Bahaya Mikotoksin bagi Kesehatan Manusia

Dr R Haryo Bimo Setiarto SSi MSi
Peneliti madya bidang ilmu dan teknologi pangan memfokuskan riset ke arah mikrobiologi pangan khususnya di bidang pengembangan produk pangan fungsional berbasis fermentasi tradisional, teknik modifikasi pati resisten, probiotik, prebiotik, sinbiotik
Konten dari Pengguna
4 April 2018 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr R Haryo Bimo Setiarto SSi MSi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menjaga keamanan pangan (Foto: thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menjaga keamanan pangan (Foto: thinkstock)
ADVERTISEMENT
Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Makanan memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan hidup dan menjaga agar makhluk hidup sehat lahir dan batin. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat, dan aman.
ADVERTISEMENT
Kualitas makanan yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan perilaku makhluk hidup itu sendiri. Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi.
Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang (fungi). Selama penyimpanan bahan makanan sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu, dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin.
Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan oleh mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena adanya kontaminasi mikotoksin yang tidak kasat mata, terlebih lagi pada makanan olahan, maka diperlukan kewaspadaan dalam memilih makanan terutama bahan makanan atau makanan olahan yang telah disimpan dalam waktu lama.
ADVERTISEMENT
Mikotoksin dan Sejarahnya
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Fox dan Cameron, 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X–disease pada tahun 1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox, 1981), lima jenis di antaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2), dan fumonisin.
Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50 persen komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis. Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik, dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini juga ditentukan oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan ( 8 ) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan (Bahri et al., 2002).
ADVERTISEMENT
Aflatoksin, mikotoksin penurun kekebalan tubuh
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6. 
Di antara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik, dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999).
ADVERTISEMENT
Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 di antara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap, dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58 persen pasien tersebut dengan konsentrasi di atas 400 mg/kg.
Oktratoksin, ancaman bagi ginjal yang bersifat karsinogenik
Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan, dan buah-buahan.
ADVERTISEMENT
OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara. P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 – 370C.
Saat ini diketahui sedikitnya tiga macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam. Hal penting yang berkaitan dengan perdagangan komoditas kopi di pasar internasional adalah bahwa sebagian besar negara pengimpor/konsumen kopi mensyaratkan kadar OA yang sangat rendah atau bebas OA.
ADVERTISEMENT
Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Zearalenon, toksin kapang yang bersifat teratogenik
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 – 250 C dan kelembaban 40 – 60 persen.
Zearalenon cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon.
ADVERTISEMENT
Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras, dan serelia lainnya. Trikotesena Mikotoksin golongan trikotesena dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium, dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh kapang-kapang tersebut di antaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena paling toksik. Toksin ini menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena lainnya seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah (Ueno et al., 1972 dalam Sinha, 1993).
Fumonisin, kontaminan pada komoditi pertanian
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., terutama F. moniliforme, dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada 1988 (Gelderblom, et al., 1988). Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini, dan F. napiforme.
ADVERTISEMENT
F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum 32 – 370 C. Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar di berbagai negara di dunia, terutama negara beriklim tropis dan sub-tropis. Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum, dan berbagai produk pertanian lainnya. 
Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3. Di antara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin.
FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum. Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi (1996), Ali et al. (1998), dan Maryam (2000b).
ADVERTISEMENT
Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a).
Masalah kontaminasi mikotoksin pada daerah tropis
Kontaminasi mikotoksin pada makanan sulit dihindari dan merupakan masalah global, terutama di Indonesia yang mempunyai iklim yang sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Umumnya kontaminasi mikotoksin terjadi pada komoditi pertanian dan hasil olahannya, atau pada bahan makanan yang disimpan terlalu lama.
Mikotoksikosis dapat terjadi karena adanya rantai makanan yang saling berkaitan, di mana pemaparan mikotoksin ke dalam tubuh terjadi karena konsumsi bahan pangan yang sudah tercemar (efek primer) dan konsumsi produk hewani (efek sekunder). Dari begitu banyaknya jenis mikotoksin yang telah ditemukan, aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling banyak dijumpai di alam terutama di negara beriklim tropis, dan mempunyai toksisitas yang lebih tinggi dari mikotoksin lainnya.
ADVERTISEMENT
Toksisitas mikotoksin tergantung beberapa faktor seperti dosis, rute pemaparan, lamanya pemaparan, spesies, umur, jenis kelamin, status fisiologis (kesehatan dan gizi), serta adanya efek sinergis dari berbagai mikotoksin dalam makanan. Umumnya mikotoksin bersifat akumulatif, sehingga efeknya tidak dapat dirasakan dalam waktu cepat dan sulit dibuktikan secara etiologi.
Masalah lainnya, kontaminasi pada makanan tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk mengindikasi suatu makanan telah tercemar mikotoksin kecuali dengan melakukan analisa laboratorium. Namun demikian, cemaran mikotoksin dapat diindikasikan dengan terlihatnya infestasi kapang meskipun adanya pertumbuhan kapang tidak selalu identik dengan produksi mikotoksin karena mikotoksin dihasilkan pada kondisi tertentu.
Suatu bahan makanan dapat saja terdapat beberapa spesies kapang yang menghasilkan beberapa jenis mikotoksin yang saling beriteraksi dan saling memperkuat tingkat toksisitas (efek sinergis). Oleh karena alasan tersebut di atas, maka perlunya meningkatkan kewaspadaan dalam memilih bahan makanan atau makanan olahan yang akan dikonsumsi dan tidak mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa atau yang disimpan terlalu lama.
ADVERTISEMENT