Konten dari Pengguna

Politik Identitas Taiwan: Membangun Jati Diri di Tengah Tekanan China

Queen Agnel Michiko
International Relations (Universitas Cenderawasih) Alumni (SMA KATHADA)
8 Mei 2025 14:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Queen Agnel Michiko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Identitas Taiwan semakin menguat di tengah tekanan China. Generasi muda Taiwanese memilih jati diri yang berbeda dari narasi “Satu Tiongkok”

Ilustrasi politik identitas Taiwan di tengah tekanan China (Foto : Queen Agnel Michiko/Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas Taiwan di tengah tekanan China (Foto : Queen Agnel Michiko/Kumparan)
ADVERTISEMENT
Dalam lima tahun terakhir, Politik identitas Taiwan mengalami perubahan signifikan. Di tengah Tekanan China berupa sanksi ekonomi, patroli militer, dan isolasi diplomatik, Taiwan justru semakin tegas membangun jati diri nasionalnya. Wacana tentang “siapa Taiwan” menjadi semakin penting, baik secara domestik maupun global. Di bawah bayang-bayang tekanan Beijing, Taiwan justru memperkuat konstruksi identitas nasionalnya. Maka, yang terjadi bukan sekadar perlawanan, melainkan penegasan: Taiwan bukan bagian dari narasi Tiongkok, melainkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Perubahan identitas di Taiwan tidak terjadi dalam ruang hampa. Generasi muda, lahir pasca 1990-an, sebagian besar tak lagi merasa sebagai “Chinese,” melainkan “Taiwanese.” Dalam lima tahun terakhir, politik identitas Taiwan mengalami perubahan signifikan. Di tengah tekanan China berupa sanksi ekonomi, patroli militer, dan isolasi diplomatik, Taiwan justru semakin tegas membangun jati diri nasionalnya. Wacana tentang “siapa Taiwan” menjadi semakin penting, baik secara domestik maupun global.
Politik Identitas Taiwan: Antara "Chinese" dan "Taiwanese"
Politik identitas Taiwan mengalami evolusi signifikan sejak reformasi demokratis di era 1990-an, namun dalam lima tahun terakhir, arah pergeserannya menjadi semakin eksplisit. Identitas nasional yang sebelumnya bersifat ganda—sebagai "orang China" dan "orang Taiwan"—berubah menjadi dominan "Taiwanese." Data dari National Chengchi University (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% warga Taiwan kini hanya mengidentifikasi diri sebagai orang Taiwan, bukan China.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dipengaruhi oleh pengalaman generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan demokratis, serta semakin jauhnya jarak historis dan emosional dengan daratan Tiongkok. Kurikulum sekolah, media populer, dan pernyataan politik dari elite pemerintah turut memperkuat narasi Taiwan sebagai bangsa yang unik, terpisah dari narasi "satu Tiongkok" yang diusung oleh Beijing.
Tekanan dari China dan Respons Taiwan
China merespons penguatan identitas Taiwan dengan serangkaian langkah tekanan, termasuk peningkatan latihan militer di sekitar Selat Taiwan, pembatasan hubungan diplomatik, dan pemboikotan produk-produk Taiwan. Pada Agustus 2022, misalnya, setelah kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taipei, China menggelar latihan militer besar-besaran di sekitar pulau tersebut sebagai bentuk "hukuman".
Namun, respons Taiwan tidak selalu bersifat militer atau konfrontatif. Sebaliknya, Taiwan mengandalkan diplomasi lunak dan kampanye internasionalisasi. Dalam masa pandemi, Taiwan mengekspor masker medis ke berbagai negara, membangun citra sebagai negara kecil yang bertanggung jawab secara global. Strategi ini tidak hanya meraih simpati internasional, tetapi juga memperkuat kebanggaan nasional di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Presiden Tsai Ing-wen, dalam berbagai pidato resminya, menekankan pentingnya mempertahankan demokrasi, hak asasi, dan kedaulatan Taiwan, tanpa secara eksplisit menyatakan kemerdekaan formal—sebuah pendekatan strategis untuk menjaga stabilitas, namun tetap mempertahankan kejelasan identitas.
Peran Politik Domestik: DPP vs KMT
Peta politik domestik turut membentuk kontestasi identitas ini. Partai Progresif Demokratik (DPP), yang mengusung platform pro-kedaulatan dan identitas Taiwan yang terpisah dari China, memenangkan pemilu secara berturut-turut pada 2016 dan 2020. Dalam pemilu 2024, meskipun tidak meraih mayoritas penuh, kandidat dari DPP tetap berhasil mempertahankan kursi kepresidenan.
Sementara itu, Partai Kuomintang (KMT), yang secara historis lebih akomodatif terhadap China dan mengusung status quo lintas selat, menghadapi tantangan dalam menarik pemilih muda. KMT dianggap kurang mewakili aspirasi identitas Taiwan yang modern, terutama dalam menghadapi tekanan Beijing yang semakin agresif.
ADVERTISEMENT
Dinamika ini menunjukkan bahwa politik identitas bukan hanya urusan geopolitik, tetapi juga bagian integral dari kompetisi politik domestik.
Antara Tekanan dan Pilihan
Identitas nasional Taiwan hari ini adalah hasil dari proses panjang—bukan hanya sebagai respons terhadap tekanan eksternal dari China, tetapi juga sebagai konstruksi sosial-politik yang dibentuk oleh sejarah, demokrasi, dan kesadaran warga negaranya sendiri. Dalam lima tahun terakhir, pilihan Taiwan untuk terus menegaskan dirinya sebagai entitas yang berbeda semakin tegas.
Meskipun tekanan dari Beijing akan terus berlanjut, bahkan mungkin meningkat, kekuatan utama Taiwan terletak pada kemampuannya mempertahankan dan mengembangkan identitas kolektifnya. Di antara tekanan dan pilihan, Taiwan tidak diam. Ia memilih.
Oleh : Queen Agnel Michiko
Referensi:
ADVERTISEMENT