Konten dari Pengguna

Mahasiswa Kerja Part-Time Di Jogja Lebih Meprihatinkan Daripada Kesedihan Agus

Putra Nugraha
Mahasiswa Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga jurusan Perbandingan Madzhab
11 Desember 2024 16:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putra Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
meme mahasiswa kerja part time/Putra Nugraha
zoom-in-whitePerbesar
meme mahasiswa kerja part time/Putra Nugraha
Kesedihan seorang Agus sudah menjadi konsumsi for your page (FYP) di berbagai platform media sosial terkait dengan donasi yang diberikan oleh teh Novi dkk. Disalahgunakan yang seharusnya dipakai untuk berobat malah dipakai untuk keperluan lain.
ADVERTISEMENT
Tapi pernahkah kita berpikir bahwa orang-orang yang merantau ke Jogja lebih memprihatinkan. Karena sebelum kita merantau kita diiming-imingi dengan biaya hidup yang murah jika kita merantau di jogja dan ternyata……. WADIDAWWWW!!! Cocotmu tak seindah ekspektasi saya.
Pengalaman pribadi saya saat liburan semester kemarin menyibukkan diri untuk double job agar mendapat gaji UMR Jogja. Untuk mendapatkannya saya pun hanya bisa tidur selama tiga jam perhari, di pagi hari bekerja sebagai pramuniaga bazar buku, dan malam harinya bekerja sebagai karyawan laundry hotel –kalo dipikir-pikir UMR Jogja yang segitunya menghabiskan banyak waktu, tenaga tidan kesehatan.
Dari semua hal yang saya beberkan di atas, memang ada beberapa hal yang membuat saya shock sebagai anak rantau yang singgah di jogja sebagai pelajar serta kerja part-time di jogja berikut alasan-alasannya:
ADVERTISEMENT

1. Harga Kos-Kosan Tetap Memakai Harga Standar Luar Jogja

Bayangkan saja ketika kita kerja part-time yang biasanya dipotong setengahnya dari gaji pokok karyawan biasa, rata-rata gaji yang diberikan 1,2 juta, dihadapkan dengan biaya kos seharga 500-800 ribu.
Okelah orang bilang masih ada setengahnya. Namun, setengah dari gaji tersebut untuk biaya kehidupan lain seperti: biaya makan, print tugas kuliah, servis motor, cukur rambut, dll. Apakah setengah dari gaji tersebut cukup? Syukur-syukur sudah cukup apalagi jika bisa buat tabungan atau invest kelas hehe.
Namun ada yang bilang harga kos di Jogja Terhitung mahal dan tidak seimbang dengan pendapatannya,karena kos di Jogja memang sengaja mengambil harga pasar luar karena banyak sekali para pelajar yang merantau ke Jogja
ADVERTISEMENT

2. Harus Pintar Memilih Makan

Dari biaya makan di jogja kita list dari yang paling murah:
Nasi sayur (6-7 ribu) + makan 2 kali X 30 hari = 360-420 ribu
Nasi telur (8-10 ribu) + makan 2 kali X ari = 480-600 ribu
Nasi ayam (10-13 ribu) + makan 2 kali X 30 hari = 600-780 ribu
Itu untuk biaya makan dua kali sehari jika membeli jadi. Namun, jika membeli mentahannya kita bisa list:
Nasi 5kg (59 ribu) untuk perbulan dengan harga yang paling murah
Tempe/tahu (6-8 ribu) untuk 2 hari
Isi ulang gas (22- 25 ribu) tergantung warun
Minyak 1 liter (17-18 ribu)
Dan sayur-sayur yang lain kisaran di bawah 10 ribu
ADVERTISEMENT
Jika kita kalkulasikan mungkin biayanya tidak beda jauh dengan harga makan dua kali sehari selama sebulan.
Adakalanya kita masak nasi dan membeli lauknya di luar harganya tidak beda jauh dengan kita membli luk dan nasinya kecuali beli lauknya sayuran, selain sayuran mendingan sama nasi aja.

3. Harga Jajan Di Warung Masih Tetap Sama Saja Dengan Di Luar Jogja

Jajan ciki di Jogja dengan UMR seadanya dengan jajan ciki di Bandung Dengan UMR dua kali lipat Jogja harganya masih tetap sama. Apakah orang Jogja tidak diperbolehkan untuk jajan? Harga mie instan pun tetap sama saja, tidak ada alasan karena UMR Jogja bisa dibilang minim tetap saja harga mie instan 3.500, harganya sama dengan kota-kota lain.
ADVERTISEMENT
Biaya parkir liar di Bandung dan parkir di Jogja tetap saja harganya 2 ribu --parkir liar emang gak mandang UMR. Begitupun harga bensin, tetap sama saja. Namun dibalik itu semua yang saya heran adalah orang-orang Jogja yang masih bisa bertahan dan tetap sejahtera dengan keadaan yang menurut saya di luar ekspetasi.
Katanya di Jogja memang mengenal budaya “nrimo ing pandum” yakni menerima apa adanya, yang pada akhirnya dengan UMR seadaya mereka masih bisa sejahtera di Jogja.
Saya menulis ini bukan berarti saya tidak mensyukuri kehidupan saya atau saya yang tidak menganut istilah “nrimo ing pandum”. Yang bisa saya ambil pelajaran dari sini bahwa semua yang ada, semua yang dipromosikan oleh manusia, dan semua yang kita miliki memang kita harus terima, kita tidak bisa memaksakan semuanya sempurna.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang meromantisasi Jogja pun tidak salah karena memang Jogja sekeren itu, di balik itu kita harus menerima kekurangannya. Ya, menerima kekurangannya dan memperbaikinya, bukan membiarkan Jogja yang secantik ini membunuh masyarakatnya sendiri dengan biaya kehidupan yang bisa dibilang kurang seimbang dengan biaya pendapatannya.