranya. Kita sendiri mengetahui bahwa semboyan “NKRI Harga Mati” juga merupakan bagian dari kampanye negara ini untuk internaliasi ideologi nasionalisme untuk warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perencanaan pembuatan bukit algoritma sebagai Silicon Valley ala Indonesia jika dilihat Latar belakangnya adalah adanya untuk membuktikan bahwa manusia Indonesia juga memiliki peradaban yang mengikuti perkembangan teknologi. Kawasan yang direncanakan akan diusulkan menjadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ini menjual nasionalisme dalam wadah yang berbeda. Harapan lahirnya teknologi dan pengetahuan baru yang mengikuti periode orde teknologi 4.0 dapat tercipta di kawasan tersebut yang berasal dari orang Indonesia dan untuk kemajuan negara tersebut. Pada dasarnya memang kemajuan teknologi dibutuhkan oleh suatu negara dan sektor tersebut tidak dapat diingkari namun selain hal tersebut yang penting untuk disiapkan adalah pada sektor manusianya.
Salah satu sektor yang perlu disorot misalnya adalah budaya literasi masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah berdasarkan World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. contoh lain adalah UNESCO menyampaikan jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah yakni 216 orang dari 1 juta penduduk. Data lain terlihat komposisi proporsi penduduk yang mampu mengoperasikan computer dengan mahir, jumlahnya hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi tersebut maka kita perlu lebih berhati-hati untuk berambisi percepatan pertumbuhan teknologi jika ternyata kondisi manusia Indonesia belum siap akan hal itu. Kebutuhan mendasar manusia Indonesia sekarang memang harusnya lebih kepada pemerataan pendidikan yang terukur daripada mengejar hal masih belum relevan pada saat ini. Pembuatan pusat ini tidak serta merta bisa ditarik sebagai bentuk nasionalisme pada sektor kemajuan teknologi namun perlu ditarik kebutuhan apa yang menjadi pondasi perkembangan teknologi yang muncul kebudayaan masyarakat daripada hanya dinikmati oleh kelompok kecil intelektual yang elitis.
Pada sisi lain adanya pandemi covid-19 ternyata menciptakan simbol lain dari nasionalisme di Indonesia. Sisi tersebut adalah pembuatan vaksin sebagai jalan untuk mengobati bangsa ini dari virus covid-19. Salah satu vaksin yang diciptakan adalah vaksin yang bernama vaksin nusantara. Vaksin yang teridentik dengan mantan Menteri Kesehatan ini lahir juga atas prakarsa yang bersangkutan bekerja sama dengan perusahaan dari amerika. Pada hari ini proses izin edar vaksin ini ternyata bermasalah, BPOM belum mengeluarkan Izin edar karena vaksin nusantara belum dinyatakan lolos uji klinis fase I BPOM adalah lembaga yang memiliki kredibilitas dalam pengujian secara ilmiah terkait dengan suatu obat atau makanan yang akan diedarkan ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Fungsi ini tentu saja menjadi penting bahwa negara melalui BPOM memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan terhadap warga negara akan semua makanan dan obat yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Polemik lain dari vaksin ini adalah penamaannya dengan kata “nusantara” yang mempunyai muatan informasi identik dengan Indonesia, nasionalisme dan berasal dari dalam negeri, namun seperti yang dijelaskan di atas bahwa vaksin ini pada aslinya adalah keluaran dari perusahaan amerika. Vaksin ini juga ternyata mempunyai endorse dari beberapa tokoh bahkan tokoh dari sisi legislatif yang seharusnya menggunakan fungsi pengawasannya namun mendorong untuk vaksin segera diberikan izin edar.
Simbol nasionalisme semacam ini sepertinya membuat rasa nasionalisme kita memang hanya pada kulit luar saja. Nasionalisme hanya dibuat bungkus kepentingan segelintir orang untuk kepentingan dan pribadi. Padahal nasionalisme yang dibutuhkan Indonesia sepertinya pada hari ini adalah nasionalisme yang muncul dari kebutuhan warga negaranya bukan slogan puitis dari pemerintah. Satu cara untuk menciptakan kondisi tersebut adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT