Piala Dunia 2022 dan HAM: Kegagalan Qatar dalam Memenuhi Hak Buruh Migran

Radhite Satria Tegar Wicaksono
Mahasiswa aktif Hubungan Internasional UGM
Konten dari Pengguna
23 Februari 2024 18:52 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Radhite Satria Tegar Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Markus Spiske on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Markus Spiske on Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepak bola merupakan olahraga yang memiliki popularitas paling tinggi di dunia. Hal tersebut yang membuat Piala Dunia Qatar 2022 menjadi salah satu acara akbar yang paling ditunggu oleh berbagai masyarakat. Terlebih lagi, pendapatan yang diperoleh dari acara tersebut sangat menguntungkan bagi berbagai pihak, terutama dalam hal finansial dan eksposur. Selama perhelatan Piala Dunia 2022 diperkirakan bahwa FIFA selaku federasi olahraga yang menaungi sepak bola memperoleh keuntungan sebesar 7,5 miliar USD dari kerja sama komersial selama empat tahun (Shafi, 2022). Qatar juga mendapatkan keuntungan pembangunan berbagai infrastruktur, sektor pariwisata yang semakin meningkat dan dampak positif bagi sektor olahraga Qatar. Akan tetapi, dalam acara yang megah dan mewah tersebut terdapat noda hitam yang ditinggalkan karena selama proses pembangunan berbagai konstruksi penunjang keberlangsungan Piala Dunia 2022 banyak terjadi pelanggaran HAM kepada buruh migran. Berbagai bentuk pelanggaran yang tidak memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi buruh migran.
ADVERTISEMENT

Ekploitasi Sistem Kafala

Qatar ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 sejak tahun 2010 oleh Sepp Blatter selaku ketua FIFA saat itu dengan mengalahkan Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Akan tetapi, sejak awal penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah telah menimbulkan berbagai kontroversial karena adanya dugaan suap yang dilakukan oleh Qatar kepada beberapa voters untuk mendukung Qatar (Foxman, 2022). Hal tersebut yang kemudian menjadi permulaan terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Qatar bersamaan dengan berbagai isu kontroversi lainnya seperti korupsi. Pelanggaran HAM yang terjadi di Qatar tidak terjadi tanpa alasan melihat bagaimana sejarah perilaku Qatar terhadap buruh migran dan terdapat sebuah sistem yang membuat eksploitasi yang dilakukan kepada buruh migran dapat bertahan tanpa penolakan. Sejarah pelanggaran HAM buruh migran di Qatar dipengaruhi oleh sistem kafala. Sistem kafala adalah sebuah sistem manajemen buruh migran yang dilaksanakan di kawasan Teluk sejak tahun 1950 dengan mengharuskan buruh migran terikat kontrak dengan sponsor seperti warga biasa, perusahaan, dan kementerian sebagai yang bertanggung jawab atas berbagai izin tinggal mereka (Malaeb, 2015). Dalam sistem tersebut pihak sponsor diberikan izin oleh pemerintah untuk mendatangkan pekerja asing sehingga secara tidak langsung mengikat pekerja migran dengan pihak sponsor dan membuat hidup mereka bergantung pada belas kasihan pada sponsor. Hal tersebut menimbulkan potensi untuk terjadinya eksploitasi terhadap buruh migran dan dianggap sebagai bentuk perbudakan modern karena tingginya ketergantungan buruh migran terhadap sponsor untuk bertahan di pekerjaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sistem kafala menciptakan berbagai bentuk eksploitasi yang mengarah kepada pelanggaran HAM. Dalam sistem kafala, buruh migran dilarang untuk membentuk serikat buruh sebagai tempat melindungi kesejahteraan pekerja dengan meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja di tempat kerja (Haar, 2018). Selain itu, paspor milik buruh migran ditahan oleh sponsor sehingga membuat mereka tidak dapat meninggalkan pekerjaan dan sponsor tanpa izin karena ada risiko penjara. Selama proses pembangunan juga menimbulkan jumlah korban dari kecelakaan kerja yang tidak sedikit. Seperti yang dilaporkan Pattisson and McIntyre (2021) dalam The Guardian diperkirakan hingga tahun 2021terdapat lebih dari 6.500 buruh migran dari sekitar 30.000 buruh yang dipekerjakan telah meninggal sejak penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah dan jumlah tersebut hanya yang dapat diungkapkan oleh The Guardian. Mayoritas korban berasal dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka. Tingginya angka kematian tersebut dipengaruhi oleh buruknya pemerhatian Qatar terhadap sarana dan prasarana keselamatan dan kesehatan kerja yang membuat lingkungan kerja buruk. Terlebih lagi, pihak Qatar menganggap kematian tersebut disebabkan oleh faktor kecelakaan kerja meskipun pada realitanya banyak dialami oleh pekerja muda. Kamp pekerja mereka juga masih ereada dikondisi yang buruk meskipun pada tahun 2017 pemerintah Qatar telah berjanji untuk memperbaiki kondisi kamp, melindungi pekerja dari cuaca panas Qatar, dan membatasi jam kerja (BBC, 2022). Akan tetapi, tidak terlaksanakan dengan baik. Dalam kamp mereka, buruh migran secara ilegal harus berbagi kamarnya bersama enam orang dan makanan yang disediakan dalam kondisi yang sangat buruk.
ADVERTISEMENT

