Konten dari Pengguna

Cerita Horor: Ritual Dibalas Tumbal

Putra Nugraha
Mahasiswa Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga jurusan Perbandingan Madzhab
2 Desember 2024 18:09 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putra Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi lambang ritual/putra nugraha
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi lambang ritual/putra nugraha
ADVERTISEMENT
Aku tidak percaya hantu. Ya, sudah berapa kali aku mencoba ritual-ritual tak berguna hanya untuk bertemu sosok buruk rupa itu, sehingga peristiwa malam itu, peristiwa yang sangat memilukan sepanjang hidupku. Aku merasa seperti terjebak dalam penyesalan. Aku yang dulu menentang takhayul kini menghancurkan teman-temanku dengan ritual sialan ini,
ADVERTISEMENT
Cerita ini berawal dari perbincanganku yang terkesan membantah atau lebih tepatnya menantang hal-hal berbau mistis di sebuah angkringan pinggir jalan bersama kedua temanku. Kenapa tidak? Menurutku hanya orang bodoh saja yang percaya hal seperti itu, bertahun-tahun aku tidak pernah melihatnya lalu aku dipaksa percaya? Bahkan dalam rukun iman yang kupelajari dan kuyakini tidak ada urutan untuk mempercayai sosok takhayul itu.
Perkenalkan namaku Fatih aku berumur 17 tahun bisa dibilang sekarang aku sedang menempuh perjalanan lulus SMA tahun ini. Lalu kedua temanku bernama Nanang dan Mulki, mereka berdua memang lucu dengan kisah-kisah horornya bertemu pocong lah, tuyul, sampai wanita berdaster warna putih dengan bercak darah dan lumuran tanah. Aku hanya tertawa bukan berarti percaya, menurutku cerita mereka hanya sebuah hiburan yang menarik.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, aku punya ide brilian untuk membuktikan cerita mereka. Aku menawarkan ide ini dan berakhir dengan kecanggungan, melihat mereka bagai disambar petir, aku merasa jantung mereka meledak-ledak mendengar ideku ini.
"Kamu yakin mau melakukan ini, Fatih?” tanya Mulki, wajahnya tampak ragu.
“Aku tidak mau kehilangan teman,” lanjutnya dengan nada serius.
Nanang menepuk bahu Mulki, senyumnya lebar, tapi matanya menunjukkan ketakutan. Ia bukan tipe yang suka tantangan, tapi kali ini ia ingin membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri.
Aku tau mereka dalam kebimbangan, aku bisa memperkirakan rasa campur aduk dalam benak mereka, jika mereka menolak maka aku akan mengolok-oloknya dan berteriak kepada seluruh dunia bahwa cerita mereka adalah takhayul, jika mereka menerimanya maka resikonya memang sangatlah besar.
ADVERTISEMENT
Mereka setuju dengan tawaranku, meski ritual ini terkenal memakan korban jiwa. Ya, nama ritual ini adalah Jelangkung.
*****
Malam Jum'at itu sudah cukup memberi kesan horor. Kami duduk diam di kuburan, ditemani pohon beringin yang seolah mengawasi. Angin malam berbisik lewat dedaunan kering. Suara itu menggetarkan hati. Udara basah tanah kuburan menusuk kulitku. Setiap suara terdengar lebih keras dari biasanya, dan aku merasa seperti ada yang mengamati kami.
Rasanya sudah seperti main di film-film horror menunggu kehadiran roh-roh jahat untuk dijadikan tumbal atau kami yang lari terbirit-birit ketakutan hingga disesatkan oleh roh jahat.
Kami duduk melingkar, memegang boneka kayu berbalut kafan. Tanganku gemetar, tapi aku mencoba menenangkan Mulki yang semakin pucat.
ADVERTISEMENT
“Santai saja, Mul! Hantu itu cuma mitos.”
Tak lama kemudian kami langsung merapalkan mantra nya:
Jelangkung jelangsat, Di sini ada
Pesta, Pesta kecil-kecilan.
Jelangkung jelangsat, Datang tak
dijemput, Pulang tak diantar.
Jelangkung jelangsat...
Kami mengulang mantra, tapi hanya keheningan yang menjawab. Nanang menatapku dengan mata terbelalak, Mulki tampak lega, seolah bisa bernafas lagi. Apa mungkin mantra yang kami ucap salah?
Angin kembali melolong, mendatangi kami bertiga tanpa alasan. Aku berharap hantu Jelangkung itu datang lalu menampakkan jati dirinya dengan penuh murka. Namun, takdir mengatakan tidak dan memberikan rasa kecewa kepada kami bertiga.
Kami pulang dengan langkah cepat, bayangan malam itu mengganggu pikiranku. Kecewa, tapi penasaran—apa yang terjadi?
*****
Aku menulis di diary ku, tentang ritual Jelangkung yang gagal memanggil hantu. Nanang dan Mulki terlihat sangat lega karena tak terjadi apa-apa, hanya aku saja yang merasa kecewa karena gagal lagi untuk kesekian kalinya.
