Konten dari Pengguna

Perubahan Iklim dan Semakin Parahnya Penyakit pada Manusia

Rendy Artha Luvian
Saat ini menjalani keseharian sebagai mahasiswa Pascasarjana DTC HI Fakultas Fisipol UGM. Seorang penulis yang mencurahkan ide, gagasan, dan pemikirannya melalui tinta. Bekerja sebagai staf di Subbid Produksi Informasi Iklim & Kualitas Udara - BMKG.
4 Februari 2023 20:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rendy Artha Luvian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster bertuliskan 'Keadlian iklim untuk semua' dalam aksi protes perubahan iklim di Jakarta, Jumat (25/3/2022). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Poster bertuliskan 'Keadlian iklim untuk semua' dalam aksi protes perubahan iklim di Jakarta, Jumat (25/3/2022). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
ADVERTISEMENT
Gas Rumah Kaca atau GRK terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal yang juga mengakibatkan bertambahnya suhu bumi. Naiknya level karbondioksida pada periode tahun 2021 hingga 2022 bahkan lebih besar daripada kenaikan rata-rata tahunannya selama sepuluh tahun ke belakang. Karbondioksida sendiri naik di angka 150 persen dibandingkan dengan era sebelum industri dimulai di mana aktivitas manusia terutama yang berhubungan dengan bahan bakar fosil merusak keseimbangan gas-gas yang berada di atmosfer. Kenaikan suhu ini tentunya juga akan berpengaruh banyak terhadap kondisi perubahan iklim beserta dampak-dampaknya yang kian hari akan terasa kian berat.
ADVERTISEMENT
Secara lebih sederhananya sering kita jumpai mereka yang meriang atau sekadar terkena flu ketika pergantian musim tiba. Waktu-waktu pancaroba acap memberikan pengaruh bagi manusia, apalagi yang memiliki daya tahan tubuh lemah. Pasti banyak di antara kita yang memiliki pengalaman sakit di kala masa peralihan iklim tiba. Cuaca yang biasanya panas kemudian tiba-tiba mendingin memberikan efek tersendiri bagi tubuh. Mereka yang tak bisa cepat beradaptasi dan sistem imunnya sedang lemah pastilah terkena dampaknya. Itu baru secara langsung, bagaimana dengan efek tak langsung yang disebabkan karena ketidakstabilan kondisi iklim?
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim membuat 58 persen penyakit menular semakin bertambah parah. Para peneliti melihat melalui literatur medis dari berbagai kasus penyakit yang sudah ada dan menemukan bahwa 218 dari 375 penyakit menular yang telah diketahui, atau sekitar 58 persen, diperparah oleh salah satu dari 10 jenis cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim. Penelitian ini sendiri dipublikasikan oleh jurnal Nature Climate Change.
ADVERTISEMENT
Dampak kejadian iklim ekstrem seperti banjir, gelombang panas, dan kekeringan telah memperburuk lebih dari setengah penyakit menular pada manusia, termasuk di antaranya malaria, hantavirus, kolera, dan antraks.
Potret udara menunjukkan kawasan hutan hujan Amazonia yang gundul di Labrea, negara bagian Amazonas, Brasil, pada 15 September 2021. Foto: MAURO PIMENTEL/AFP
Kondisi di Indonesia sangat mendukung hasil penelitian di atas. Naiknya kasus yang diakibatkan gigitan nyamuk misalnya hampir selalu menunjukkan kenaikan di saat musim hujan tiba. Udara yang semakin menghangat akibat efek pemanasan global akan memperpanjang usia nyamuk-nyamuk yang membawa bakteri dan virus. Peningkatan suhu juga akan mempercepat proses perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Hal ini tentunya akan berpotensi menambah jumlah kasus demam berdarah dan malaria di Indonesia. Secara khusus Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika juga telah mengeluarkan peringatan dini demam berdarah meskipun masih di wilayah Jakarta saja.
ADVERTISEMENT
Demikian pula pada musim kemarau yang berkepanjangan. Kondisi ini sangat baik bagi perkembangan bakteri, virus, jamur dan parasit karena kelembaban udara pada musim kemarau cukup tinggi. Berbagai jenis mikroorganisme tersebut dapat tumbuh sangat subur dan bertahan hidup lebih lama.
Keadaan ini menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan bakteri dan udara semakin banyak terjadi seperti penyakit kulit akibat jamur. Selain itu, udara yang hangat adalah pertanda bagi bunga untuk melakukan penyerbukan. Umumnya, orang alergi dengan benda-benda kecil seperti serbuk bunga, debu, dan asap yang sering muncul di musim kemarau sehingga menyebabkan peningkatan penyakit akibat alergi.
Dahulu sewaktu kita masih kecil mungkin hanya flu saja yang menyerang tubuh, namun dengan semakin tak menentunya kondisi iklim di Indonesia, penyakit-penyakit yang umumnya muncul di masa-masa pergantian musim menjadi bertambah buruk. Hal tersebut dapat dilihat baik dari segi jumlah maupun tingkat keparahan penyakitnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim yang kian tahun kian menjadi ternyata berpengaruh terhadap kesehatan manusianya. Padahal seharusnya manusia bisa menjaga alam dari hal-hal yang merusak sehingga sebagai timbal balik alam juga akan menjaga manusia yang hidup di dalamnya.