Pelanggaran HAM Buruh Migran di Qatar

Membahas mengenai jam kerja buruh di Qatar, mereka dipekerjakan dengan jam kerja yang ekstrim yaitu hingga 20 jam sehari dan mereka bekerja dengan cuaca panas mencapai 50 derajat celcius selama berjam-jam yang dalam pekerjaan konstruksi dianggap berbahaya (Ewers et al., 2020). Selain itu, upah mereka juga tidak dibayarkan dengan layak. Para buruh migran dibayar dengan upah minimum, tidak penuh, dan bahkan tidak dibayarkan. Dalam Holmes (2020) disebutkan bahwa pada tahun 2021 buruh migran masih mengalami pemotongan upah yang dianggap sebagai bentuk hukuman dan dilakukan secara ilegal serta terdapat dari mereka yang upahnya tidak dibayarkan selama berbulan-bulan meskipun selalu bekerja selama berjam-jam. Pandemi Covid-19 semakin meningkatkan pelanggaran terkait upah mereka. Kegagalan membayar upah oleh perusahaan karena perusahaan-perusahaan konstruksi di Qatar sedang di ambang kehancuran karena pemerintah sebagai klien mereka telah mengering (Pattisson & Ames, 2023).
ADVERTISEMENT
Permasalahan lain dari gaji mereka yang tidak dibayar adalah mereka harus membayar biaya agar bisa bekerja sebagai buruh di Qatar sehingga membuat mereka terjebak utang. Dilaporkan oleh Human Rights Watch (2022) bahwa banyak buruh migran yang harus membayar secara ilegal dan mahal biaya rekrutmen agar mereka dapat bekerja sebagai buruh selama proyek Piala Dunia 2022 di Qatar. Seperti dalam kasus Paul, seorang pengemudi pengiriman makan dari Kenya, yang harus berhutang hingga 1.800 USD kepada agen dan Paul juga harus membayar untuk kursus lisensi dan telepon menerima pesanan selama dua bulan. Selama waktu tersebut membuat Paul tidak menghasilkan apapun dan setelah ia memperoleh upah juga tidak membuat sejahtera karena harus memikir biaya hidup di Qatar. Pembayaran tersebut mereka lakukan kepada agen dari negara mereka yang mengirim mereka kepada sponsor di sana sehingga harus berhutang agar menutupi biaya yang dibutuhkan. Para buruh migran juga dibayang-bayangi oleh potensi untuk dipulangkan ke negara asal mereka. Hal tersebut dapat terjadi karena keberadaaan mata-mata dimanfaatkan oleh sponsor atau perusahaan mereka untuk menyingkirkan karyawan yang menimbulkan keributan dengan memutus kontrak dan memulangkan mereka sehingga membuat mereka takut untuk mengungkapkan kondisi di dalam (Pattisson, 2022). Pemulangan paksa tersebut yang akhirnya membuat buruh migran terjebak dengan utang.
ADVERTISEMENT

