Konten dari Pengguna

Saat Kebebasan Berekspresi di Indonesia Dikebiri

Qonita Hamidah
Mahasiswi, S1 Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19 Juni 2023 16:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Qonita Hamidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebebasan berkspresi di Indonesia sudah sepatutnya menjadi hak setiap warga negara Indonesia. Namun, apakah kebebasan berekspresi di Indonesia sudah benar-benar bebas?
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah pihak yang mengaku trauma terhadap rezim yang memberlakukan keamanan kebebasan berekspresi. Pasalnya keamanan ini mengekang demokrasi bangsa Indonesia serta kebebasan berekspresi atau berpendapat dibayangi dalih pencemaran nama baik oleh beberapa pihak untuk melaporkan kepada polisi.
Seperti contoh kasus Fatihah dan Haris Azhar selaku aktivis HAM yang melibatkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) atas tuduhan kasus pencemaran nama baik.
Kasus ini bermula ketika Fatihah dan Haris berdiskusi di kanal Youtube tentang dugaan keterlibatan pejabat dan Purnawirawan TNI-Polri di balik bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua. Luhut melaporkan Fatihah dan Haris ke pihak kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE.
Di sisi lain informasi yang disampaikan oleh Haris dan Fatihah di kanal youtubenya itu berdasar pada riset yang dibuat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil yang berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya”.
ADVERTISEMENT
Apakah kebebasan berekspresi di Indonesia dikekang oleh UU ITE? Perlu digarisbawahi kebebasan berekspresi atau berpendapat dengan pencemaran nama baik itu berbeda. Jika menangani cyber crime terkait delik pencemaran nama baik, maka sebaiknya penegak hukum mengutamakan pasal-pasal dalam KUHP bukan dari UU ITE.
Ancaman terhadap orang yang menghina pemerintah diancam tiga tahun penjara. Orang yang menghina melalui media sosial di internet diancam empat tahun. Sementara ncaman bagi orang yang menghina kekuasaan umum yaitu penjara maksimal 1,5 tahun.
Apabila penghinaan terhadap pemerintah itu menyebabkan kerusuhan, maka pelaku diancam hukuman 3 tahun penjara. Ini termasuk ke dalam delik aduan, di mana kasus akan diproses jika yang bersangkutan melaporkan kasusnya kepada penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal 240 RKUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah dituliskan:
Sumber: Canva.com
Selanjutnya dalam pasal 241 dituliskan:
Dalam Pasal 354 yang berbunyi:
Pemerintah harus bersifat terbuka serta objektif untuk mengembalikan maksud dari adanya UU ITE demi melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi ITE, bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam memanfaatkan teknologi ITE. Dalam hal ini penegakan hukum keduanya dinilai belum memiliki ruh Undang-Undang yang nyata.
Sangat disayangkan jika Fatihah dan Haris diancam hukuman empat tahun penjara, hanya karena menikmati hak mereka atas kebebasan berekspresi yang dijamin oleh hukum internasional dan nasional. Haris menilai kebebasan berekspresi rakyat justru semakin dibatasi dan kriminalitas justru semakin marak digunakan oleh pengguna media sosial.
ADVERTISEMENT
Peneliti Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar mengatakan, saat ini pemerintah lebih sering melakukan pemblokiran situs-situs yang sebenarnya tidak mengandung pornografi dan tidak bermasalah. Seharusnya harus ada regulasi yang jelas dari pemerintah mengenai situs mana yang pantas untuk diblokir dan tidak.
Dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diterangkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Dirjen Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani mengatakan bahwa Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tidak membatasi kebebasan masyarakat untuk berpendapat.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat ini telah dijamin oleh UUD 1945 serta secara legal dijamin oleh ratifikasi Indonesia terhadap Kovenan Internasional.
ADVERTISEMENT