Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lelucon yang Tak Lucu tentang Perempuan Saat Pandemi
29 Mei 2020 11:23 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Radius Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah obrolan dengan teman perempuan di kantor, dia bercerita bagaimana harus tetap bekerja di luar rumah tetapi juga harus berperan penuh atas aktivitas domestik di rumah. Work From Home (WFH) justru lebih banyak memposisikan perempuan dalam kondisi yang berat.
ADVERTISEMENT
Sebuah kondisi dimana banyak aktivitas-aktivitas yang baru yang harus dibebankan kepada perempuan. Ketika aktivitas belajar anak pindah ke rumah, ketika harus memasak sendiri karena khawatir atas kondisi di luar, ketika aktivitas di rumah yang padat sehingga membuat rumah makin sering kotor dan berbagai aktivitas baru lainnya. Hampir semua aktivitas baru tersebut lebih banyak dibebankan pada perempuan.
Selain itu, perempuan juga kerapkali mengalami tindakan kekerasan dan diskriminatif. Berdasarkan data SIMFONI PPA yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 2 Maret-25 April 2020, tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban 277 orang, serta 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban 407 anak.
Kondisi di atas ternyata tidak berhenti disitu. Sudah jatuh tertimpa tangga. Hal tersebut adalah gambaran yang dialami oleh perempuan di masa pandemi. Di tengah kondisi krisis begini, masih ada saja ungkapan yang cenderung mengarah pada kekerasan simbolik. Sebuah lelucon sexis, misoginis dan tidak peka pada kondisi. Sialnya lagi, beberapa hal tersebut diungkapkan oleh pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Lelucon yang tidak Lucu
Selama pandemi ini tercatat beberapa lelucon yang kerapkali muncul ke publik. Beberapa ungkapan yang mungkin dianggap lelucon padahal punya implikasi yang cenderung merendahkan bahkan diskriminatif. Beberapa contoh di bawah ini memberi gambaran atas kondisi tersebut.
Di bulan awal penyebaran covid-19, viral sebuah pernyataan yang dianggap lelucon, yakni “corona negatif istri positif”. Saya tidak tahu dari mana asal ungkapan tersebut, tetapi kalau mau jujur narasi tersebut seolah-olah menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas seksual ketika berada di rumah. Otoritas tubuh perempuan menjadi sangat dikontrol oleh laki-laki.
Ketika perempuan mempunyai rahim. Hal tersebut serta-merta dipahami bahwa bahwa tugas perawatan atas anak menempel padanya seperti halnya rahim yang digunakan untuk melahirkan dan payudara yang digunakan untuk menyusui.
ADVERTISEMENT
Dua bagian vital tersebut dimaknai mempunyai fungsi dan peran sosial yang diterjemahkan secara tidak proporsional. Sehingga tidak heran sebagian kita kerapkali bersikap tidak adil atas hal tersebut. Bisa jadi dalam kondisi pandemi yang meneror begini, perempuan memiliki keinginan untuk istirahat atau menghentikan proses reproduksi dan hal tersebut memang relevan dan masuk akal.
Lelucon tentang janda adalah cerita lain dari Anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP saat mengikuti rapat penanganan virus corona. Dengan nada santai, Ribka berbicara soal singkatan 'korona' yakni “komunitas rondo mempesona” . Hal itu disampaikan Ribka saat rapat kerja (raker) bersama dengan Menkes Terawan Agus Putranto di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2020).
Janda adalah posisi yang kurang menguntungkan secara psikologis, biologis dan sosiologis. Kondisi tersebut malah tidak membuatnya mendapat empati tetapi cenderung mendapatkan stigma yang tidak mengenakkan.
ADVERTISEMENT
Di sebagian masyarakat, janda kerapkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, penggoda lelaki orang, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih sehingga dalam kondisi sosial budaya seringkali terdapat ketidakadilan. Jadi membuat lelucon janda di tengah pandemi begini menegaskan akan hilangnya rasa empati. Baik terhadap perempuan maupun pada kemanusiaan.
