Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
POTENSI PATI RESISTEN TIPE 3 UNTUK MENCEGAH PENYAKIT DIABETES MELLITUS
8 Agustus 2018 11:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Dr R Haryo Bimo Setiarto SSi MSi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, kesemutan. Diabetes biasa ditandai dengan kadar gula darah di atas normal. Sementara itu penyakit diabetes tipe 2 (Type 2 diabetes mellitus/T2DM) adalah penyakit umum metabolisme dan endokrin yang disebabkan oleh kehilangan insulin relatif dalam darah sehingga menyebabkan hiperglikemia dan diabetes, yang selanjutnya mengakibatkan penyimpangan metabolisme lemak dan protein (Shaw, dkk., 2010). Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu: a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia), b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas, c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Komplikasi penyakit diabetes berasosiasi dengan kegemukan, kerusakan oksidatif, disfungsi dan kerusakan organ (Huang, dkk., 2005; Sharma, dkk., 2008). Diabetes juga sering kali dihubungkan dengan gejala kadar kolesterol yang tinggi (Zhou, dkk., 2014). Oleh karena itu diperlukan suatu usaha yang dapat mencegah penyakit diabetes, salah satunya dengan mengkonsumsi bahan pangan rendah IG (indeks gliemik).
ADVERTISEMENT
Secara umum, produk pangan yang memiliki kandungan IG rendah memiliki efek yang bermanfaat dalam mengontrol gula darah, hiperinsulinemia, resistensi insulin, kadar lemak darah dan nafsu makan serta dapat mencegah kegemukan dan diabetes (Shobana, dkk., 2012). Pada tahun 2015, penderita diabetes di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang dengan rentang usia 20-79 tahun (dikutip dari Federasi Diabetes Internasional). Namun, hanya sekitar separuh dari mereka yang menyadari kondisinya. Hasil penelitian Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) dari Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun menderita diabetes tipe 2. Ini berarti 6,9 persen dari total penduduk usia di atas 15 tahun. Tapi hanya 26 persen saja yang sudah terdiagnosis, sedangkan sisanya tidak menyadari dirinya sebagai penderita diabetes tipe 2. Sel-sel dalam tubuh manusia membutuhkan energi dari gula (glukosa) untuk bisa berfungsi dengan normal. Yang biasanya mengendalikan gula dalam darah adalah hormon insulin. Insulin membantu sel mengambil dan menggunakan glukosa dari aliran darah. Jika tubuh kekurangan insulin yang relatif, artinya kadar gula darah sangat banyak akibat asupan berlebihan sehingga kadar insulin tampak berkurang; atau muncul resistensi terhadap insulin pada sel-sel tubuh, kadar gula (glukosa) darah akan meningkat drastis. Inilah yang memicu dan menjadi penyebab penyakit diabetes (diabetes melitus).
ADVERTISEMENT
Salah satu ingridien pangan yang dapat berfungsi sebagai ingridien rendah IG dan antihiperkolesterolemia adalah pati resisten (RS) (Zhou, dkk., 2014). RS di definisikan sebagai pati yang tidak dapat dicerna, karena fraksi pati tidak dapat dicerna pada usus halus dan secara parsial difermentasi pada usus besar untuk menghasilkan Short Chain Fatty Acid (SCFA) dan produk-produk lainnya (Haralampu, 2000). RS memiliki efek fisiologis yang sama dengan serat pangan. RS dapat mempengaruhi berat badan dan keseimbangan energi dan meningkatkan ekresi lemak untuk mengurangi asupan kalori dan menurunkan kadar serum lipid (Losel dan Claus, 2005). Penyerapan RS dapat menurunkan sekresi inulin dan mengontrol postprandial gula darah untuk mencegah diabetes (Weickert dan Mohlig, 2005). FAO memasukkan RS dalam daftar sebagai serat pangan yang dapat mencegah penyakit T2DM pada tahun 1990 (Devries, 2004). Oleh karena itu, pemeriksaan penyiapan dan fungsi untuk meningkatkan RS menjadi penting untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang nutrisi pati terbagi menjadi tiga kategori berdasarkan laju kecernaannya (Englyst, dkk., 1992): rapidly digestable starch (RDS: fraksi pati yang tercerna dalam waktu 20 menit setelah makanan ditelan), slow digestable starch (SDS: fraksi pati yang dicerna dalam waktu 20-120 menit setelah makanan di telan) dan resistent starch (RS: fraksi pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus setelah makanan ditelan). Saat ini, konsumen menunjukkan peningkatan minat dalam memilih produk makanan yang sehat dan memiliki nilai fungsional. RS memainkan peran utama dalam industri makanan kesehatan karena memiliki sifat yang mirip dengan serat larut dan tidak larut dalam saluran pencernaan. Pati resisten tahan terhadap enzim pencernaan manusia, lambat dalam pelepasan glukosa sehingga asupan energi berkurang pada sel-sel usus, yang terbukti dengan rendahnya indeks glikemik. Ini dapat membantu mengendalikan glukosa pada penderita diabetes dan mengendalikan berat badan pada penderita obesitas. Sejalan dengan itu, menurut Liu, dkk. (2015) RS memiliki sifat dan fungsi seperti serat pangan, yaitu mengandung nilai energi yang rendah, dapat menurunkan indeks glikemik, menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan menurunkan resiko kanker kolon dengan cara memperbanyak produksi asam lemak rantai pendek, terutama asam butirat.
