Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ekofeminisme: Relasi Perempuan dengan Alam
27 Februari 2021 19:17 WIB
Tulisan dari Rahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam hari ketika saya merayap menyusuri gang menuju kamar kontrakan, sepotong daerah di bagian Yogyakarta ini sudah lama terlelap. Membuka pintu dengan hati-hati tanpa suara untuk meghormati mereka yang menggunakan malamnya dengan indah, entah itu ibadah malam, tertidur, dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Segera saya menyambung napas gerakan ponsel saya yang sudah lama tidak bernyawa dengan seutas kabel penghantar daya. Saya coba melihat pesan-pesan ditujukan kepada saya yang masuk dari surel, WhatsApp, DM Instagram.
Banyak sekali, entah buat apa setumpuk aplikasi dengan fungsi yang sama. Kadang manusia sangat senang merepotkan diri sendiri. Tetapi ada satu pesan yang membuat saya tertarik.
“Aku seminar besok, doain yaaa.”
Seorang kawan mengirim kabar dan meminta doa via DM, padahal saya ragu apakah doa saya dikabulkan oleh Tuhan yang maha baik. Tapi begitulah, saya mengenal dia dengan segala kerendahan hatinya.
Seorang perempuan yang akan menyelesaikan pendidikan formal dan menyematkan gelar Serjana Pertanian di akhir nama pemberian orang tuanya. Saya sangat bangga sekali. Ia perempuan dengan menjaga penuh kehormatannya: masuk ke dalam disiplin ilmu yang tidak mudah untuk wanita seusianya, tapi ia berhasil.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit yang meragukan peran perempuan dalam bidang pertanian. Lebih dari itu, pertanian juga tidak begitu diminati oleh sebagian besar pemuda; terlebih perempuan.
Label pemuda yang bergerak didalam bidang pertanian kerap kali diaminkan tanpa bukti terlebih dahulu. Mulai dari; kumuh dan kotor, bermain tanah dan kotoran ternak, tukang cangkul disawah.
Namun, apakah benar, peran perempuan akan terus tersubordinasi dari arus pandangan umum yang begitu cacat? Seketika saya merasakan relasi antara perempuan dan tumbuhan; atau lebih kompleks, dengan alam. Dengan segala tetek-bengek yang ditempelkan publik, saya pikir perempuan adalah entitas terdekat dengan alam, semacam kawan lama atau sahabat yang begitu akrab.
Bahkan di dalam buku Faisal Oddang yang berjudul "Puya ke Puya", dikatan bahwa pohon di tanah Toraja dianggap menjadi rahim kedua bagi bayi yang meninggal, atau disebut dengan “pasiliran”.
ADVERTISEMENT
Lebih jelas jika kita membaca bukunya yang satu lagi yaitu Di Tubuh Tara dalam Rahim Pohon. Faisal Oddang selalu menyulam karyanya dengan seni eksotisme lokal yang indah.
Sebenarnya narasi ini sudah lama hadir di pergulatan pikiran dunia. Francoise d’Eaubonne dalam karyanya Le Feminisme ou La Mort pada tahun 1975 yang merujuk pada gerakan perempuan yang menyelamatkan bumi.
Karya ini buah hasil sebagai kritikan dari karya Paul Ehrlich, yaitu "The Populaliton Bomb", menyatakan bahwa yang merusak planet bumi adalah populasi manusia yang berlebihan, sehingga d’Eaubonne melihat separuh dari populasi manusia di Bumi, yaitu perempuan, tidak memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan sendiri.
Itu sebabnya mereka menjadi objek produksi dan reproduksi. Sistem Patriarki yang menginginkan perempuan untuk terus bereproduksi. Sehingga wanita asal Prancis ini melihat hubungan paralel antara kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan oleh sistem Patriarki dan eksploitasi alam oleh sistem Kapitalis.
ADVERTISEMENT
Sebaiknya saya segera meninggalkan perdebatan panas itu, karena saya tidak ingin ikut arus perpecahan dengan tema yang serupa dalam waktu bertahun-tahun lamanya, relasi gender yang absurd itu. Saya melihat perempuan dan alam adalah sepasang kawan dekat, sebab keduanya akan melahirkan kehidupan.
Alam akan menumbuhkan pepohonan, mengalirkan air sebagai unsur penting dalam kehidupan, dan menjaga keseimbangan. Begitu juga perempuan, ia akan melahirkan seorang anak manusia, merawat calon peradaban, dan menjaganya sampai tulang-tulang rapuh itu kuat.