ADVERTISEMENT
Hari ini, aku duduk di pojok kelas, menatap jendela yang disinari matahari. Hatiku selalu tertekan dengan pertanyaan yang tidak kunjung terjawab, seolah ada suara dalam diriku yang mempertanyakan pilihan kami untuk membuktikan roh-roh itu ada atau tidak.
"seharusnya roh itu lepas dari urusan duniawi, tidak perlu lagi mengganggu kehidupan orang lain karena mereka sudah bebas di langit sana". Keluhku dalam batin
KRINGGG
Suara bel yang nyaring menyadarkan lamunanku, menandakan jam istirahat, namun entah kenapa, suasana hatiku tetap suram, seperti awan gelap di langit. Aku bergegas ke kantin menemui mereka berdua, katanya mereka mengetahui kesalahan ritual yang kami lakukan semalam.
"Eh, Tih, kami pikir tahu apa yang salah dengan ritual kita kemarin," kata Mulki dengan nada serius, menarik perhatianku.
ADVERTISEMENT
"Emang yang kurang apa?"
"Kemarin ketika kita melakukan ritual tidak memasang sesaji, itu penyebabnya hantu Jelangkung tidak mau datang menampakkan dirinya"
"Jadi, kita hanya perlu menyiapkan sesaji," kataku, namun dalam benakku berputar pertanyaan besar "Apakah aku benar-benar ingin memanggil sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada?"
"Setelah sekolah, kita langsung ke desa sebelah. Di sana ada seorang dukun yang tahu banyak tentang memanggil roh jahat." Ajak Nanang kepada aku dan Mulki.
*****
Kami bertiga mendatangi sebuah rumah panggung yang terlihat kumuh dan menyeramkan. Entahlah, apakah dukun-dukun tidak berinisiatif merenovasinya, atau memang sengaja dibiarkan. Rumah yang kumuh itu seakan sengaja dibiarkan agar terlihat misterius dan menambah aura keangkeran sang dukun.
Kami memasuki rumah tersebut dan disambut hangat oleh pria paruh baya bernama mbah Sardi. Dengan suara tenang, mbah Sardi menjelaskan ritual memanggil jelangkung. Bahkan mbah Sardi memberikan kami lembaran uang gaib, yang katanya akan membantu membuka pintu antar dimensi. Ia memperingatkan kami untuk tidak melupakan mantra saat membakar uang gaib itu, karena nyala api akan menjadi kunci untuk membuka pintu antara dunia manusia dan makhluk halus.
ADVERTISEMENT
Kami menyadari bahwa memanggil roh jahat bukanlah perkara sepele, tanpa bimbingan dari mbah Sardi mungkin ritual yang kami lakukan hanyalah sia-sia belaka. Kami pun memberikan beberapa lembar uang, meski tidak seberapa, sebagai tanda terima kasih atas informasi berharga yang mbah Sardi berikan.
*****
Aku sangat semangat, tidak sabar untuk pembuktian kali ini. Melihat mereka berdua keringat dingin sudah tidak usah ditanyakan lagi. Kali ini kami mencobanya di rumah Nanang, kondisi rumahnya kosong karena orang tuanya sedang dinas di luar kota. Sebenarnya kata mbah Sardi untuk melakukan ritual bisa dimana saja karena hantu tidak diam di satu tempat, setiap sudut dunia ini pasti ditempati hantu.
"Sebelum kita mulai, apa kau yakin ini aman?" Tanya Mulki meyakinkan.
ADVERTISEMENT
"Aman? Siapa yang bisa menjamin? Tapi kita sudah di sini. Kita harus coba, ini bisa jadi pengalaman yang luar biasa." Balas Nanang.
"Oke, kita mulai. Ingat, ucapkan dengan yakin! Jangan sampai ragu!"
Jelangkung jelangsat, Di sini ada
Pesta, Pesta kecil-kecilan.
Jelangkung jelangsat, Datang tak
dijemput, Pulang tak diantar.
Jelangkung jelangsat...
Sekarang kami tidak sekedar merapalkan mantra dengan asal, kali ini dengan sesaji dan uang gaib yang dibakar, asapnya hampir memenuhi ruang tamu. Kami terus mengulang-ulang mantra itu sehingga....
"AAAAAAAAAHHHHHH! DISANA! DIA MUNCUL DI SUDUT RUANGAN!"il
ilustrasi penampakan/giphy.com
Teriakan Mulki membuat jantungku berdegup kencang. Ia terjatuh, matanya kosong, seperti bukan dirinya lagi.
"Tenang, Mulki! Fokus! Jangan panik!!"
Selang beberapa menit Nanang ikut berteriak seperti tak sadarkan diri, ia menutupi wajahnya dengan posisi tubuh tengkurap.
ADVERTISEMENT
"Nanang! Bangun! Apa yang terjadi padamu?"