ADVERTISEMENT
Pati resisten tidak dapat dicerna karena empat alasan: (i) Struktur molekul kompak ini membatasi aksesibilitas enzim pencernaan, berbagai amilase, dan menjelaskan sifat tahan butiran pati mentah (Haralampu, 2000). Pati mungkin tidak mudah terkena bioaktif terhadap enzim pencernaan seperti pada biji-bijian, maupun umbi-umbian. (ii) Butiran pati sendiri terstruktur dengan cara yang mencegah enzim pencernaan memecahnya (misalnya kentang mentah, pisang mentah dan pati jagung amilosa tinggi) (Nugent, 2005). (iii) Butiran pati terganggu dengan pemanasan dalam air berlebih dalam proses yang biasa dikenal dengan gelatinisasi, yang membuat molekul dapat sepenuhnya diakses oleh enzim pencernaan. Beberapa jenis operasi memasak terhidrasi khas dalam pembuatan makanan bertepung untuk dikonsumsi, membuat pati mudah dicerna dengan cepat (Haralampu, 2000). Namun, jika gel pati ini kemudian didinginkan, mereka membentuk kristal pati yang tahan terhadap enzim pencernaan. Bentuk pati teretrogradasi ini ditemukan dalam jumlah kecil (sekitar 5%) pada makanan seperti jagung maupun kentang yang dimasak dan didinginkan, seperti yang digunakan dalam salad kentang. (iv) Pati terpilih yang telah dimodifikasi secara kimia oleh eterifikasi, esterifikasi atau ikatan silang, tidak dapat dipecah oleh enzim pencernaan (Lunn & Buttriss, 2007).
ADVERTISEMENT
RS dibagi menjadi lima (Dupuis, dkk., 2014) yaitu : (i) RS tipe1 yang banyak ditemui pada biji-bijian; (ii) RS tipe 2 merupakan granula pati alami yang strukturnya membuat pati tersebut lambat dicerna. RS tipe 2 banyak ditemui pada kacang-kacangan, kentang, pisang hijau, dan pada pati jagung dengan amilosa tinggi; (iii) RS tipe 3 adalah pati teretrogradasi yaitu pati yang telah mengalami pemanasan dan pendinginan pada waktu tertentu, contoh nya pada pati jagung H7; (iv) RS tipe 4 adalah pati yang dimodifikasi secara kimia, dimana pati menjadi sulit dicerna melalui proses seperti : oksidasi, eterifikasi, esterifikasi atau dengan cara penyinaran sinar-γ; dan (v) RS tipe 5 merupakan pati yang tidak dapat dicerna akibat terbentuknya kompleks antara amilosa dengan lipid. Berdasarkan penggolongan tersebut, diketahui bahwa pati beras alami memiliki RS tipe 1. Modifikasi pada pati beras selanjutnya dapat mengakibatkan perubahan tipe pati resisten sesuai dengan perlakuan yang diberikan, misalnya menjadi RS tipe 3,4, dan 5.
ADVERTISEMENT