Konten dari Pengguna

Bisakah Praperadilan Dilakukan Upaya Hukum?

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
14 Juli 2024 11:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Peradilan Foto: Istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Peradilan Foto: Istock
ADVERTISEMENT
Berbicara objek peradilan sebenarnya sudah diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal 77 disebutkan bahwa : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Artinya bahwa diluar yang diatur dalam pasal 77 tersebut bukan merupakan objek dari praperadilan.
ADVERTISEMENT
Selain KUHAP objek praoeradila juga dipertegas dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
Dari ketentuan serta regulasi yang ada tersebut, jika sebuah gugatan praperadilan dikabulkan permohonannya. Maka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan sebagai tersangka lagi jika hal ini berkaitan dengan tidak sahnya penetapan tersangka. Hal ini seperti contoh kasus Pegi Setiawan yang kemudian di vonis bebas karena penangkapan yang dilakukan oleh polisi tidak di dukung dengan dua alat bukti yang sah.
Akan tetapi dalam kasus Pegi Setiawan ini kemudian menjadi semakin menarik karena putusan praperadilan menyebutkan dalam poin 5 yakni tidak sah segala keputusan dan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon. Artinya jika dilihat dari poin 5 ini, termohon yang dalam hal ini Polisi masih menjadi polemik karena Perma sendiri memberikan kewenangan dapat dilakukan penyidikan kembali setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan upaya hukum?
Dalam KUHAP sendiri putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum banding. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 83 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa pada prinsipnya adalah putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Hal ini disebabkan karena putusan praperadilan adalah putusan akhir, yang terhadapnya tidak dapat dilakukan upaya banding. Hal ini sesuai dengan asas tata cara pemeriksaan praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat. Selain itu, tujuan dibentuknya lembaga praperadilan ialah untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat.
Sementara itu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Pasal 45A ayat (1) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya. Selanjutnya dalam ayat (2) menyebutkan bahwa Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. putusan tentang praperadilan; b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut semakin jelas bahwa dalam hal putusan praperadilan, tidak dapat dilakukan upaya hukum banding maupun upaya hukum kasasi.
Lalu bagaimana dengan upaya hukum peninjauan kembali?
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016 dalam Pasal 1 dan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa putusan praperadilan dilarang/tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Artinya bahwa, apabila sebuah putusan praperadilan diajukan peninjauan kembali, maka permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri dan penetapan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum.
Lebih lanjut, melihat beberapa regulasi yang ada putusan praperadilan jelas tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum banding, kasasi, maupun upaya hukum peninjauan kembali.
Akan tetapi merujuk pada Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, MA masih memiliki kewenangan dalam hal : (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya, (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan, (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan, (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
ADVERTISEMENT