Sambil menutupi wajah Nanang dengan lirih menjawab "Dia... dia ada di atas kita! Kita harus lari!"
"INI GILA! KITA HARUS KELUAR DARI SINI SEKARANG JUGA!"
Ketakutan merayapi tubuhku, dan bayang-bayang hitam itu makin mendekat. Tubuhku terasa kaku, seakan waktu berhenti dan aku terperangkap dalam ketakutanku sendiri.
"AAAAHHHH........".
....
*****
Gelap... aku berada dimana? Rasanya seperti hampa, apakah aku masuk dunia mereka?
Suara tangisan terdengar dekat. Aku mengikuti suara itu, menemukan cahaya yang samar di depan, dan berlari ke arahnya.
"Hah!?!"
Semua buram. Perlahan pandanganku membaik. Aku melihat penyidik, tubuhku terikat. Apa yang terjadi?
"Mas sudah sadar?" Aku mengangguk pelan.
"Nama dan usia?"
"Fatih usia 17 tahun."
ADVERTISEMENT
Penyidik itu mengangguk. "Ceritakan apa yang terjadi."
Aku mulai bercerita dengan suara tercekat. Penyidik itu memperhatikan setiap ucapanku dengan mencatat di sebuah note kecil, hingga di penghujung cerita penyidik itu menghela nafas sejenak dan mengutarakan alasan mereka ada disini.
"Tetangga mendengar teriakan di rumah sebelah, lalu menelepon pihak berwenang. Kami berangkat kesana dan masuk ke rumah dengan kondisi berantakan, kami melihat mas sedang tak sadarkan diri dan melihat jejak kaki berwarna merah darah yang mengarah ke ruang dapur lalu kami melihat keadaan dua teman mas dengan kondisi mengenaskan. Mereka berdua tergeletak di lantai dengan keadaan bersimbah darah, dengan segera kami larikan kedua teman mas dan njenengan ke rumah sakit.”
ADVERTISEMENT
Dokter tiba-tiba masuk memotong cerita dari penyidik. Seketika reflek aku menanyakan kabar Mulki dan Nanang. Dokter terdiam sejenak, lalu mengajak penyidik keluar. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan kabar buruk.
"Apakah adek benar-benar melihat Jelangkung?"
Dokter itu memandangku tajam. Aku mengangguk, bibirku tercekat. Bayangan Mulki dan Nanang masih menghantui pikiranku—terlihat jelas, mereka dibawa pergi oleh sosok itu.
“Iya dok, saya melihatnya dan kedua teman saya dibawa olehnya”
“Dek, biar kuberitahu, pertama hantu yang kamu lihat hanyalah ilusi. Kedua temanmu tidak dibawa oleh hantu Jelangkung, melainkan mereka dibunuh olehmu. Mungkin dalam ilusi adek terlihat mereka dibawa oleh bayangan hitam namun setelah melihat cctv rumah kalian terlihat teman adek berdua berkelahi lalu disusul oleh adek dengan menikam-nikam mereka hingga tewas. Setelah kami selidiki ternyata di tubuh adek dan teman-teman mengandung ganja sintetis.”
ADVERTISEMENT
Kata-kata dokter seperti pukulan keras. Mulki? Nanang? Mereka... tewas? Aku tak bisa berpikir jernih. Hantu yang kulihat itu hanya halusinasi? Aku merasa tak terima.
“Dok, kenapa anda bisa tahu jika saya hanya berhalusinasi dan menggunakan ganja yang anda sebutkan? Sedangkan kami bertiga sama sekali tidak mengetahui dan tidak membawa barang terlarang tersebut?”
“Ganja sintetis dibuat untuk eksperimen hewan, namun disalahgunakan oleh manusia untuk keuntungan pribadi. Ganja sintetis mengandung senyawa yang hanya bisa dideteksi alat khusus. Kami menemukan sisa pembakaran kertas, yang ternyata mengandung bahan pemicu halusinasi dan setelah kami periksa tubuh adek dan teman-teman, memang benar tubuh adek terdeteksi barang tersebut. Itulah yang membuat adek melihat hal-hal tersebut. Saat ini kami sedang menyelidiki pelaku yang mengedarkan barang tersebut dan meminta bantuan adek untuk memberitahukannya. Mohon maaf kami juga tidak bisa menyelamatkan teman-teman adek, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi takdir berkehendak lain.”
ADVERTISEMENT
Hari ini, kenyataan datang begitu keras. Hantu itu tidak ada. Semua yang kulihat, semua yang kulakukan—semua hanya ilusi. Aku membunuh mereka. Aku membunuh teman-temanku. Aku ingin berteriak, memberitahu dunia bahwa ritual Jelangkung itu bohong. Tapi Nanang, Mulki, kalian sudah pergi meninggalkanku dengan kenyataan yang harus kuterima. Air mataku jatuh, rasa penyesalan mengguncang batinku. Apakah semua tindakan harus dibayar dengan pengorbanan? ataukah semua ritual memang dibalas dengan tumbal.