news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dilematika Pengambilan Keputusan dalam Pengesahan RUU PKS

Putri Angelina
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
30 Desember 2020 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Angelina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Annisa Alya Salsabila, Athaya Sekar Ayu, Putri Angelina.
Sumber: https://haluan.co/article/tarik-ulur-ruu-pks-kegagalan-dpr-memahami-kasus-kekerasan-seksual
Maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia menunjukkan bahwa belum adanya payung hukum yang efektif untuk menjerat pelaku kekerasan seksual. Hal demikian dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak ditindaklanjuti melalui jalur hukum, melainkan hanya diselesaikan dengan jalur kekeluargaan atau perdamaian. Bahkan di dalam KUHP, kekerasan seksual hanya dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Padahal, saat ini Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai negara yang mengalami darurat kekerasan seksual karena kasus kekerasan seksual di Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 12 tahun terakhir saja, kasus kekerasan seksual sudah mengalami peningkatan sebanyak 792% atau 8 kali lipat. Selain itu, menurut data yang dipublikasikan oleh Ketua Pemulihan Komisi Nasional Perempuan, Theresia Iswarini, sudah ada sebanyak 1.299 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam kurun waktu Maret hingga Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada permasalahan yang ada, tentu kehadiran peraturan yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi para korban mutlak dibutuhkan. Menurut Sudikno Mertokusumo (2007) kepastian hukum merupakan jaminan hukum yang dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Sejalan dengan hal tersebut, aturan mendasar terkait kepastian hukum di Indonesia pada dasarnya telah diatur dalam konstitusi tertinggi Indonesia, yakni dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Atas dasar inilah seharusnya kepastian hukum dapat hadir dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, dalam realisasinya kepastian hukum masih belum dapat terlaksana di segala aspek, salah satunya dalam konteks kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab dan etika pengambilan keputusan pemimpin di sektor publik tentu patut dipertanyakan. Mengingat bahwa pemerintah serta DPR yang merupakan pejabat publik, sekaligus wakil rakyat yang memiliki tanggung jawab dalam menghadirkan kepastian hukum melalui pengesahan undang-undang, malah tak kunjung menunjukkan langkah konkret. Pada kenyataannya mereka sebagai pemimpin malah mengalami dilema dalam pengambilan keputusan terkait RUU PKS yang merupakan rancangan peraturan yang memberikan kepastian hukum terkait kekerasan seksual di Indonesia. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat kehadiran RUU PKS memiliki andil penting dalam memberikan rasa aman terhadap korban melalui adanya jaminan kepastian hukum yang diatur dalam RUU tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan yang ada, RUU PKS yang diajukan oleh Komnas Perempuan dan FPL pada dasarnya telah masuk ke dalam daftar tunggu urutan ke-dua puluh dalam Prolegnas tahun 2016. Akan tetapi, hingga tahun 2020 pengesahan pun tak kunjung dilakukan bahkan dikeluarkan dari Prolegnas tahun 2020. Keputusan ini sangat disayangkan, mengingat peran penting RUU PKS sebagai payung hukum dalam memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi para korban kekerasan seksual di Indonesia. Selain itu, RUU PKS tidak hanya mengatur terkait ancaman pidana semata, tetapi juga memuat serangkaian aturan yang mendukung dan melindungi korban selama menjalani proses hukum. Secara lebih lanjut, RUU PKS juga memuat aturan-aturan penanganan kekerasan seksual yang jauh lebih komprehensif dan mendalam, ditunjukkan dengan perluasan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalamnya, yakni sebanyak 9 bentuk kekerasan seksual. Adanya perluasan bentuk kekerasan seksual tersebut, berdampak pada lebih banyaknya korban kekerasan seksual yang dapat dilindungi (Susanto et al., 2016). Di sisi lain, poin penting yang juga diatur dalam RUU PKS adalah mengenai hak-hak korban kekerasan seksual yang dibahas secara khusus dan spesifik. Dengan adanya hak atas penanganan, hak atas perlindungan, hak atas pemulihan, dan disertai adanya pemberdayaan bagi korban dan keluarganya dalam bentuk jaminan kesehatan dan jaminan sosial, akan membantu korban untuk melanjutkan hidupnya dan dalam menghapus rasa takut dan khawatir korban atas kejadian yang menimpanya.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan hal tersebut, pengesahan RUU PKS merupakan keputusan yang penting untuk dilakukan. Namun, DPR selaku pemangku kebijakan legislatif rasanya masih menemukan beberapa kendala yang mengakibatkan pembahasan terus mengalami penundaan. Pertama, DPR berpendapat bahwa pengesahan RUU PKS masih harus menunggu diselesaikannya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) agar tidak terjadinya tumpang tindih dalam pengaturan pidana terkait kekerasan seksual di Indonesia. Akan tetapi, alasan ini dirasa tidak sepenuhnya tepat. Hal demikian dikemukakan pula oleh Maria Ulfah Ansor selaku Komisioner Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa seharusnya pembahasan mengenai RUU PKS tidak perlu menunggu disahkannya RKUHP terlebih dahulu, mengingat adanya asas hukum lex specialis derogat legi generalis yang menunjukkan bahwa RUU PKS memiliki kekuatan hukum yang jauh lebih besar dibanding RKUHP.
