Kisruh Rempang dan Urgensi UU Kepresidenan

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Konten dari Pengguna
26 September 2023 10:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perlawanan masyarakat pulau Rempang. Foto: istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Perlawanan masyarakat pulau Rempang. Foto: istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penggalan nasihat mantan Dirjen Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri itu tajam dan keras. Narasinya memuat emosi dan kegelisahan atas akrobat pola tingkah pemimpin negeri. Suatu kegeraman sosok ilmuwan yang telah matang dalam belantara birokrasi.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan dan amarah guru besar ilmu pemerintahan ini sangat beralasan. Bukan saja praktik pimpinan negeri yang sering umbar pernyataan kontroversial. Lebih dari itu produk kebijakannya pun justru menjadi pemicu kekacauan.
Lihat saja peristiwa pembangunan Rempang Eco City. Ledakan ribuan masyarakat lokal merupakan sinyal kebijakan yang asimetris. Kebijakan yang berpihak secara dominan pada kelompok pemodal. Mengabaikan dan melupakan esensi masyarakat sebagai bagian dari pembangunan.

Konflik Rempang sebagai Relasi Kuasa Asimtris

Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: pradeep_kmpk14/Shutterstock
Diksi asimetris dalam kasus Rempang ini memang patut dilabelkan pada pemerintah. Keberpihakan yang nyaris membabi buta pada pemodal membuat abai ruang dialog. Sekaligus praktik kekerasan yang dilakukan aparat keamanan semakin mempertegas asimetris kuasa.
Dalam prespektif konstitusi kuasa negara melalui kekerasan lebih tepat pada situasi ancaman kedaulatan. Sedangkan pada kasus Rempang tidak memenuhi unsur ancaman kedaulatan. Apalagi jika menyandarkan pada Paragraf IV Pembukaan UUD NKRI 1945 bahwa membentuk pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Tindakan kekerasan aparat keamanan menjadi potret hilangnya tugas negara melakukan perlindungan. Terlebih tidak ada unsur yang cukup kuat untuk menafsirkan perlawanan itu sebagai perlawanan kedaulatan. Hal yang justru harusnya dilakukan pada wilayah Indonesia lain yang secara terang benderang melawan kedaulatan.
Lebih detail pula Pasal 1, ayat (2) menjadi penguat bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan sesuai UUD. Suatu kalimat yang menempatkan rakyat sebagai posisi tertinggi. Harusnya diperlakukan selayaknya posisi tertinggi.
Suasana itu semakin menyakitkan ketika kuasa negara itu melibatkan anggota TNI. Semakin menunjukkan rakyat seolah-olah musuh negara. Sekelompok manusia yang harus diperangi. Semua uraian itu sebagai gambaran relasi kuasa asimetris.

Semakin Urgensi Pembatasan Kuasa Presiden

Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: HASIHOLAN SIAHAAN/Shutterstock
Tidak dimungkiri kisruh pembangunan Rempang Eco City dan sejumlah proyek strategis nasional (PSN) itu berpangkal pada Peraturan Presiden (Perpres) yang terlalu lepas kendali. Sejak digelontorkan tahun 2016, PSN berpegang pada empat Perpres dan empat Permen Koordinasi Bidang Perekonomian.
ADVERTISEMENT
Perubahan Perpres dan Permen Koordinasi Bid Perekonomian yang dibilang terlalu cepat, menjadi indikasi penetapan jenis proyek atau program tidak memiliki basis argumentasi memadai. Sekaligus membuka celah negosiasi kewenangan pengambil kebijakan yang tidak terkontrol.
Dari sisi historis, peraturan yang menjadi payung PSN telah dirintis sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tertuang dalam Peraturan Presiden No 75/2014 tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas. Regulasi ini terbit di akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Rekam jejak tersebut dilanjutkan Presiden Joko Widodo yang menelurkan rentetan perubahan Perpres sebagai payung hukum PSN. Perubahan materi Perpres lebih dominan pada penambahan dan pengurangan proyek atau program.
Tentu saja Perpres sebagai executive act bisa dipahami sebagai kewenangan yang sah. Namun Perpres yang ditelurkan dalam konteks nirdata dan miskin pengawasan, menjadi peluang berbagai penyimpangan. Setidaknya ruang ketidakseimbangan dalam kebijakan. Sangat mungkin Perpres itu berpihak pada kepentingan pemodal, investor dan lainnya yang dikemas dalam paket PSN.
ADVERTISEMENT
Gagasan penyusunan UU Kepresidenan dapat menjadi jalan keluar. Mengadang setidaknya mengeliminir kewenangan Presiden yang tidak terkendali. Khususnya dalam penetapan program dan proyek strategis nasional.
Sudah barang tentu UU Kepresidenan bukan usulan baru. Sejak tahun 2001 telah dirintis gagasan ini. Dalam berbagai kesempatan pun sempat mencuat. Pakar ilmu pemerintahan, Prof. Djoehermansyan Djohan pun lugas menjelaskan dalam berbagai tulisan.
Harapannya tidak ada lagi sumber kekacauan yang diproduksi pemerintah. Namun lebih memberikan solusi dan pengayom bagi masyarakat. Itulah yang pesan pada kutipan di atas.