Konten dari Pengguna

Politik Digital di Era Muda: Masyarakat Bergerak, Demokrasi Bertransformasi

Rafifah Mainayah
Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
3 Mei 2025 9:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafifah Mainayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Generasi muda kini menjadi penggerak utama dalam politik digital, mengubah cara berpartisipasi dan membentuk demokrasi lewat kecakapan dan keberanian di ruang digital. ( sumber foto : freepik.com )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Generasi muda kini menjadi penggerak utama dalam politik digital, mengubah cara berpartisipasi dan membentuk demokrasi lewat kecakapan dan keberanian di ruang digital. ( sumber foto : freepik.com )
ADVERTISEMENT
Ketika dunia bertransformasi menjadi ruang digital, politik tidak lagi hanya bersemayam di gedung parlemen, mimbar kampanye, atau layar televisi. Ia merembes masuk ke dalam genggaman kita, menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari yang mungkin tanpa sadar kita konsumsi dan sebarkan. Politik digital bukan sekadar saluran baru, melainkan lanskap baru tempat gagasan bersaing, persepsi dibentuk, dan kekuasaan dinegosiasikan.
ADVERTISEMENT
Di tengah pusaran ini, generasi muda tampil sebagai aktor yang tidak hanya adaptif, tapi juga progresif. Dengan kecakapan digital dan keberanian melawan narasi arus utama, mereka memaksa institusi-institusi politik untuk keluar dari zona nyaman dan merespons dinamika baru ini. Mereka bukan lagi sekadar objek dalam demokrasi, tetapi subjek yang menginisiasi perubahan, membentuk opini publik, dan menuntut partisipasi yang lebih otentik dan inklusif.
Transformasi demokrasi melalui digitalisasi menciptakan ekosistem baru di mana kekuasaan tidak lagi terpusat, melainkan menyebar ke jaringan-jaringan sosial yang dinamis dan tak terduga. Kini, suara masyarakat, terutama generasi muda, dapat menggelegar tanpa harus melewati proses birokratis yang berbelit. Petisi daring, kampanye tagar, dan viralitas unggahan menjadi bentuk baru dari advokasi politik yang masif, cepat, dan berdaya ledak tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, kekuatan ini datang dengan konsekuensi: disinformasi, polarisasi, dan manipulasi opini. Ketika algoritma platform lebih peduli pada interaksi ketimbang kebenaran, maka muncul tantangan etis dan struktural yang harus dihadapi. Generasi muda pun tidak hanya dituntut menjadi konsumen digital, tetapi juga produsen kesadaran kritis yang dapat menyaring, menganalisis, dan mengkontekstualisasikan setiap narasi yang beredar.
Politik digital bukan sekadar tentang teknologi, tetapi tentang budaya baru dalam berpartisipasi. Ini adalah perubahan paradigma yang menuntut redefinisi atas makna kewarganegaraan dan peran masyarakat dalam demokrasi. Generasi muda, dengan segala kompleksitas identitas dan pengalaman digitalnya, membangun cara baru dalam memperjuangkan nilai, hak, dan keadilan sosial. Mereka mengkritik elitisme, menolak politik transaksional, dan mengedepankan kejujuran naratif.
ADVERTISEMENT
Gerakan-gerakan seperti #ReformasiDikorupsi, #BlackLivesMatter, hingga kampanye lingkungan dan HAM di berbagai negara menunjukkan bahwa digital bukan sekadar medium, melainkan ruang hidup politik baru yang mampu menyatukan solidaritas lintas batas. Bahkan, bentuk kepemimpinan pun mulai mengalami dekonstruksi: dari sosok tunggal menjadi kolektif, dari pidato panjang menjadi konten singkat namun kuat, dari simbol ke substansi.
Namun, euforia digital ini tak boleh membuat kita abai terhadap ketimpangan akses dan literasi. Politik digital yang sejatinya demokratis bisa dengan cepat berubah menjadi eksklusif jika tidak ada distribusi yang merata atas infrastruktur teknologi dan pendidikan digital. Di banyak wilayah, masih terdapat kesenjangan digital yang lebar, membuat sebagian masyarakat terpinggirkan dari percakapan publik yang penting.
Di sisi lain, para elit politik yang paham algoritma bisa memanfaatkan celah ini untuk menciptakan ilusi partisipasi, padahal sesungguhnya mereka tengah memonopoli narasi. Di sinilah pentingnya literasi digital politik yang bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga filosofis mendidik masyarakat untuk bertanya, menggugat, dan memahami konteks kekuasaan di balik layar kaca mereka. Generasi muda pun harus mengambil peran sebagai jembatan: mereka yang memahami dunia digital sekaligus memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan yang tidak terdengar.
Ilustrasi : Demokrasi digital menuntut masyarakat sadar, kritis, dan bertanggung jawab dalam menggunakan pengaruhnya. ( sumber foto : freepik.com )
Masyarakat digital yang ideal adalah masyarakat yang sadar akan kekuatannya sekaligus tanggung jawabnya. Mereka tidak hanya menyukai konten, tetapi juga mengkritisi isi dan dampaknya. Demokrasi digital bukan tentang siapa yang paling viral, tetapi siapa yang paling mampu menjaga ruang publik tetap sehat, inklusif, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, transformasi demokrasi menjadi keniscayaan, bukan pilihan. Ini bukan hanya tentang perpindahan media, melainkan pergeseran paradigma dalam memandang kekuasaan, partisipasi, dan identitas politik. Politik digital mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejatinya adalah kemampuan untuk mempengaruhi, dan dalam dunia yang terhubung ini, pengaruh bukan lagi monopoli mereka yang berkuasa secara formal, tetapi milik siapa saja yang memiliki gagasan kuat, etika yang tajam, dan keberanian untuk berbicara.
Akhirnya, ketika generasi muda dan masyarakat bergerak secara sadar dalam ruang digital, demokrasi menemukan kembali jiwanya: sebagai kekuatan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan demokrasi yang digerakkan oleh algoritma kepentingan elit, tetapi demokrasi yang tumbuh dari kesadaran kolektif, dialog terbuka, dan semangat perubahan.
ADVERTISEMENT
Di sinilah kita sedang menyaksikan revolusi sunyi: tanpa suara senjata, tanpa benturan fisik, tapi mampu mengguncang fondasi kekuasaan lama. Inilah momen di mana klik menjadi simbol perlawanan, unggahan menjadi bentuk pernyataan politik, dan ruang digital menjadi medan perjuangan untuk masa depan yang lebih adil. Politik digital di era muda bukan sekadar tren, tapi sebuah panggilan zaman. Dan ketika masyarakat bergerak, tak ada yang bisa menghentikan transformasi demokrasi yang tengah berlangsung.