Selain itu, perempuan juga menjadi elemen yang sangat berdampak besar apabila alam mengalami kerusakan. Misalnya, ketika terjadi kelangkaan atau tercemar sumber air, akan mengakibatkan perempuan sulit dalam mengakses air yang bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk keluarganya.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat dan Kanada, literatur tentang kepekaan kimia (chemical sensitivity) menunjukkan bahwa kepekaan manusia terhadap zat formaldehida sangat terkait gender, jumlah kasus perempuan dua sampai tiga kali lebih banyak daripada laki-laki. Juga bergantung usia, anak-anak dan perempuan yang lebih tua adalah yang paling rentan.
Sehingga di berbagai penjuru dunia sangat aktif dalam gerakan-gerakan peduli lingkungan berbasis sifat feminin, sebab mereka merasa perempuan sangat bertanggung dan mampu memperbaiki alam. Seorang pemikir Ekofeminisme yaitu Ynestra King mengatakan, “Dengan menentang patriarki yang tak hanya merusak perempuan namun juga alam ini, perempuan dapat merasa bertanggung jawab terhadap Bumi dan generasi yang akan datang."
Beberapa gerakan perempuan sebagai bentuk nyata dari buah pikir Ekofeminisme yang lahir di akhir dan awal abad ini.
ADVERTISEMENT
Rachel Carson dalam bukunya, "Silent Spring" pada tahun 1963, ia bercerita pengalamannya saat kembali ke kampung halaman masa kanak-kanaknya. Ia menjalani semacam wisata kenangan dengan rumah tua yang masih sama, pepohonan dan semuanya masih sama.
Namun ia merasa ada yang aneh, ia tidak lagi mendengar kicauan burung, suara jangkrik di malam hari, lalu suara katak yang bersauhatan ketika hujan tiba. Ia mengkritik pemakaian pestisida yang tidak memperhatikan ekosistem di kampung halamannya, melalui buku itu.
Setelah dengan Rachel Carson, di New York, para perempuan memimpin demonstrasi untuk menentang pembangkit listrik tenaga nuklir yang akan berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan mereka. Di Inggris, sebuah kelompok yang disebut Women for Life on Earth membentuk “Kamp Perdamaian” di pangkalan udara Greenham Common untuk memprotes penyebaran rudal jelajah NATO.
ADVERTISEMENT
Greta Thunberg, aktivis lingkungan berasal dari Swedia yang masih berumur 18 tahun, ia tokoh terkemuka yang memulai pemogokan sekolah untuk aksi perlawanan iklim (Climate Strike) di luar Gedung parlemen Swedia.
Pada tahun 2018 silam ia masih kelas sembilan memutuskan tidak bersekolah sampai pemilihan umum Swedia selesai. Membawa kertas dengan tulisan “Skolstrejk for Klimatet” (Unjuk rasa pelajar untuk perubahan iklim), setelah gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia terjadi.
Pada akhir 2018 lebih dari 20.000 siswa melakukan pemogokan sekolah sekitar 270 kota di Swedia. Pada November 2018 ia berbicara di TEDxStockholm, pada Desember di tahun yang sama dia berpidato di Konfrensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa, lalu di awal tahun 2019 ia di undang ke Davos untuk berbicara di dalam Forum Ekonomi Dunia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia juga memiliki aktivis perempuan muda: siswi SMPN 12 Gresik yang berusia 12 tahun bernama Aeshnina Azzahra. Gadis cilik ini merasa perihatin dengan melihat secara langsung tumpukan sampah yang ada di Desa Bangun, Mojokerto, berjarak 15 kilometer dari tempat tinggalnya.
Tumpukan sampah itu berasal dari pabrik kertas yang impor sampah dari luar negeri, ditemukan dalam kontainer sampah itu dibuang hingga masuk ke dalam halaman masyarakat. Lalu gadis cilik yang disapa Nina itu mengirim surat protes kepada Perdana Mentri Australia Scott Marrison dan juga Kanselir Jerman Angela Markel melalui kedutaan masing-masing negara dan berdiskusi secara langsung untuk menghentikan ekspor sampah ke Indonesia.
Begitu kuat posisi perempuan dalam kehidupan ini, bahkan Tuhan begitu memuliakannya dengan menitipkan surat An-Nisa di Al-Quran. Hingga hegemoni publik soal pertanian dan perempuan sudah tidak relevan lagi untuk dipatuhi secara buta, sebab pertanian adalah epos kehidupan dan perempuan adalah sumber kehidupan, keduanya melahirkan nyawa.
ADVERTISEMENT
Saya akan selalu angkat topi dengan penuh hormat bagi perempuan yang melawan lebih dari sekadar berteriak dijalanan, bukan berteriak “hidup perempuan yang melawan” lalu saat mengantre berbicara “Ladies First” dan berjalan meninggalkan.
Tapi membuktikan perlawanannya dengan segala tindakan yang membungkam opini publik yang tidak mendasar, sistem yang tidak adil dan bajingan. Berbahagialah para perempuan yang semacam itu, berdiri menuntut hak dengan tindakan penuh hormat.