Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Basa Cerbon, Sunda Tah Jawa?
31 Oktober 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Putri Safira Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kurang lebih kalimat-kalimat tanya seperti inilah yang sering dilontarkan orang-orang kepada saya ketika baru menginjakkan kaki di tanah rantau. Bahkan jauh sebelum itu, setiap berkenalan dengan orang –yang tentunya non-Cirebon– di dunia maya, mereka selalu bertanya-tanya mengenai bahasa yang digunakan masyarakat di kota kecil ini sehari-hari.
Hampir semua teman saya dari luar Cirebon tidak tahu bahwa Kota Udang ini memiliki bahasanya sendiri. Mereka pun kebingungan saat disuruh menebak bahasa daerah apa yang digunakan oleh masyarakat Cirebon. Kebanyakan dari mereka pasti menebak kalau tidak Sunda, ya Jawa.
Sunda atau Jawa?
Berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, di antara Suku Sunda dan Jawa, membuat budaya yang dianut masyarakat Cirebon pun berada di sela-selanya. Salah satu budaya Cirebon, yakni bahasa, cukup banyak menganut milik kedua suku tersebut. Walau begitu, Bahasa Cirebon lebih condong ke arah Bahasa Jawa dibanding Sunda.
ADVERTISEMENT
Karena banyaknya kesamaan, tidak salah jika ada yang mengira Bahasa Cirebon adalah Bahasa Jawa, karena menurut penelitian, bahasa ini memiliki persamaan hingga 76% dengan Bahasa Jawa Tengah dan 75% dengan Bahasa Jawa Timur. Hal ini pula yang mendasari banyaknya orang tak sadar kalau Cirebon adalah bagian dari Jawa Barat.
Kemiripannya tak hanya pada bahasa lisan saja, namun juga mencakup karya bahasanya seperti puisi, pantun, pupuh, hingga tingkatan kebahasaannya. Ada istilah bebasan dalam Bahasa Cirebon, artinya bahasa halus. Sama halnya dengan Kromo Inggil pada Bahasa Jawa, bebasan ini memiliki istilah-istilah yang lebih lembut dan sopan, sehingga biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati.
Aksara yang diajarkan pada Mata Pelajaran Basa Cerbon di sekolah pun mengikuti aksara Jawa kuno yang meliputi Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dan seterusnya. Hal ini memperbanyak kemiripan bahasa Cirebon dengan Jawa, dan menambah jarak dengan Bahasa Sunda.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut pula, tak sedikit yang memperdebatkan perihal Bahasa Cirebon ini ‘hanya’ dianggap sebagai dialek dari Bahasa Jawa dan bukan bahasa sendiri karena tingginya angka kemiripan dengan bahasa Jawa. Namun perlu ditilik dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 yang masih berlaku hingga sekarang, Cirebon telah diakui sebagai bahasa, bukan ‘hanya’ dialek.
Basa Cerbon sebagai bahasa
Basa Cerbon sebagai bahasa juga dibuktikan dari banyaknya dialek yang dimiliki Bahasa Cirebon sendiri, seperti dialek Arjawinangun, Dermayon (Indramayuan), Plered, Gegesik, campuran, dan dialek Kuningan. Masing-masing dialek tentunya memiliki perbedaan, baik dalam pelafalan maupun istilah yang digunakannya. Misalnya logat Plered yang ditandai dengan banyaknya huruf O dalam kata-katanya, serta dialek Kuningan yang berakulturasi dengan Bahasa Sunda.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kemiripannya dengan Bahasa Jawa tak menjadikan bahasa dari suku terbesar di Indonesia itu sebagai satu-satunya sumber rujukan Basa Cerbon. Bahasa Cirebon juga dipengaruhi berbagai masukan dari bahasa lain seperti Bahasa Sunda –seperti yang telah disebutkan sebelumnya–, Arab, Sansekerta, bahkan Cina. Hal ini didasarkan pada sejarah, di mana pada masa zaman penjajahan dulu, Cirebon memang sempat menjadi salah satu pusat perdagangan di pulau Jawa. Dari sini kita tahu bahwa orang-orang yang menebak masyarakat Cirebon menggunakan Bahasa Sunda atau Jawa tidaklah mempelajari sejarah.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Basa Cerbon ini memiliki banyak dialek dari berbagai penjuru daerah di wilayah Cirebon tentunya, yang membuatnya semakin berwarna. Menurut saya sendiri sebagai orang Cirebon, dialek yang paling nyaman digunakan adalah Plered karena kebetulan orang tua saya berasal dari daerah sana dan telinga saya sudah terbiasa dengan logat tersebut. Leter O dengan logat yang medok menjadikan dialek Plered sulit dilupakan meski lama tak mendengarnya. Ini juga yang terkadang membuat saya rindu akan kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, logat Arjawinangun adalah yang paling banyak digunakan (menurut penelitian sebanyak 59%). Disusul oleh dialek campuran dengan jumlah pengguna mencapai 16%, dan sebanyak 6% menggunakan logat Dermayon dan Kuningan.