news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Periklanan di Era Disrupsi: Semakin Ingar-Bingar, Namun Minim Pemahaman

Rahma Kahayani Ihsan
A student continuously learns and earns - A Bachelor of Communication Science at Muhammadiyah University of Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
17 Juli 2020 10:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahma Kahayani Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi polusi visual di metropolis. Dok: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi polusi visual di metropolis. Dok: Pixabay.

Sejatinya yang terlewatkan dari tren media periklanan di era ini adalah memahami bahwa konsumen juga memiliki pengalaman, masalah, serta kehidupan.

ADVERTISEMENT
Kebetulan saya sedang sangat bosan sampai saya memutuskan pergi ke Alfamart, melihat berbagai varian kacang-kacangan dan memilih Sukro rasa bawang, hanya karena harganya lebih murah dibanding Garuda Rosta. Tetapi tidak saya sadari saat itu, adalah tulisan Free Fire Edition di ujung kiri atas kemasannya. Baru setelah saya sampai di rumah dan membuka bungkusnya, saya melihat poster lelaki gagah—karakter game Free Fire, Andrew—di belakang kemasan dengan pesan: aplikasi tersedia di Google play dan App Store.
ADVERTISEMENT
Di tempatkan di bungkus makanan ringan, untuk orang-orang seperti saya, mendamba sebuah hiburan, atau alasan lain mengapa seseorang doyan ngemil, adalah taktik beriklan Free Fire yang cerdas sekaligus tepat dengan situasi saat konsumen menemukannya, yang pada praktiknya menggebrak mainstream tren periklanan dewasa ini, pula tengah dipermasalahkan dan menjadi salah satu alasan mengapa The New York Times mengangkat artikel dengan judul, The Advertising Industry Has a Problem: People Hate Ads.
Dalam artikel tersebut, Marc Pritchard, chief brand officer di Procter & Gamble, menguraikan, “We tried to change the advertising ecosystem by doing more ads, and all that did was create more noise.” Marc benar, industri periklanan sebagaimana didefinisikan melalui artikel, adalah industri yang kompleks dan luas, yang kini hanya terfokus pada efektivitas dan efisiensi. Ini bisa dilihat pada mesin pencarian mengenai periklanan dalam media baru atau periklanan di masa mendatang, yaitu lebih menitikberatkan pada medium pembawa pesan iklan. Di mana umumnya lebih condong kepada media baru alias media digital.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan periklanan di era ini jika tidak bertumpu dan mengandalkan salah satu medium atau mengintegrasikan kedua jenis medium, ialah berpaku pada pesan dengan hanya memikirkan bagaimana pesan pengiklan tersampaikan kepada konsumen secara jelas, efektif dan efisien.
Alkisah terjadilah yang Marc kesalkan, more ads more noise. Banyaknya penawaran-penawaran pesan berantai kepada konsumen tentang suatu produk—produk dan jasa—bersamaan goals meraih kesadaran maupun membujuk target audiens untuk membeli produk mereka, hanya menciptakan bising sampai kepada polusi visual dari billboard atau iklan-iklan luar ruang lainnya.
Maka sebagai jawaban atas kebisingan tersebut, lahirlah AdBlock, aplikasi penangkal iklan yang khusus menangani iklan juga pop up di ruang digital.
Maklum saja sebenarnya, pesan dan penawaran yang terus-menerus menceramahi tanpa memberikan solusi, juga tanpa mempertimbangkan situasi yang tengah konsumennya hadapi, ibarat kebijakan tanpa fasilitas, tidak sepenuhnya efektif tetapi justru menuai kecaman.
ADVERTISEMENT
Karenanya, hakikat iklan Free Fire di kemasan Sukro saya sebut sebagai salah satu praktik periklanan yang relevan dengan konteks, yakni berhasil membawa pesan yang koherensi dengan pengalaman konsumen pada saat ditemukannya iklan tersebut: keadaan saya ketika membeli Sukro, jenuh dan butuh penghiburan, atau alasan psikologis lainnya mengapa seseorang doyan ngemil.
Praktik periklanan ini sejatinya harus mampu dipahami pengiklan dan agensi di luar sana: pengertian terkait pengalaman konsumen, sebuah empati serta solusi. Ketika konsumen mendapatkan suportif tersebut dari iklan, maka akan timbul penghormatan terhadap produk bersangkutan, sekaligus menjadi rancangan strategi berkelanjutan di masa mendatang dan ampuh untuk mendapatkan pelanggan yang setia.
Sebab jika iklan di masa kini dan di masa mendatang adalah iklan yang dapat diterima oleh konsumen juga dapat masuk pada kehidupan masyarakat dengan komunikasi dan taktik yang suportif, kreatif, juga relevan, apakah masyarakat masih tetap mengandalkan AdBlock? Tentunya, tidak.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung argumen ini, saya mengutip pendapat Jeffrey F Rayport, pengajar sekaligus anggota fakultas di Harvard Business School dari situs Harvard Business Review yang mengatakan, “Daripada mengutamakan fokus pada strategi komunikasi dan bauran pemasaran, mereka (pengiklan) harus mulai dengan mempertimbangkan bagaimana konsumen menjalani kehidupan mereka dan dalam keadaan apa mereka akan terbukti menerima pesan di domain ini.”
Maka periklanan seharusnya tidak hanya mengandalkan jenis medium demi mengejar efektivitas, efisiensi dan relevansi seputar pengalaman merek. Sebaliknya, data yang dihimpun juga harus mampu memberikan pemahaman terhadap konsumen dan mencerna situasi dan kondisi yang tepat di mana pengalaman konsumen dan medium iklan saling terlibat.
Terakhir, saya menambahkan pendapat Fraser Warren dari Green Room mengenai tantangan terbesar terhadap periklanan. Tantangan tersebut, menurut Fraser ialah membantu merek memahami bahwa data dan wawasan tidak boleh hanya digunakan sebagai penjualan. Melainkan juga harus digunakan untuk membangun hubungan yang lebih luas seperti memahami dan berusaha lebih dari sekadar pertukaran nilai, yaitu faktor empati. Dimulai dari perspektif kebutuhan dan keinginan pelanggan mereka, bukan dengan memikirkan kebutuhan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami medium periklanan baru, dapat Anda baca di sini.