Konten dari Pengguna

Stereotip pada Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

rahmarafila
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
23 Juli 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmarafila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/anggrek-bunga-mekar-putih-ungu-1528330/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/anggrek-bunga-mekar-putih-ungu-1528330/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kehidupan di bumi ini sangat indah dan beragam, dengan banyak kesempatan yang tersedia untuk kita eksplorasi. Namun, sebagai bagian dari alam semesta ini, kita diharapkan untuk menghormati dan mengikuti aturan-aturan yang telah ada. Ini penting untuk kelangsungan hidup kita. Terkadang, kita harus mengenali batasan-batasan yang ada dalam melakukan tindakan, dan tidak melanggar norma-norma yang ada. Adanya berbagai peraturan di dunia ini sering kali menciptakan stereotip tertentu dalam cara kita memandang berbagai hal. Menurut KBBI, Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Subjektif berarti pandangan yang mungkin berbeda antara orang satu dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Ada banyak karya yang mengulas mengenai stereotip, seperti dalam novel yang ditulis oleh Kuntowijoyo. Salah satu karyanya yang bernama "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" telah dibahas luas. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1992 oleh Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika), dengan nomor ISBN 978-602-385-024-2. Awalnya, cerita ini dimuat dalam Majalah Pustaka pada tahun 1969.
Kunto sangat terampil dalam menciptakan karya yang sarat dengan emosi. Buku ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki yang berjuang melawan stereotip, biasa dipanggil buyung. Buyung menghadapi dua figur laki-laki yang berbeda pendapat, yaitu ayahnya sendiri dan seorang tetangga yang ia sebut sebagai kakek. Perbedaan antara ayah dan kakek sangat jelas; ayahnya keras dan cenderung memperkuat stereotip maskulinitas, sering berbicara dengan nada tinggi dan tegas. Di sisi lain, kakek adalah pria yang lembut, sopan, dan bicaranya merdu di telinga Buyung. Kakek memiliki taman bunga yang dia rawat dengan penuh perhatian. Secara keseluruhan, novel Kunto ini mengangkat tema tentang konsep maskulinitas dalam konteks laki-laki.
ADVERTISEMENT
Menurut burhan nurgiyantoro, latar terbagi atas tiga, yaitu tempat, waktu dan sosia, yang dimana ketiganya selalu berkaitan satu sama lain dan tidak akan bisa dipisahkan.
Latar
1. Tempat
a. Di Kamar
"Untuk apa di kamar, hah, laki-laki mesti diluar kamar!"
Kata kata tersebut terlontar kepada buyung dari ayahnya, karena buyung lebih suka tinggal dan menetap di kamarnya dibanding dengan bermain dengan teman laki-lakinya di luar. Streotip yang tercipta dalam kutipan ini adalah anak laki-laki harus selalu bermain dan bergaul dengan dunia luar dan tidak boleh hanya diam dikamar, karena menurut orang zaman terdahulu hanya anak perempuan lah yang pantas untuk bermain dikamarnya saja, tentu dengan hal hal yang disukainya di dalam kamar.
ADVERTISEMENT
b. Di Rumah
“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan bolehlah. Tetapi engkau laki-laki.”
Dalam kutipan tersebut, ayah buyung mendapati buyung pulang dengan bunga ditangannya, ayahnya langsung menarik bunga tersebut dan melemparnya. Ayah buyung melontarkan streotip yang jelas sangat membedakan laki-laki dan perempuan. Dimana anak anak laki-laki tidak boleh memelihara bunga seperti halnya anak perempuan. Dan bunga sangatlah menjadi hal yang feminine yang hanya bisa dimiliki oleh anak perempuan saja.
c. Di rumah kakek
"Aku mulai duduk tenteram disampingnya. tidak ada lagi yang dikhawatirkan. kami bersahabat baik, entahlah, rasanya sangat senang duduk bersamanya. bayanganku lama-lama hilang. aku menjadi kerasan. agak dingin udara di sini, angin sejuk, bunga-bunga merah, biru, kuning, dan ungu. daun-daun yang hijau tanah basah. daun bergoyang, bayang-bayang matahari.
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa buyung awalnya takut kepada kakek karena doktrin dari teman yang bermain dengannya. Tetapi pada saat ia berkunjung kerumah kakek, ia menjadi kerasan dan tidak takut lagi pada kakek, bahkan buyung merasa dirinya bersahabat dengan kakek. Buyung merasakan kenyamanan saat ia bersama kakek. Karena tutur kata kakek sangat sopan dan ramah. Tidak seperti ayahnya yang selalu berbicara dengan nada tinggi seperti streotip laki-laki pada umumnya. Kakek sangat menjaga perasaan dan hati seseorang.
2. Waktu
a. Pada Waktu Malam Hari
"Tentu saja kau boleh memelihara bunga. bagus sekali bunga itu. Itu berwarna violet. Bunga ini anggrek namanya. aku suka bunga. Kuambilkan vas, engkau boleh mengisinya dengan air. dan, bunga ini ditaruh di dalamnya. Kamar ini akan berubah jadi kamar yang indah. setuju?"