ADVERTISEMENT
Permasalahan selanjutnya yang juga terjadi adalah belum terdapat adanya konsensus atau kesatuan suara dari seluruh fraksi anggota DPR yang mengakibatkan dibutuhkan adanya waktu ekstra untuk melakukan pembahasan. Hal demikian ditunjukkan adanya penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyatakan dengan tegas tidak setuju dengan pengesahan RUU PKS. Adanya penolakan tersebut ditegaskan pula oleh Jazuli Juwaini selaku Ketua PKS yang berpandangan bahwa materi RUU PKS ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan agama. Penolakan terhadap pengesahan RUU PKS juga disebabkan permasalahan mendasar, seperti masih terdapat adanya miskonsepsi terkait muatan atau substansi yang terdapat dalam RUU PKS. Dalam hal ini, Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M., Ph.D selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM pun telah menanggapi dan meluruskan kesalahpahaman tersebut. Beliau mengemukakan bahwasanya RUU PKS pada dasarnya bersumber dari adanya pemahaman terhadap nilai keadilan dan kemanusiaan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat yang berlaku secara universal. Selain itu, fokus utama yang dibawa RUU PKS pun berkaitan dengan prinsip nir-kekerasan yang mana merupakan prinsip yang ada dalam tiap agama dan tentunya terinternalisasi di dalam Pancasila dan budaya masyarakat Indonesia (Eddyono dalam Susanto et al, 2016)
ADVERTISEMENT
Disisi lain, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Marwan Dasopang menyampaikan bahwa pembahasan RUU PKS ini sulit dilakukan dan tidak dapat diselesaikan di tahun ini karena masih harus melibatkan banyak pihak melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Pernyataan tersebut sangat mengecewakan masyarakat karena DPR yang seharusnya mampu menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat sebagai bentuk penegakan kepastian hukum dan keberpihakan pemerintah kepada korban kekerasan seksual. Jika memang alasannya pembahasannya sulit, justru seharusnya DPR dengan segera membahas dan meninjau kembali formulasi perumusannya terkait pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai atau multitafsir serta melakukan koordinasi lebih lanjut dalam rangka memberi pemahaman dan pembinaan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat. Di samping kendala-kendala tersebut, terpilihnya Ketua DPR perempuan pertama di Indonesia pada periode 2019-2024 yaitu Puan Maharani pun nyatanya belum dapat memberikan harapan dan optimisme bagi kaum perempuan yang kerap kali menjadi korban kekerasan seksual. Hal demikian tentu menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di dunia politik di Indonesia sayangnya tidak menjamin adanya kebijakan yang berperspektif gender.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut, keputusan pemerintah dalam melakukan penundaan pengesahan RUU PKS tentu merupakan keputusan yang dilematik. Hal demikian didasari atas kewajiban pemerintah sebagai pemimpin atau pejabat publik yang seharusnya mampu mengakomodir tuntutan masyarakat melalui pengesahan RUU PKS, malah terus melakukan penundaan lantaran belum dapat mengatasi berbagai problematika dalam RUU PKS itu sendiri. Permasalahan yang terjadi, baik terkait perbedaan pendapat dalam fraksi-fraksi partai, maupun terkait substansi yang masih seringkali mengalami miskonsepsi pun pada dasarnya bukanlah masalah tanpa solusi, sehingga seharusnya dapat diatasi sesegera mungkin. Dalam hal ini, peran kepemimpinan pemerintah pun turut dipertanyakan, mengingat seharusnya pemerintah bertindak tegas dan memberikan upaya konkret dalam mendorong pengesahan RUU PKS. Sebagai pemimpin di sektor publik pun sudah seharusnya pemerintah, khususnya DPR dapat berperan sinergis dalam mewujudkan perubahan, terutama dalam memberikan perlindungan hukum bagi para korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, penulis menyusun beberapa saran atau pertimbangan yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah, yaitu bahwa sudah seharusnya pemerintah secara serius berupaya mendorong pengesahan RUU PKS melalui upaya-upaya konkret, meliputi: penegasan substansi dan muatan utama yang dibawa melalui sosialisasi yang lebih menyeluruh, penghapusan miskonsepsi terhadap RUU PKS dengan pelibatan tokoh-tokoh masyarakat dan agama, serta dengan penyatuan pendapat antar fraksi yang ditunjukkan dengan masuknya RUU PKS dalam Prolegnas tahun 2021 yang mendorong segera disahkannya RUU PKS di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Sumber:

Mertokusumo, S. (2007). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty.
Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D ayat 1
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Susanto, A. R. I., Arsyah, A. M., Mulyani, C. K., Athilla, K. D., Rayhan, M., & Natalische Ramanda Ricko Aldebarant, S. D. (2016). Miskonsepsi Materi RUU PKS dan Penundaan Pembahasan Oleh DPR RI. 4(1), 64–75.