Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Siaran Lokal di Era Digital: Tergerus Media Sosial dan Layanan Streaming
1 Februari 2025 13:55 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Pupung Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Paparan media digital, termasuk media sosial dan layanan berbasis streaming atau biasa disebut dengan over-the-top (OTT) kian masif masuk ke dalam perilaku bermedia sehari-hari masyarakat Indonesia. Bahkan laporan dari The Trade Desk bertajuk The Future of TV menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penonton OTT terbanyak di Asia Tenggara. Meningkatnya popularitas siaran berbasis konten di media sosial dan OTT lantas memunculkan pertanyaan tentang posisi lembaga penyiaran di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Seperti tertulis pada Undang Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, di Indonesia terdapat empat jenis lembaga penyiaran, yaitu lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran berlangganan dan lembaga penyiaran komunitas. Tentu kita ketahui bersama, setelah digunakan lebih dari 20 tahun, banyak pasal dari Undang Undang tersebut sudah tidak lagi relevan. Jika melihat realitas saat ini, bahkan mungkin keempat jenis lembaga penyiaran tersebut, sudah bukan lagi menjadi pilihan utama masyarakat.
Persoalan jauhnya gap isi UU Penyiaran tahun 2002 dengan kondisi teraktual saat ini, DPR telah mulai melakukan kajian revisi undang-undang sejak Mei 2024 yang lalu. Meskipun ketika itu Rancangan Undang Undang tersebut menuai banyak pro kontra, saat ini publik masih menantikan prosesnya bergulir di meja DPR RI. Satu hal yang perlu dipikirkan bersama adalah posisi lembaga penyiaran konvensional yang bukan lagi menjadi pusat aktivitas keseharian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketika masyarakat lebih banyak memusatkan perhatiannya pada media sosial dan layanan streaming berbasis internet, maka muatan siaran lokal menjadi hal yang sulit dikontrol. Jika lembaga penyiaran konvensional masih diwajibkan untuk menayangkan konten siaran lokal sesuai tertulis pada Pasal 8 draft revisi UU Penyiaran 2024, maka tidak dengan konten media sosial dan siaran streaming. Pencarian informasi berbasis media sosial akan bersirkulasi di dalam algoritma personal penggunanya. Maka tidak ada kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan informasi lokal terkait lingkungan sekitarnya di media sosial.
Informasi yang masuk ke linimasa media sosial seseorang bisa bersumber dari manapun dan siapapun. Dengan rumus tersebut, maka seseorang mungkin saja akan sangat berjarak dengan informasi sehari-hari yang terjadi di kota tempat tinggalnya. Kalaupun ada informasi lokal yang lewat di linimasa media sosial, kemungkinan itu adalah informasi yang terkait tragedi atau kejadian buruk lainnya. Informasi lokal tentang pencapaian, penemuan, preservasi budaya atau inovasi yang dilakukan orang-orang di sekitar kita, kecil kemungkinan akan berputar luas di media sosial, apalagi di layanan OTT.
ADVERTISEMENT
Padahal, Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau dan lebih dari 1.300 suku dan etnis, sangat membutuhkan siaran lokal sebagai wadah diskusi masyarakat lokal. Namun pada praktiknya, konten siaran lebih banyak bersumber dari Jakarta dan luar Indonesia. Mungkin anak-anak Indonesia lebih familiar dengan permainan anak dari Korea Selatan karena menonton serial Korea populer yang ditayangkan di layanan OTT. Sedangkan mungkin orang-orang di Yogyakarta sebagai contoh, tidak semuanya mengetahui adanya Komunitas Banyu Bening di Sleman yang melakukan inovasi panen air hujan.
Kondisi demikian akan membuat masyarakat terfragmen ke dalam echo-chambers-nya masing-masing. Semangat kolektif demi memajukan daerah akan semakin memudar karena rendahnya paparan seseorang pada isu-isu lokal. Pierson dan Bauwens (2015) sudah mengingatkan konsep media affordances. Artinya media harus mampu meningkatkan kemampuannya, agar bisa melayani publik secara optimal. Pemerintah harus melihat posisi TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang strategis, bukan hanya untuk kepentingan domestik, namun juga regional dan global. Kita bisa melihat peran BBC di Inggris atau NHK di Jepang yang mampu menjadi alat diplomasi global bagi negara.
ADVERTISEMENT
Negara perlu melakukan “operasi dua kaki”, baik ke lembaga penyiaran, maupun ke khalayak. Lembaga Penyiaran tidak ditakuti soal modal kapital, dan khalayak perlu untuk meningkatkan literasinya, sehingga tayangan lokal dari media profesional mendapatkan tempat dalam keseharian bermedia publik.