Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menilai Kebijakan & Visi Demokrasi Indonesia Perspektif Gus Dur dalam Era Modern
13 Agustus 2023 13:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Maheng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan Juli 2023 lalu, layar gawai dan media sosial saya dipenuhi oleh pernyataan kontroversial Wali Kota Medan, Bobby Nasution , yang menyatakan dukungannya terhadap tindakan polisi untuk mengambil langkah menembak mati para perampok (begal) dan geng motor di kota Medan.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Gus Dur , ini adalah "kebijakan yang tidak bijaksana". Kebijakan seperti itu jelas akan merugikan pengambil kebijakan selanjutnya dalam jangka panjang.
Pernyataan Bobby juga dinilai problematik karena pada Desember 2022 lalu, mertua Bobby, Presiden Joko Widodo atas nama negara mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985 atau yang lebih dikenal dengan akronim 'Petrus'.
Dalam artikel bertajuk Kebijakan Harus Bijaksana yang ditulis pada 6 November 2003 lalu, Gus Dur mencontohkan kaum miskin kota yang selalu menjadi objek penggusuran. Pemerintah pusat atau daerah selalu beralasan bahwa mereka adalah biang kerok dari ketidakberaturan negara dan mengganggu ketertiban.
ADVERTISEMENT
Kebijakan penggusuran didasarkan pada asumsi bahwa mereka di bantaran sungai pelanggar undang-undang, menyumbat aliran dan penyebab banjir. Lalu, apakah yang di gedung mewah dengan mengkapitalisasi tanah tidak melanggar?
Jika pemerintah bisa memberikan status "release and discharge" untuk konglomerat (white collar crime) dari utang hingga korupsi, mengapa tidak bisa bagi orang kecil?
Jika rakyat kecil berbuat kriminal (blue collar crime), mereka ditembak; tetapi jika pejabat merampok, masih bebas keluar masuk penjara, bahkan penjaranya lebih mewah dari maling ayam.
Ini adalah salah satu dari banyak kebijakan yang tidak bijaksana dan berpotensi melahirkan kebijakan serupa yang hanya menangani gejala tanpa mengatasi akar masalahnya. Oleh karena itu, Gusdurian Jogja merasa artikel Gus Dur ini masih relevan untuk diulas kembali.
Maka pada Jumat, 11 Agustus 2023 lalu, dalam acara Cangkrukan Pemikiran Gus Dur, artikel ini dianalisis dan dipantik oleh Naufal Rafif Muzakki, mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM).
ADVERTISEMENT
Bertempat di Griya Gusdurian di Jl. Sorowajan, RT.08/RW.10, Jaranan, Banguntapan, Kec. Banguntapan, Kabupaten Bantul, diskusi dengan khidmat ini dipandu oleh Maria Al-Zahra, biasa disapa Ara, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga.
Ara membuka diskusi dengan mengatakan bahwa tema ini penting, mengingat sebentar lagi Indonesia akan menghadapi pemilihan presiden tahun 2024. Pertanyaannya, apakah kebijakan-kebijakan yang mereka susun nantinya akan bijaksana, sehingga kita juga bisa bersikap bijaksana dalam memilih salah satu pasangan calon presiden.
Jauh sebelum kebijakan kontroversial Bobby, setahun yang lalu, tepatnya pada 20 Juli 2020, Hamasa Hafidzu, salah satu penggerak Gusdurian sekaligus peserta diskusi kali ini, menyebutkan bahwa ada kasus pemaksaan seorang siswi untuk mengenakan jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul.
ADVERTISEMENT
Di beberapa daerah lain, jualan isu agama di antara susunan kebijakan pasangan calon yang diskriminatif masih laris terjual.
Badrun, mahasiswa Filsafat di UGM, kemudian mengajukan pertanyaan: Mengapa public policy diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kebijakan? Bukankah kebijakan berasal dari kata "bijak" yang berarti "virtue" atau "wisdom" dan "wise"?
Penelusuran istilah "public policy" yang diterjemahkan menjadi "kebijakan publik" memiliki tantangan tersendiri, seperti yang diungkapkan oleh Badrun. Menelusuri asal-usul kata ini bukanlah tugas yang mudah.
Mengingat dalam perkembangannya, bahasa Indonesia telah dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, Belanda, Arab, dan bahasa asing lainnya, termasuk bahasa Inggris.