Yang terbaru, lelucon datang dari Mahfud MD, salah seorang menteri kordinator yang membawahi hukum dan HAM yang mendapat kiriman meme dari menteri kordinator juga, yakni Luhut Binsar Panjaitan. Meme berbahasa Inggris berjudul "Corona is like your wife". "Corona itu seperti istrimu,". "Ketika kamu mau mengawini, kamu berpikir kamu bisa menaklukkan dia. Tapi sesudah menjadi istrimu, kamu tidak bisa menaklukkan istrimu. Sesudah itu, you learn to live with it. Ya sudah, sudah begitu." Pernyataan ironis tersebut sudah mendapat banyak kecaman.
ADVERTISEMENT
Menyamakan corona dengan istri adalah cara berpikir menindas dan misoginis. Sebuah ungkapan yang secara tidak langsung menyalahkan perempuan. Dalam konteks yang lain, perempuan memang selalu di-alam-kan dan diasosiasikan dengan binatang, seperti: ayam, kucing, ular bahkan virus.
Kata-kata yang dipakai di atas jelas menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam. Misalnya, tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, hutan yang diperkosa, binatang buas yang ditaklukkan dan lain-Iain.
Secara sadar ada keinginan untuk menaklukkan perempuan. Jadi rasanya tidak mengada-ada bila perempuan dan alam mempunyai kesamaan secara simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia yang berciri maskulin.
Ucapan Mahfud ini menyiratkan stereotip bahwa perempuan sudah sepatutnya ditaklukkan dan mungkin juga akan diarahkan pada pekerjaan-pekerjaan domestik. Perempuan secara tidak sadar diidealkan oleh otak maskulin agar lebih pasif atau submisif.
ADVERTISEMENT
Lelucon tersebut terasa aneh ketika keluar dari seorang menteri yang paham betul tentang HAM. Tetapi lelucon tersebut menurut ceritanya dikirim oleh seorang menteri yang banyak fokus menangani sumber daya alam. Jadi, apakah hal tersebut wajar? Tetap saja tidak wajar dan justru semakin menegaskan bahwa nasib perempuan dalam pikiran sang menteri akan tidak jauh dengan nasib alam di Indonesia.
Bahayanya lelucon Sexis dan Misoginis
Bagaimana mungkin lelucon yang tujuannya menghibur dan untuk menghilangkan stres malah mempunyai dampak yang berbahaya.
Lelucon adalah sesuatu hal yang menyehatkan tetapi tidak semuanya. Lelucon sexis dan misoginis adalah contohnya. Mengapa kita harus menghindari dan bahkan melawan model lelucon begini?
Ketika kita membiarkan lelucon model di atas akan ada kecenderungan menganggap hal tersebut lumrah dan lazim. Secara tidak langsung kita mendukung budaya kekerasan verbal. Dalam konteks ini perempuan diposisikan sebagai objek atas lelucon yang sensual yang mendiskrimasi dan menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian dari Western California University menunjukkan bahwa orang yang kerap terpapar humor seksis dapat menyebabkan orang tersebut menoleransi perilaku memusuhi dan mendiksriminasi perempuan.
Paparan humor seksis pada diri seseorang juga akan berpengaruh pada perilaku orang tersebut. Bukan hanya itu, dalam penelitian yang sama juga ditemukan bahwa orang-orang yang terpapar gambar dan humor seksis juga cenderung setuju dengan kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan.
Dalam penelitian yang lain, Julie A. Woodzicka dan Thomas E. Ford pada 2010 menjelaskan lelucon seksis itu justru melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dan mendorong perilaku seksis di kalangan pria. Padahal, ketika perempuan menjadi target guyonan, mereka justru memperoleh efek emosional yang merugikan, contohnya rasa jijik, marah, dan merasa dirinya dipermalukan.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begitu? Masih mau bermain-main dengan lelucon sexis?