Sistem Kafala dan Keberlanjutan Pelanggaran HAM

Secara keseluruhan, faktor kuat yang mempengaruhi kegagalan Qatar dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi selama proyek Piala Dunia adalah eksistensi sistem kafala. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sistem kafala menghasilkan eksploitasi terhadap buruh migran dengan berbagai tindakan yang merugikan. Terlebih lagi, dari sisi pemerintah Qatar tidak melakukan tindakan yang signifikan untuk mengatasinya. Sistem kafala telah tertanam dengan kuat dalam negara-negara anggota GCC termasuk Qatar-sehingga membuat Qatar juga ikut menerapkan sistem ini sejak lama. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kafala adalah bentuk perbudakan yang telah dilarang oleh konvensi internasional karena prinsip dasar dari sistem ini mencabut hak-hak hidup dasar para pekerja asing dan telah melanggar ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Malaeb, 2015). ILO sebagai organisasi dibawah naungan PBB langsung bahkan mengancam akan memberikan Qatar hukuman yang keras jika tidak segera menanggapi kritik terhadap implementasi sistem kafala dengan meyakinkan saat kedua belah pihak bertemu pada November 2017 (Dorsey, 2017). Dalam perkembangan implementasi sistem kafala, terdapat beberapa reformasi yang dilakukan oleh Qatar dengan mengakhiri penggunaan surat tidak keberatan untuk mengubah sponsor sekaligus membentuk sistem setoran langsung wajib untuk upah dan secara tegas menghapus sistem kafala sebelum Piala Dunia 2022 (Ewers et al., 2020). Akan tetapi, tidak ada parameter yang jelas untuk menentukan dampak dari reformasi sistem kafala dengan menghapus elemen-elemen tertentu dari sistem kafala dibandingkan tujuan kafala. Terlebih lagi, otoritas Qatar terhitung terlambat untuk mereformasi sistem ketenagakerjaan mereka dan dianggap terlalu lemah agar bisa diimplementasikan kepada banyak pekerja (Holmes, 2020).
ADVERTISEMENT

Klaim HAM Buruh Migran di Qatar

Setelah melihat bahwa sistem kafala menjadi faktor utama yang menyebabkan pelanggaran HAM di Qatar terus berlangsung, terdapat beberapa upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk memperjuangkan hak buruh migran. Dari pihak buruh sendiri sulit untuk melakukan protes karena selama bertahun-tahun bekerja terdapat mata-mata diantara mereka untuk melaporkan kepada pihak sponsor jika mereka berulah sehingga mereka ketakutan akan dideportasi oleh Qatar. Ketakutan buruh migran akhirnya terjadi saat Qatar akhirnya melakukan deportasi kepada buruh yang protes upah mereka. Berdasarkan Thomas (2022) dalam BBC bahwa para pekerja migran yang melakukan protes di Doha ditahan karena dianggap melanggar undang-undang keamanan publik dan bagi yang gagal untuk tetap damai dideportasi oleh Qatar. Hal tersebut kemudian menimbulkan dilema bagi para buruh migran karena jika mereka melakukan tindakan itu maka tidak dapat membayar utang dari biaya masuk mereka dan pupus harapan mereka untuk memperoleh uang yang banyak dari proyek ini. Akan tetapi, bentuk protes tersebut meningkatkan kepekaan dunia terhadap isu pelanggaran HAM di Qatar sehingga dapat memperjuangkan hak mereka ditambah berbagai bentuk kecaman yang diarahkan ke Qatar selama 10 tahun belakangan.
ADVERTISEMENT
Aktivis dari berbagai organisasi-organisasi kemanusian berperan penting untuk membuka penderitaan yang dialami oleh buruh imigran sehingga Qatar yang awalnya menolak untuk mengakui beberapa pelanggaran yang terjadi menjadi mengakui pelanggaran yang terjadi (Al Thani, 2022). Pelanggaran yang terjadi pada akhirnya ditangani dengan cara lebih akomodatif seperti Qatar yang melakukan penggantian biaya masuk buruh migran, menghukum pemimpin perusahaan yang melakukan eksploitasi, dan berjanji untuk memastikan upah mereka terbayarkan sepenuhnya dengan membentuk Qatar’s Supreme Committee. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa upaya protes dari buruh migran dan pihak lainnya memberikan perubahan yang signifikan sehingga hak-hak mereka akhirnya didengar oleh Qatar. Akan tetapi, pelanggaran HAM yang terjadi tidak sepenuhnya diselesaikan seperti masalah tentang alasan buruh migran yang meninggal saat bekerja. Berdasarkan Pattisson and Ames (2023) dalam The Guardian disebutkan bahwa banyak dari keluarga korban yang tidak mendapatkan kepastian mengapa anggota keluarga mereka dapat meninggal di Qatar dan ditambah anggapan bahwa kematian yang terjadi secara alami membuat perusahaan-perusahaan tidak perlu membayar kompensasi menurut aturan Qatar. Faktor tersebut yang kemudian membuat keluarga para buruh migran ditinggalkan tanpa adanya kompensasi. Selain itu, penggantian biaya masuk ilegal para buruh migran juga tidak dibayarkan sepenuhnya sehingga masih menjadi masalah.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Qatar dapat dikatakan gagal untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi meskipun selama perhelatan Piala Dunia 2022 dapat dikatakan berjalan dengan lancar dan sukses. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Qatar seperti reformasi sistem kafala juga tidak mampu berdampak signifikan untuk menemui titik akhir dari permasalahan ini meskipun mereka telah menghukum beberapa pimpinan perusahaan yang salah. Selain itu, janji-janji yang diberikan pemerintah Qatar tidak dapat direalisasikan secara maksimal sehingga masih timbul ketimpangan. Terlebih lagi, terdapat banyak fakta yang ditutupi agar pelaksanaan Piala Dunia 2022 terlihat megah dan mewah. Oleh karena itu, FIFA sebagai induk organisasi sepak bola sekaligus penyelenggara utama Piala Dunia 2022 harus bertindak dengan memberikan dampak yang signifikan agar di masa depan tidak terulang kembali. Meskipun FIFA juga telah mengecam sekaligus menjalin kerja sama dengan Qatar untuk menyelesaikan masalah ini, namun hal tersebut masih belum cukup karena hingga acara tersebut berakhir masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
ADVERTISEMENT