ADVERTISEMENT
Pada kutipan tersebut, ibu buyung membujuk buyung untuk makan karena insiden ayahnya melempar bunga yang ia bawa pada saat pulang sehabis bermain layangan, bunga itu pemberian kakek. Disini tersirat bahwa ibu buyung merupakan sosok yang mendukung anak sepenuhnya dan tidak menerapkan streotip anak laki-laki tidak boleh menyukai bunga seperti ayahnya.
b. Pada Waktu Sore Hari
"Engkau mulai cengeng, buyung. Boleh ke sungai untuk berenang. bukan untuk mencari bunga"
Dalam kutipan ini, Ayahnya melihat buyung kembali pulang dan membawa bunga. Pada saat itu, hari telah sore hari tetapi buyung lupa untuk mengaji. Buyung berbohong kepada ayahnya karena takut untuk jujur dimana ia mendapatkan banyak bunga tersebut. Dalam kutipan ini juga ayah buyung menekankan bahwa seorang laki-laki tidak boleh bermain ataupun mengoleksi bunga, tetapi anak laki-laki harus melakukan kegiatan yang memacu adneralin seperti berenang.
ADVERTISEMENT
c. Pada Waktu Siang Hari
Siang itu, ibu buyung memanggil buyung dan menyuruh buyung keluar dari kamar. Di depan kamar buyung sudah ada ayah yang menunggu buyung. untuk tangan buyung dilumuri oleh ayahnya dengan gemuk, tangan buyung kotor sampai lengan dan ayah buyung menamparnya seraya berkata:
"Untuk apa tangan ini, heh?"
"Untuk kerja! engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat buyung. Ayo timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja, tahu?"
Dalam kutipan tersebut, ayah buyung menegaskan bahwa laki-laki mesti untuk kerja keras sekalipun badannya dilimuri kotoran. Tidak seperti anak perempuan yang harus menjaga kebersihan dan keindahan untuk dirinya maupun sekitarnya. Telah gamblang streotip pada kutipan tersebut antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
3. Sosial
a. "bukan main senang ayah mendapat pekerjaan di kota. Ayah sibuk dengan pekerjaan, karena malas adalah musuh terbesar laki-laki, kata ayah. benar, di desa kita banyak tetangga, tetapi mereka membuat banci pikiran. dan ayah tidak suka."
Dalam kutipan tersebut, menggambarkan bahwa kehidupan kota sangatlah metropolitan, orang kota bekerja tanpa mengenal waktu. Dan orang kota seperti hanya ditakdirkan untuk bekerja, berkerja, dan bekerja. Orang metropolitan digambarkan seperti orang yang tidak pernah puas dengan hasil bekerja, sehingga mereka akan terus bekerja hingga larut malam. Orang kota sangat berbanding terbalik dengan orang desa yang hanya berkecukupan saja sudah merasa sejahtera.
b. "Kesibukan ayah membuat ia tidak mengenal tetangga, hanya ibu yang sudah banyak kawan, seperti biasanya ibuku dimanapun kami ditempatkan. Ayah mengganguk saja kepada orang sekitar bila kebetulan berpapasan, lalu buru-buru masuk rumah."
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan tersebut, ayah buyung merupakan pencitraan dari orang kita yang hidup sebagai orang individual dan tidak suka berbaur bersama banyak orang. Tetapi ibu dicitrakan sebagai orang ramah tamah seperti layaknya orang dari desa yang sopan dan ramah tamah kepada tetangganya.
c. "Setelah kucoba untuk naik ke pagar tembok, melalui pohon ketes dipekaranganku terbentanglah sebuah pemandangan. Sebuah rumah jawa, bersih seperti baru disapu, dan alangkah banyak bunga ditanami."
Buyung ingin mengetahui rumah si kakek tersebut dan ingin menilik apa saja di balik tembok besar itu. Dalam kutipan tersebut tergambar bahwa tuan rumah dari balik tembok besar itu ingin pemandangan dan ciri khas rumah pedesaan tidak berubah dan tidak terkontaminasi oleh gedung gedung diperkotaan yang biasanya terdapat di kita. Orang desa identik dengan suka menanam, merawat dan menjaga tumbuhan, entah itu untuk bahan pangan, ataupun cara agar mereka bertahan hidup dengan menjual hasil panen mereka.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali makna indah yang terkandung dalam novel ini. Pengarang membebaskan kita untuk memiliki pandangan terhadap stereotip yang ada dan disajikan dengan baik dalam novel "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" ini. Membaca novel ini juga seharusnya menyadarkan kita bahwa sosok buyung merupakan cerminan dalam di dalam kehidupan nyata. Kita boleh memilih jalan yang ingin kita mau. Jika kita tidak menyukai sesuatu, kita bisa pilih hal lain untuk menjadi alternatifnya. Kita boleh dan dibebaskan dalam memilih segala hal yang ada di dunia ini, sekalipun jika kita tidak ingin memilih apapun, itu tetap boleh dan semua kembali kepada pilihan kita. Novel ini juga berpesan, bahwa kita tidak perlu takut untuk berbeda dengan yang lain.
ADVERTISEMENT