Konten dari Pengguna

Dampak Penggunaan Plastik bagi Perubahan Iklim

Rendy Artha Luvian
Saat ini menjalani keseharian sebagai mahasiswa Pascasarjana DTC HI Fakultas Fisipol UGM. Seorang penulis yang mencurahkan ide, gagasan, dan pemikirannya melalui tinta. Bekerja sebagai staf di Subbid Produksi Informasi Iklim & Kualitas Udara - BMKG.
26 Januari 2023 9:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rendy Artha Luvian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi sampah plastik Foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi sampah plastik Foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
Plastik pada awalnya memberikan kemudahan dalam seluk beluk kehidupan manusia. Sejak pertama kali dikembangkan pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19, plastik sintetik yang berarti tidak mengandung molekul yang ditemukan di alam, amat diminati.
ADVERTISEMENT
Mulai dari barang-barang keperluan sehari-hari, peralatan makan, mainan anak, hingga sekadar pembungkus makanan dan barang belanjaan.
Hal yang tak berubah hingga kini di mana pada tahun 2020 manusia memproduksi 900 persen lebih banyak produk plastik dibandingkan pada tahun 1980.
Plastik yang memberikan begitu banyak jenis produk bernilai lebih murah ternyata berdampak cukup signifikan bagi semakin buruknya kondisi alam.
com-Ilustrasi Sampah Plastik Foto: Shutterstock
Selain waktu urainya yang lama ketika tertimbun di dalam tanah, plastik ternyata juga ikut bertanggungjawab atas 1,8 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca pada 2019 (menurut OECD-Organization for Economic Cooperation and Development).
Angka itu berarti 3,4% dari total emisi gas rumah kaca global, lebih besar dari persentase CO2 yang telah disumbangkan oleh sektor penerbangan maupun emisi dari seluruh kegiatan penanaman padi di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Cukup besar memang memang ‘sumbangsih’ plastik terhadap memburuknya kondisi iklim global, bahkan para peneliti memproyeksikan bahwa emisi dari plastik akan melebihi 2,5 miliar metrik ton pada tahun 2050 jika laju pertumbuhan dan cara produksi saat ini terus berlanjut.
Menurut CIEL (Center for International Environmental Law) sekitar 99 persen plastik yang kita gunakan saat ini terbuat dari bahan bakar fosil seperti minyak, gas, atau batu bara.
com-Ilustrasi Sampah Plastik Foto: Shutterstock
Oleh karena itu, produksi plastik sangat terkait dengan rantai pasokan bahan bakar fosil. Banyak perusahaan bahan bakar fosil memiliki, mengoperasikan, atau berinvestasi dalam infrastruktur produksi plastik.
Padahal bahan plastik juga dapat diproduksi dari sumber terbarukan seperti serat kayu atau alga, namun industri ini hanya mewakili sebagian kecil dari produksi plastik global.
ADVERTISEMENT
Dari semua sampah plastik yang dihasilkan dalam skala global, para ilmuwan memperkirakan kurang dari 10 persen yang didaur ulang. Sekitar 79 persen sampah plastik berakhir di tempat pembuangan akhir atau di alam dan sekitar 12 persennya dibakar.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan terutama pada pembuangan sampah terbuka (open dumping) di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yakni gas metana (CH4).
com-Ilustrasi sampah botol plastik Foto: Shutterstock
Sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik, proses inilah yang menghasilkan metana. Sedangkan sampah yang dibakar akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2).
Gas metana memiliki potensi merusak 20 kali lebih besar dibandingkan dengan gas karbondiokasida. Jika dihitung secara kasar dalam 1 ton sampah padat akan dihasilkan 50 kg gas metana.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan kondisi di dalam negeri sendiri?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut total sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 15,6 persen, atau sekitar 10,6 juta ton, disumbang oleh sampah plastik.
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
Cukup luar biasa memang peran plastik ini dalam memperparah perubahan iklim. Oleh karena itu tak heran apabila upaya-upaya serius untuk mengurangi penggunaan plastik selalu digaungkan. Contohnya cara berbelanja diatur di kota-kota besar tertentu supaya selalu menggunakan tas belanja ramah lingkungan dan menghindari penggunaan plastik sekali pakai.
Namun demikian, masih diperlukan tindakan nyata yang lebih dari masing-masing individu. Tak perlu rumit, hal sederhana namun bersifat massif dapat mengubah kondisi alam, seperti memilah sampah untuk daur ulang, memakai peralatan makan yang dapat digunakan berulang kali, hingga mengkreasikan plastik agar tak hanya menjadi onggokan sampah yang berbahaya.
ADVERTISEMENT