Referensi

Al Thani, M. (2022). Channelling Soft Power: The Qatar 2022 World Cup, Migrant Workers, and International Image. The International Journal of the History of Sport, 38(17), 1–24. https://doi.org/10.1080/09523367.2021.1988932
BBC. (2022, November 9). World Cup 2022: How has Qatar treated stadium workers? BBC News. https://www.bbc.com/news/world-60867042
Dorsey, J. M. (2017). Qatar: A Model of Social Change? Begin-Sadat Center for Strategic Studies. https://www.jstor.org/stable/resrep16919
Ewers, M. C., Diop, A., Le, K. T., & Bader, L. (2020). Migrant Worker Well-Being and Its Determinants: The Case of Qatar. Social Indicators Research, 152(1), 137–163. https://doi.org/10.1007/s11205-020-02427-3
Foxman, S. (2022, November 17). Analysis | Why Qatar Is a Controversial Venue for 2022 World Cup. Washington Post. https://www.washingtonpost.com/business/why-qatar-is-a-controversial-venue-for-2022-world-cup/2022/11/17/e710eaba-6680-11ed-b08c-3ce222607059_story.html
ADVERTISEMENT
Haar, B. ter. (2018). FIFA, Qatar, Kafala: Can the World Cup Create a Better World of Work? International Labor Rights Case Law, 4(1), 128–132. https://doi.org/10.1163/24056901-00401019
Holmes, J. (2020, August 24). “How Can We Work without Wages?” Human Rights Watch. https://www.hrw.org/report/2020/08/24/how-can-we-work-without-wages/salary-abuses-facing-migrant-workers-ahead-qatars
Human Rights Watch. (2022, October 20). Qatar/FIFA: Reimburse Migrant Workers’ Recruitment Fees. Human Rights Watch. https://www.hrw.org/news/2022/10/20/qatar/fifa-reimburse-migrant-workers-recruitment-fees
Malaeb, H. N. (2015). The “Kafala” System and Human Rights: Time for a Decision. Arab Law Quarterly, 29(4), 307–342. https://www.jstor.org/stable/24811144
Millward, P. (2016). World Cup 2022 and Qatar’s construction projects: Relational power in networks and relational responsibilities to migrant workers. Current Sociology, 65(5), 756–776. https://doi.org/10.1177/0011392116645382
Pattisson, P. (2022, September 23). What do Qatar’s World Cup workers now fear most? Being sent home | Pete Pattisson. The Guardian. https://www.theguardian.com/global-development/commentisfree/2022/sep/23/qatar-world-cup-migrant-workers-fear-being-sent-home-most
ADVERTISEMENT