Mengutip Zulfa Sakhiyya, Asisten Profesor di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, pada abad ke-15 dan ke-16, "policy" dalam bahasa Inggris disebut juga sebagai political sagacity, yang bermakna "kecerdasan politik."
ADVERTISEMENT
Istilah ‘politics’ dan ‘political strategies’ muncul beberapa abad setelah itu. Istilah-istilah ini muncul dalam pidato Presiden Sukarno setelah Indonesia merdeka untuk mengkritik imperialisme.
Selama era Orde Baru, istilah "kebijaksanaan" dan "kebijakan" lebih sering digunakan untuk menyampaikan makna "policy". Terdapat dua pengecualian, yaitu konsep Politik Etis (Ethical Politics) dan Politik Luar Negeri (Foreign Policy).
'Kebijakan' pada dasarnya memiliki sifat apolitis, sedangkan 'policy' jelas melibatkan proses politik; menggabungkan kedua kata ini menjadi tidak masuk akal.
Sama tidak masuk akalnya dengan menuntas perampokan dengan cara menembak mati begal-rakyat kecil berbuat kriminal (blue collar crime), serta terus-menerus menyalahkan kaum miskin kota sebagai penyebab banjir juga tidak rasional dan tidak bijaksana.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh pemantik diskusi ini, Naufal, yang mengutip pernyataan sosiolog Ariel Heryanto dengan mengatakan bahwa bahasa Indonesia lebih merefleksikan realitas politis alih-alih realitas linguistik.
ADVERTISEMENT
"Istilah kebijakan ini tidak berusaha untuk menggambarkan realitas, tetapi berusaha untuk mengkonseptualisasikan realitas. Hal ini dilakukan untuk mengklaim bahwa kebijakan yang telah disusun ini bisa dianggap bijaksana," kata Naufal.
Nanik Rahmawati, salah satu peserta diskusi, kemudian bertanya: "Setiap kebijakan selalu dikritik, bagaimana sebuah kebijakan bisa dikatakan bijaksana?" Selain Nanik, Wasil, peserta diskusi lainnya, menambahkan, "Apakah tulisan Gus Dur (Kebijakan Harus Bijaksana) masih relevan?"
Tulisan Gus Dur tersebut mengupas kebijakan tata kota yang serampangan. Kebijakan demi kebijakan yang hanya bersifat tambal sulam ini dilaksanakan di hampir seluruh tanah air kita.
Pada tanggal 18 Januari 2022 lalu, RUU Ibu Kota Negara (IKN) telah disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah. Dengan demikian, Indonesia akan memiliki ibu kota negara baru bernama Nusantara, menggantikan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak yang khawatir, termasuk mungkin Wasil, mengacu pada istilah yang ditemukan dalam tulisan Gus Dur, bahwa proyek ini dalam pengerjaannya masih mengandalkan konsep "tambal sulam" karena mengandalkan investor.
Nusantara akan dibangun secara bertahap berdasarkan ketersediaan modal yang terkumpul. Bukankah hal ini mengindikasikan terus munculnya kebijakan yang tidak bijaksana secara berkelanjutan?
Last but not least, istilah kebijakan perlu dievaluasi kembali untuk membedakan makna kebijaksanaan dan kebajikan dengan policy. Menurut saya, policy lebih tepat diterjemahkan sebagai aturan atau peraturan.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dalam implementasi peraturan, tidak ada lagi diskriminasi terhadap kelompok rentan, sebagaimana yang diusung oleh Gus Dur dan kini terejawantahkan dalam Sembilan Nilai Utama Gusdurian.
Termasuk dalam pembangunan IKN dan proyek-proyek lain di Indonesia, aturan yang disusun haruslah bijaksana terhadap manusia serta lingkungan-alam semesta, dengan meminjam istilah dari Sujiwo Tejo, tidak hanya bener tapi juga pener.
ADVERTISEMENT
Sebelum Ara mengakhiri pertemuan ini, terdapat pertanyaan menarik dari salah satu peserta, Azizurrohman: "Apa langkah selanjutnya setelah pertemuan ini? Apakah hanya sebatas diskusi saja?"
Firda Ainun kemudian menimpali, "Diskusi ini juga merupakan langkah. Dan kita sudah membayar pihak berwenang (melalui pajak) untuk bertindak dan melanjutkan langkah tersebut."